Share

2. Menur yang Malang

Ketika Menur hendak lewat, manusia-manusia itu melompat ke tengah jalan, menghadangnya.

Empat orang pria yang menyusul di belakang Menur terbahak-bahak. Mereka melihat gadis incaran sudah terkepung. Hanya ada mereka, semak belukar dan pepohonan tinggi yang mengelilingi.

Wajah Menur sepucat kapas. Dia menyesali diri mengapa memilih pulang di jalan itu. Jalanan yang memang sering dia lalui seorang diri di siang hari. Jalan yang menurut Menur mampu membikinnya cepat sampai di rumah. Mengapa tadi dia menolak pulang bersama Wati? Batin, hati dan pikiran Menur sibuk mengutuki diri sendiri.

"Tolong jangan sakiti saya, Kisanak. Kasihanilah saya. Emak saya menunggu kepulangan saya di rumah seorang diri. Pasti beliau sedang cemas saat ini." Menur mengiba, berharap ke enam pria terketuk hatinya dan mau melepaskan gadis yang tengah dilanda ketakutan itu.

Namun, agaknya iblis telah mengenyahkan kesadaran diri mereka. Pria kurus mendorong Menur hingga jatuh terjengkang. Pria yang lain menarik tas kain batik, kemudian melemparkannya ke semak-semak, ke tengah-tengah rerumputan liar setinggi pinggang.

Menur sempat hendak mencari keberadaan tasnya. Namun, alam bawah sadar gadis itu mengatakan bahwa saat ini dia dalam bahaya. Keselamatannya lebih penting dari tas itu, lebih berharga ketimbang sejumlah uang yang berhasil dia kumpulkan sejak lama.

Menur mencoba bangkit, tetapi pria-pria bejat di sekeliling Menur tidak memberi kesempatan padanya untuk melarikan diri. Secara bergantian mereka menggagahi gadis malang yang berteriak, menendang, melakukan apa saja untuk mempertahankan kesuciannya. Akan tetapi, apalah daya. Tenaga Menur tidak sekuat pria dewasa. Dia kalah telak.

Puas menuntaskan hasrat bejat mereka, ke enam pria pergi. Mereka meninggalkan Menur yang telah hancur, berdarah, lengket dan basah seperti seseorang yang baru saja dihantam ombak tsunami tinggi. Kebaya merahnya robek di sana-sini. Begitu pula bawahannya yang terlempar entah ke mana. Menur sekarat. Dia seorang diri menahan kesakitan yang teramat sangat.

Saat Menur di ambang kematian, matanya menangkap sosok lain yang memerhatikannya dari balik rimbunnya pohon beringin yang tak jauh dari tubuh Menur terkapar. Tangan Menur menggapai-gapai ke arah sosok itu. Menur berharap seseorang itu mau menolongnya.

Ternyata Menur salah. Setelah perlahan-lahan mendekati, sosok itu terlihat jelas di mata Menur yang mulai mengabur.

Di mata Menur, makhluk itu bukan seperti manusia. Tingginya tidak normal. Dua kali lipat tinggi pria yang selama ini pernah Menur temui. Wajahnya aneh. Matanya besar. Berkulit merah dengan sudut bibir yang hampir menyentuh telinga. Jari-jarinya dihiasi kuku runcing tajam di ujung tangan yang berbulu hitam lebat.

Seharusnya Menur takut. Seharusnya Menur melarikan diri dan bersembunyi. Namun, saat ini pikirannya hanya tentang ibunya saja yang sedang cemas menanti kepulangan putri satu-satunya.

"Tolong saya ...," rintih Menur. "Emak ... Emak ... kasihan Emak."

Tangan Menur berusaha menggapai ke arah makhluk mengerikan itu. Namun, hingga Menur hilang kesadaran, makhluk itu hanya memerhatikan saja.

Setelah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari tubuh Menur, si makhluk tinggi besar menyeret gadis malang itu di bawah siraman cahaya bulan purnama yang membulat sempurna. Ia membawa tubuh memar dan berdarah-darah Menur ke dalam sebuah gua tersembunyi yang terletak di tepian jurang tak jauh dari tempat Menur direnggut paksa kesuciannya.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status