Share

5. Pencarian Menur

"Menur! Menur!"

Hampir semua warga turut melakukan pencarian: pria-pria, para pemuda, hingga aparat desa. Mereka menyusuri jalan-jalan, kebun-kebun, hingga tepian sungai sembari memukul-mukul tampah menggunakan tongkat kayu. Warga yang mempercayai bahwa Menur telah diculik hantu kopek, berharap gadis itu segera dilepaskan.

Sebagian area telah dirambah, tetapi tak jua mereka temui keberadaan jejak maupun bayangan diri Menur. Hasnah pun ikut mencari, ditemani oleh Wati yang tak sedetik pun beranjak dari sisinya. Hati gadis itu mengiba. Wati tak tega meninggalkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri itu, tersedu-sedu seorang diri.

Hingga kaki mereka sampai pada satu-satunya area yang tersisa, yakni jalan setapak di dekat pohon beringin, yang dianggap sebagian warga ialah tempat paling wingit di Desa Kumpeh.

Beberapa pria memperlambat langkah. Hanya yang bernyali besar yang mendahului menuju ke sana. Termasuk si kepala kampung dan Hasnah yang tidak peduli, yang penting Menur lekas ditemui.

"Menur! Menur! Di mana kau, Nak? Pulanglah, Nak!"

Hasnah berteriak. Suaranya sumbang, berpadu serak dan sengau akibat menangis sepanjang waktu. Sesungguhnya kakinya pun penat dan gontai, tetapi dia paksakan berjalan meski tertatih dan sesekali terantuk batu kerikil tajam.

Dua orang pemuda melangkah paling belakang. Jarak mereka terpaut lima langkah dari rombongan.

"Jang, bulu kudukku sejak tadi meremang. Apakah kau merasakan hal yang sama?" Bedul mendekatkan bibirnya ke telinga Ujang sembari mengusap-usap tengkuk. Sesungguhnya nyali pemuda berhidung bangir itu mulai meredup seperti sinar mentari yang hampir ditelan malam. Namun, harga dirinya tinggi. Dia tidak mau diolok-olok dan dicap warga lain sebagai seorang pria banci yang penakut.

"Aku pun sama," bisik Ujang. Dia menelan ludah. "Bahkan aku pun tak yakin Menur bisa kembali. Dugaanku dia sudah dibawa hantu ko-"

"Hush!" Sikut Bedul bergerak cepat menusuk rusuk Ujang, membuat temannya itu tersentak pelan. "Kita sekarang sedang berada di kawasan makhluk itu. Jangan sekali-kali kausebut nama itu." Bedul mengedarkan pandang. Matanya bergerak liar mengawasi semak belukar dan pepohonan tinggi yang mengelilingi mereka. Semenjak memasuki kawasan itu, atmosfernya dirasai sudah berbeda.

"Tas! Lihat! Ini tas milik menur!"

Teriakan seseorang yang berada paling depan membuat Ujang dan Bedul menghentikan cakap. Kedua pemuda itu mempercepat langkah untuk melihat apa yang tengah terjadi.

Hasnah sendiri mendengar nama putrinya disebut-sebut, seperti mendapatkan kekuatannya kembali. Wanita itu memaksakan tubuh lemahnya menyeruak di antara orang-orang yang juga ingin melihat secara lebih dekat.

Tas kain batik milik Menur kini berada di tangan Sanusi. Kepala kampung itu belum berani membuka isinya. Dia hanya memindai bagian luarnya saja dan memperkirakan isinya dengan cara menggoyang-goyangkannya.

Hasnah menyambar cepat tas itu, lantas memeluknya. "Benar, ini milik Menur. Ini tas Menur, Pak Sanusi!" Hasnah histeris. Sorot matanya nyalang berkeliling, ke arah belukar di mana tas itu ditemukan.

"Ayo, Bapak-Bapak. Pasti Menur tidak jauh dari sini." Sanusi memerintah lagi.

"Tapi, Pak. Hari sudah hampir Magrib. Apa tidak seharusnya kita istirahat dulu barang sebentar?" Ujang memberi saran. "Lagi pula, matahari sudah hampir terbenam. Kita tidak bisa melakukan pencarian dalam kegelapan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status