Share

Dendam Kuntilanak Merah
Dendam Kuntilanak Merah
Penulis: Narpendyah Kahurangi

1. Malam Jahanam

Desa Kumpeh, Jambi—1970

Gemeresik daun karet kering terinjak sepasang selop seorang gadis yang berjalan tergesa-gesa. Menur tengah memburu waktu agar tidak terlalu telat tiba di rumah. Hari hampir tengah malam. Kasihan ibunya. Pasti wanita itu menunggu dengan cemas kepulangan Menur. Meski sedari awal Hasnah melarang Menur berjualan jagung dan kacang rebus ke desa sebelah, tetapi Menur tetap bersikeras untuk pergi.

Keinginan Menur untuk membeli alat perlengkapan merajut, membuat gadis sekal berkulit hitam manis itu membulatkan tekad mencari uang lebih giat lagi. Meminta pada ibunya, tentu Menur tidak tega. Untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari saja, Hasnah harus bangun sebelum subuh untuk pergi ke kebun karet sebagai buruh penyadap getah di perkebunan Haji Malik.

Mereka tinggal hanya berdua saja. Ayah Menur diambil serdadu Jepang untuk dijadikan budak kaum penjajah itu. Hanya Hasnah yang sempat melarikan diri dan bersembunyi sembari membawa Menur yang masih merah dan berusia dua hari kala itu.

Meski Indonesia telah merdeka, tetapi ayah Menur tidak jua kembali. Entahlah, Hasnah pun sudah pasrah pada nasib suaminya. Rasanya dia telah puas mencari ke sana ke mari, bertanya pada pria-pria yang kembali ke rumah setelah Pak Soekarno membacakan teks proklamasi. Akan tetapi, pencariannya sia-sia semata, tidak membuahkan hasil. Mau bagaimana lagi, Hasnah harus kuat demi Menur, satu-satunya harta berharga yang dia miliki.

Gadis itu kini masih melangkah riang. Tas kain batik hasil bikinannya sendiri terapit di ketiak kanan. Senyumannya mengembang semanis gulali. Jika tidak mengingat sedang berada di jalanan sepi, mungkin bibir Menur sudah bersenandung sejak tadi. Keinginannya untuk memiliki alat perlengkapan merajut, besok bakal segera terpenuhi.

Jagung dan kacang rebus yang dia jajakan di acara pesta pernikahan anak juragan kaya tadi, berhasil terjual habis. Tas kain batiknya bergerincing berisi uang kertas dan koin. Namun, rasa gembira Menur mengalihkan kewaspadaannya. Menur tidak menyadari sedari tadi langkahnya diikuti empat pria mabuk yang diselubungi nafsu dan birahi tinggi.

Seorang pria di antara mereka yang bertubuh kurus mengendap-endap. Dia menyusul langkah Menur. Jarak mereka hanya terpisah tiga langkah saja, hingga akhirnya pria itu berhasil menjangkau kerah belakang kebaya merah Menur, membuat gadis itu terperanjat, terkejut bukan alang kepalang.

Menur berhenti, lantas membalik badan dengan jantung yang berdentam-dentam.

"Mau apa kau, Kisanak?"

Nada tanya Menur bergetar oleh sebab rasa terkejutnya yang terasa berbalut takut. Matanya yang membulat mengerjap-ngerjap seraya memindai wajah empat orang pria beraroma tuak yang kini mengelilingi dirinya.

"Kami hanya ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat, Menur. Tak baik anak perawan berjalan seorang diri di tengah malam buta begini. Ayo, kami iringi langkahmu hingga ke perbatasan desa."

Pria kurus bergeser. Dia membuka jalan untuk Menur sembari menyeringai, memamerkan giginya yang kuning berpadu kehitaman akibat kopi dan tembakau. Menjijikkan, tentu tidak sedap dipandang mata mana pun.

Menur sejenak ragu, tetapi gadis itu tetap memberanikan diri melewati si pria kurus. Setelah berhasil menjauh lima langkah, Menur memutuskan untuk berlari sekuat tenaga yang gadis itu punya.

Selopnya terseret, mengentak, menggema di permukaan tanah berbatu. Membungkam jangkrik yang mengerik di belukar kanan-kiri jalanan setapak sepi.

Agak jauh, Menur menoleh. Untungnya empat pria mabuk tidak mengejarnya. Baru lah dia mampu bernapas lega. Dia jadi bisa melanjutkan langkah pulang ke rumah.

Akan tetapi dia salah duga. Manusia-manusia yang berniat jahat kepadanya bukan empat orang, melainkan enam. Dua orang yang lain ternyata telah menunggu di pertigaan jalan. Mereka bersembunyi di balik pohon mangga bercabang rimbun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status