"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Nda ... jangan masuk. Stttt ...." Aku mengerutkan kening ke arah Cahaya yang mencegahku untuk masuk ke kamar. Gadis itu menggelengkan kepala dengan jari telunjuk di bibir menyuruhku tidak berisik. Tangan yang sudah menempel pada gagang pintu, terpaksa aku tarik dan berdiri tegak di depan gadis lima belas tahun itu. "Kenapa, Bunda tidak boleh masuk?" tanyaku kemudian."Ayah lagi bobok sama Mama, Nda."Deg!Aku tersentak kaget dengan jawaban dari bibir Cahaya. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik, hingga akhirnya aku menarik napas panjang seraya menatap daun pintu yang tertutup rapat. 'Mas Sandi bersama Mawar di dalam kamar?' Pikiranku langsung buruk pada dua orang berlainan jenis kelamin yang berstatuskan mantan pasangan itu. "Nda, main sama Aya, yuuuuk. Aya, gak ada temannya," ujar Cahaya menarik tanganku dengan wajah imutnya. Aku membungkukkan badan, mengusap surai hitam milik gadis itu, lalu menyuruhnya masuk ke dalam kamar pribadinya. Aku meminta Cahaya menggam
"Ranum!"Aku tidak mengindahkan teriakan Mas Sandi. Hatiku terlalu perih untuk mengabulkan permintaan dia. Dengan cepat, kulajukan mobil keluar dari pekarangan rumah. Niatku sudah bulat untuk pergi dari rumah Mas Sandi. Tidak ada yang harus aku pertahankan di sini. Suami yang aku banggakan, aku rajakan, nyatanya tidak sebaik dalam angan. Dengan tidak memikirkan perasaanku dia tidur dengan mantan istrinya. Bahkan dia sudah berani main tangan melukai fisikku. "Allahu Robbi ...," lirihku seraya mengusap pipi yang tadi ditampar Mas Sandi. Perpisahan Mas Sandi dan Mawar terjadi saat usia Cahaya masih kecil. Alasan yang aku tahu, Mawar enggan mengurus Cahaya dengan alasan keadaan anak itu tidak seperti anak yang lain. Malu, jijik, juga repot dengan sikap dan tingkah laku Cahaya yang kadang selalu menguji kesabaran. Saat usia Cahaya sembilan tahun, aku dan Mas Sandi menikah setelah saling mengenal satu tahun lamanya. Aku tidak mempermasalahkan kondisi putrinya, aku bisa menjadi teman C
"Ya Allah ...!" Aku berseru saat melihat keadaan rumah yang berantakan. Sofa berada bukan pada posisinya. Mainan dan perabotan rumah sudah berserakan di atas lantai. Itu baru di ruang tamu. Semakin aku masuk ke dalam, semakin kacau keadaan rumahku itu. "Ranum, kamu pulang?" ujar Mas Sandi menyadari keberadaanku yang memindai seluruh penjuru rumah. Ternyata suamiku tidak sendirian. Ada Mama, ibu mertuaku yang duduk bersamanya di sofa ruang tamu yang tidak tentu arah. Wanita itu melihat ke arahku, lalu dia berdiri dan mengahmpiri. Aku menyuruh Shanum untuk masuk ke dalam kamarnya sebelum Mama mulai bicara. "Mah." Aku mengambil tangan wanita itu, lalu menciumnya. "Ada apa dengan kamu, Num?" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mama. Menoleh sebentar pada Mas Sandi yang duduk seraya mengurut kening. "Aku ....""Hanya gara-gara melihat Sandi tidur berdampingan dengan Mawar, kamu marah hingga enggan pulang?" ujar Mama membuatku tersentak. Hanya. Dia bilang hanya? Oh, apa mungkin
"Jujur lebih baik, Mas. Mungkin aku akan mempertimbangkan jika kamu berani untuk berkata jujur." Aku melirik dia yang kini wajahnya terlihat semakin memucat. Mas Sandi tidak lagi mendekatiku. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujungnya. Seperti dia, aku pun duduk di sofa yang ada di bawah jendela kaca. Tangan kulipat di perut dengan pandangan masih pada pria yang ada beberapa meter di depanku. "Aku sudah jujur, Num.""Tidak. Kamu sedang tidak jujur, Mas. Enam tahun, mampu membuatku mengenali sifat dan sikapmu, Mas. Dan sekarang, kamu sedang berbohong. Menyembunyikan kenyataan dengan alibi yang tidak masuk akal."Mas Sandi mengembuskan napas kasar. Dia mengusap wajah, lalu menjambak rambut lebatnya dengan sedikit menariknya ke atas. Dia masih membisu. Matanya melihatku dengan raut wajah sendu. Netra itu memerah seiring dengan kening yang mengkerut menyimpan pemikiran yang mungkin tidak selaras dengan hatinya. "Mau jujur atau aku mundur?" kataku memancingnya lagi. "Ap
"Di mana akal sehatmu, Sandi? Di mana kewarasanmu saat memutuskan untuk berselingkuh dengan mantan istrimu?"Niat hati ingin masuk ke dalam kamar untuk mengemasi pakaian dan pergi dari rumah ini, harus aku hentikan. Suara Mama yang tengah memarahi Mas Sandi adalah penyebabnya. Aku diam di ambang pintu, mendengarkan alasan apa yang akan diberikan Mas Sandi atas perbuatan busuknya itu. Setelah berpikir berulang kali, menocoba berdamai dengan rasa sakit ini, tapi nyatanya aku tidak bisa. Keluar dari sini adalah pilihanku. Kewarasanku dipertaruhkan jika terus berada dalam satu atap dengan pengkhianat yang pandai bersandiwara."Ranum, sudah melakukan semua yang tidak dilakukan Mawar untukmu. Dia mengurus putrimu dengan sangat baik.""Itulah alasannya, Mah. Ranum terlalu sibuk dengan anak-anak, sehingga dia tidak punya waktu untukku. Yang butuh perhatian bukan hanya Cahaya dan Shanum, tapi aku juga. Aku ingin bermanja dengan istriku, bercerita banyak hal membahas masa depan, bersenda gura
"Aku, akan pulang ke rumah orang tuaku, Mas."Hening. Tidak ada yang berani berkata setelah aku mengatakan keinginanku. Mas Sandi mengembuskan napas kasar, begitu pun denganku yang merasa lega setelah berkata jujur. Aku tidak bisa di sini dengan perasaan seperti ini. Sakitku, kecewaku, akan aku bawa pergi dan menyembuhkannya di tempat lain. Sedalam apa pun rasa cintaku, sebesar apa pun baktiku, tapi jika sudah dikhianati sepertinya perasaan ini tidak akan lagi sama seperti dulu. Pergi, adalah jalanku. "Num, apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanya Mas Sandi. Saat ini, aku dan Mas Sandi tengah duduk berdua membahas pernikahanku dengannya. Seperti janjiku, anak-anak aku biarkan bermain di kolam plastik di halaman samping rumah. "Kesempatan kedua, itu artinya aku harus siap terluka untuk kedua kalinya. Aku tidak sanggup, Mas. Sakit ini pun belum tahu akan sembuh atau tidak.""Aku janji, Num. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah, aku akan memutuskan hubunganku dengan