Desa Kumpeh, Jambi—1970
Gemeresik daun karet kering terinjak sepasang selop seorang gadis yang berjalan tergesa-gesa. Menur tengah memburu waktu agar tidak terlalu telat tiba di rumah. Hari hampir tengah malam. Kasihan ibunya. Pasti wanita itu menunggu dengan cemas kepulangan Menur. Meski sedari awal Hasnah melarang Menur berjualan jagung dan kacang rebus ke desa sebelah, tetapi Menur tetap bersikeras untuk pergi.
Keinginan Menur untuk membeli alat perlengkapan merajut, membuat gadis sekal berkulit hitam manis itu membulatkan tekad mencari uang lebih giat lagi. Meminta pada ibunya, tentu Menur tidak tega. Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari saja, Hasnah harus bangun sebelum subuh untuk pergi ke kebun karet sebagai buruh penyadap getah di perkebunan Haji Malik.
Mereka tinggal hanya berdua saja. Ayah Menur diambil serdadu Jepang untuk dijadikan budak kaum penjajah itu. Hanya Hasnah yang sempat melarikan diri dan bersembunyi sembari membawa Menur yang masih merah dan berusia dua hari kala itu.
Meski Indonesia telah merdeka, tetapi ayah Menur tidak jua kembali. Entahlah, Hasnah pun sudah pasrah pada nasib suaminya. Rasanya dia telah puas mencari ke sana ke mari, bertanya pada pria-pria yang kembali ke rumah setelah Pak Soekarno membacakan teks proklamasi. Akan tetapi, pencariannya sia-sia semata, tidak membuahkan hasil. Mau bagaimana lagi, Hasnah harus kuat demi Menur, satu-satunya harta berharga yang dia miliki.
Gadis itu kini masih melangkah riang. Tas kain batik hasil bikinannya sendiri terapit di ketiak kanan. Senyumannya mengembang semanis gulali. Jika tidak mengingat sedang berada di jalanan sepi, mungkin bibir Menur sudah bersenandung sejak tadi. Keinginannya untuk memiliki alat perlengkapan merajut, besok bakal segera terpenuhi.
Jagung dan kacang rebus yang dia jajakan di acara pesta pernikahan anak juragan kaya tadi, berhasil terjual habis. Tas kain batiknya bergerincing berisi uang kertas dan koin. Namun, rasa gembira Menur mengalihkan kewaspadaannya. Menur tidak menyadari sedari tadi langkahnya diikuti empat pria mabuk yang diselubungi nafsu dan birahi tinggi.
Seorang pria di antara mereka yang bertubuh kurus mengendap-endap. Dia menyusul langkah Menur. Jarak mereka hanya terpisah tiga langkah saja, hingga akhirnya pria itu berhasil menjangkau kerah belakang kebaya merah Menur, membuat gadis itu terperanjat, terkejut bukan alang kepalang.
Menur berhenti, lantas membalik badan dengan jantung yang berdentam-dentam.
"Mau apa kau, Kisanak?"
Nada tanya Menur bergetar oleh sebab rasa terkejutnya yang terasa berbalut takut. Matanya yang membulat mengerjap-ngerjap seraya memindai wajah empat orang pria beraroma tuak yang kini mengelilingi dirinya.
"Kami hanya ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat, Menur. Tak baik anak perawan berjalan seorang diri di tengah malam buta begini. Ayo, kami iringi langkahmu hingga ke perbatasan desa."
Pria kurus bergeser. Dia membuka jalan untuk Menur sembari menyeringai, memamerkan giginya yang kuning berpadu kehitaman akibat kopi dan tembakau. Menjijikkan, tentu tidak sedap dipandang mata mana pun.
Menur sejenak ragu, tetapi gadis itu tetap memberanikan diri melewati si pria kurus. Setelah berhasil menjauh lima langkah, Menur memutuskan untuk berlari sekuat tenaga yang gadis itu punya.
Selopnya terseret, mengentak, menggema di permukaan tanah berbatu. Membungkam jangkrik yang mengerik di belukar kanan-kiri jalanan setapak sepi.
Agak jauh, Menur menoleh. Untungnya empat pria mabuk tidak mengejarnya. Baru lah dia mampu bernapas lega. Dia jadi bisa melanjutkan langkah pulang ke rumah.
Akan tetapi dia salah duga. Manusia-manusia yang berniat jahat kepadanya bukan empat orang, melainkan enam. Dua orang yang lain ternyata telah menunggu di pertigaan jalan. Mereka bersembunyi di balik pohon mangga bercabang rimbun.
