Sejenak aku terdiam mengamati kertas yang ada di depanku itu. Mata ini melihat pada Safira yang tersenyum manis dengan menganggukkan kepala. "Punya siapa ini?" tanyaku seraya mengambil kertas itu. "Baca saja."Mataku membulat dengan mulut yang terbuka. Rasa bahagia menyeruak ketika membaca nama yang tertulis dalam kertas undangan tersebut. "Alhamdulillah ... kamu akan menikah, Safira?" ujarku kemudian. Wanita itu mengangguk pasti. Aku berdiri dari dudukku, kemudian menghampiri dia dan langsung memeluknya.Ini kabar yang sangat bahagia. Akhirnya, sekian lama menyendiri kini sahabatku bertemu dengan jodohnya. Meskipun, dia dijodohkan orang tuanya, tapi aku yakin itu pilihan yang terbaik untuknya. Kebahagiaan akan menghampiri Safira dengan orang yang diyakini akan mampu menjadi imam dalam rumah tangga mereka. "Selamat, ya, Fir. Kok, gak bilang-bilang, sih? Tiba-tiba kirim undangan, aja." Aku melepaskan pelukan, lalu kembali ke tempat duduk yang ada di sebrang meja. "Aku dan dia, '
"Hahaha ...!" Aku dan Soni terbahak bersamaan saat mengingat kejadian malam tadi. Aku dan dia dibuat serangan jantung oleh kelakuan Shanum yang mengigau. Saat ini, aku dan Soni sedang berada di balkon. Kegiatan pagi setelah salat subuh, aku dan dia menyempatkan duduk berdua sambil bercerita, seraya menikmati kopi dengan hembusan angin yang segar. "Jadi, sekarang kamu tidak ke kedai?" Aku bertanya setelah menyeruput kopi milikku. "Tidak. Besok, baru aku akan ke kedai. Ah ... rencananya ingin libur satu minggu dari sana, tapi tidak bisa. Kasihan teman-teman yang lain, akan sangat kerepotan jika aku tinggal."Aku manggut-manggut. Soni mengadahkan kepala, menyandarkan punggungnya pada dinding. Menatap langit yang mulai menampakkan keindahan pagi. "Lupakan kejadian waktu itu dengan Nabila. Dia pun sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Anggap saja, kemarin itu mimpi buruk, dan kemajuan kedai sebagai imbalannya."Soni menoleh dengan kedua alis yang terangkat. Melihatku yang dudu
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Soni masih menunggu kata yang akan keluar dari bibirku ini. Sama sekali dia tidak mengalihkan pandangan, hingga konsentrasiku kembali buyar saat pembeli datang lagi. Hampir setengah jam aku dan Soni bergulat dengan pekerjaan, kini suasana kembali lengang. Pada akhirnya, aku pun menceritakan apa yang aku lihat tentang Mas Sandi. "Kok, aku enggak melihatnya?" ujar Soni setelah aku mengatakan kekhawatiran dan kecurigaan tentang kakak iparku itu.Kakak ipar? Ah, menyebalkan sekali garis takdir hidupku. Yang tadinya suami, berganti jadi ipar. Sebaliknya, ipar berganti jadi suamiku. "Kamu terlalu fokus pada Shanum. Sudah dua kali dia datang dan melihat kita dari kejauhan. Apa jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita, ya?" "Jangan terlalu dipikirkan, Mbak. Besok, jika dia datang lagi, kamu kasih tahu aku. Biar aku samperin dia dan tanya maunya apa."Aku mengangguk kecil. Soni juga menyuruhku untuk bersikap sesantai
"Ada apa, Son? Kenapa kita harus ke sekolah Shanum?" tanyaku lagi saat akan naik ke motor. "Katanya, Shanum gak mau masuk kelas. Dia tidak mau belajar, karena gurunya bukan Safira."Aku beristighfar seraya naik ke atas motor. Kemudian Soni mulai melajukan motor membelah jalanan untuk sampai ke sekolahan Shanum. Benar saja, putriku malah main ayunan di saat teman-temannya yang lain sedang belajar di dalam kelas. Shanum ditemani guru lain yang terus membujuk dia untuk belajar. Namun, putriku langsung menghambur ke pelukanku saat menyadari kedatangan aku dan Soni. "Kenapa tidak masuk?" tanyaku mengusap surai hitam panjang yang dikepang dua itu. "Enggak mau, Bunda .... Tidak ada Bu Safira di kelas.""Ya Allah, Sha ... Bu Fira izin tidak masuk sekolah. Kan, kemarin waktu datang ke rumah, dia sudah bilang tidak akan masuk. Shanum lupa?" Shanum mengurai pelukannya. Dia mendongak melihatku dengan mengerjapkan mata beberapa kali. Dia terlihat berpikir, kemudian kembali memeluk tubuhku.
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a