Ketika Menur hendak lewat, manusia-manusia itu melompat ke tengah jalan, menghadangnya.Empat orang pria yang menyusul di belakang Menur terbahak-bahak. Mereka melihat gadis incaran sudah terkepung. Hanya ada mereka, semak belukar dan pepohonan tinggi yang mengelilingi.Wajah Menur sepucat kapas. Dia menyesali diri mengapa memilih pulang di jalan itu. Jalanan yang memang sering dia lalui seorang diri di siang hari. Jalan yang menurut Menur mampu membikinnya cepat sampai di rumah. Mengapa tadi dia menolak pulang bersama Wati? Batin, hati dan pikiran Menur sibuk mengutuki diri sendiri."Tolong jangan sakiti saya, Kisanak. Kasihanilah saya. Emak saya menunggu kepulangan saya di rumah seorang diri. Pasti beliau sedang cemas saat ini." Menur mengiba, berharap ke enam pria terketuk hatinya dan mau melepaskan gadis yang tengah dilanda ketakutan itu.Namun, agaknya iblis telah mengenyahkan kesadaran diri mereka. Pria kurus mendorong Menur hingga jatuh terjengkang. Pria yang lain menarik tas ka
Di sebuah rumah mungil berdinding anyaman bambu betung yang terletak di ujung desa, seorang wanita bergerak-gerak gelisah. Dalam temaramnya cahaya lampu petromaks, Hasnah menanti kepulangan putri satu-satunya, Menur.Biasanya gadis itu tidak pernah pulang terlambat. Biasanya gadis rajin yang dia besarkan seorang diri sedari bayi itu selalu tiba di rumah tepat waktu.Hasnah sungguh resah. Malam ini sungguh tidak biasa. Ada perasaan aneh yang menjalar isi dadanya, tetapi Hasnah tidak tahu bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang seperti firasat buruk, tetapi batin Hasnah sekuat mungkin menyangkal dan menepis perasaan tidak enak tersebut.Amben berderit ketika Hasnah bangkit dari rebah yang gundah. Di tepian tempat tidur bambu itu kakinya menjuntai. Sorot matanya yang cemas menatap ke jam persegi empat di dinding rumah. Hari telah lewat tengah malam, bahkan hampir memasuki subuh. Namun, telinganya tak jua menangkap tanda-tanda akan kedatangan Menur.Ibarat memakan buah simalakama, Hasnah serb
Berderet pertanyaan yang diberikan Wati. Hasnah terdiam. Dahinya berkerut dalam. Dia bingung dengan pertanyaan itu, khususnya pertanyaan paling ujung."Emak ke sini malah hendak mencari Menur, Nak. Mana dia? Masih tidur kah di kamarmu?"Gantian kini Wati yang kebingungan."Kami sama-sama pulang jam sepuluh tadi, Mak. Tapi Menur memilih jalan setapak di dekat kebun karet sana. Supaya cepat tiba di rumah katanya."Keterangan Wati barusan membikin hati Hasnah kembali tak tenang. Kepalanya pusing seketika. Jantungnya dirasa tak aman, degupnya semakin tak karuan."Bagaimana ini, Wati? Emak mesti mencari Menur ke mana?" Tangan Hasnah memilin-milin ujung sweter dengan kegundahan teramat sangat.Wati pun terbungkam. Dia tahu Menur tidak dekat dengan siapa pun kecuali dirinya."Begini saja, Mak. Wati temani Emak mencari Menur. Kalau Menur tidak juga ketemu, kita laporkan pada kepala kampung."Hasnah mengangguk pasrah. Di saat kebingungan, otaknya dirasa buntu untuk mencari jalan keluar. Dia iku
"Menur! Menur!" Hampir semua warga turut melakukan pencarian: pria-pria, para pemuda, hingga aparat desa. Mereka menyusuri jalan-jalan, kebun-kebun, hingga tepian sungai sembari memukul-mukul tampah menggunakan tongkat kayu. Warga yang mempercayai bahwa Menur telah diculik hantu kopek, berharap gadis itu segera dilepaskan. Sebagian area telah dirambah, tetapi tak jua mereka temui keberadaan jejak maupun bayangan diri Menur. Hasnah pun ikut mencari, ditemani oleh Wati yang tak sedetik pun beranjak dari sisinya. Hati gadis itu mengiba. Wati tak tega meninggalkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri itu, tersedu-sedu seorang diri. Hingga kaki mereka sampai pada satu-satunya area yang tersisa, yakni jalan setapak di dekat pohon beringin, yang dianggap sebagian warga ialah tempat paling wingit di Desa Kumpeh. Beberapa pria memperlambat langkah. Hanya yang bernyali besar yang mendahului menuju ke sana. Termasuk si kepala kampung dan Hasnah yang tidak peduli, yang p
Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi."Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya."Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya."Sabar, Mak Menur. Mari kita istir
Sepasang tangan dengan beberapa bekas luka yang cukup dalam, bergerak kepayahan mengerek air dari sumur. Suara cipratan air akibat gesekan timba dengan tepian sumur, berisik memecah kesunyian malam. Berulang kali air di timba itu muncrat dan tumpah karena lengan pria itu gemetar.Tetes-tetes keringat meluncur dari wajah serta lehernya yang basah. Pria itu, Maymun, baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi berulang setiap malam yang menghantuinya. Mimpi mengerikan yang membuatnya depresi, menggila dan hilang kendali. Kemudian setelah bersusah payah kembali pada alam bawah sadarnya, Maymun lari ke luar rumah.Si bujang lapuk itu mengguyur wajah dan sebagian kepalanya menggunakan air dari timba, berharap rasa takut, emosi dan gelisah sirna dalam seketika. Dia tidak ingin kembali tidur. Dia tidak ingin memejamkan mata meski sedetik pun.Masih terpatri jelas dalam ingatannya sosok hantu perempuan berkebaya merah yang datang ke mimpinya. Seraut wajah seputih kapas, matanya semerah darah, k
Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya."Hi-hi-hi!"Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangann
Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min