Share

6. Sosok Menur yang Berbeda

Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi.

"Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."

Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.

Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya.

"Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"

Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya.

"Sabar, Mak Menur. Mari kita istirahat dulu barang sekejap." Sanusi menepuk-nepuk bahu Hasnah yang berguncang-guncang hebat. "Pasti Menur bisa kita temukan. Saya juga mohon agar Emak tak putus berdoa. Saya yakin ada kekuatan dahsyat dari doa seorang ibu."

Setelah dirasa cukup, setengah jam kemudian mereka kembali bergerak. Menyusuri semak-semak, balik pepohonan nan rimbun sembari memanggil-manggil nama Menur, dibantu dengan penerangan berupa beberapa obor yang berhasil dinyalakan. Semangat mereka tak pernah redup demi memberi harapan pada Hasnah, salah seorang warga yang terkenal ramah, lagi tidak banyak tingkah.

Hingga pada momen ketika kaki salah seorang warga hanya berjarak satu meter saja dari gua tersembunyi, petir menggelegar secara tiba-tiba. Pohon-pohon tinggi bergoyang-goyang tersapu angin kencang. Angin itu juga memadamkan api-api obor sehingga tidak ada lagi cahaya yang menerangi mereka. Semuanya kembali menjadi gelap gulita.

Ujang dan Bedul saling merapatkan tubuh masing-masing. Nyali kedua pemuda itu ciut seketika. Ketegangan dan ketakutan pun menular kepada raut wajah warga yang lain.

"Bagaimana ini, Pak Sanusi?" Seorang pria berkumis tebal bertubuh tambun berbicara. "Tampaknya mau hujan badai."

Sanusi mendongak ke langit tinggi. Aneh. Bukankah tadi cuaca cerah dan baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba berubah dalam kedipan mata? Sanusi bergumam dalam hati.

"Tidak apa-apa, Pak." Sanusi menenangkan. "Hanya geluduk biasa. Awan dan hujannya bakal terbawa angin lalu. Ayo, kita lanjutkan kembali pencarian ini."

Ketika mereka kembali bergerak, hujan deras, angin kencang dan petir menyambar-nyambar secara bersamaan. Tanpa dikomando, para warga yang sejak tadi merasakan ada sesuatu yang tidak beres, segera membubarkan diri. Mereka tak lagi memedulikan kepala kampung yang mematung menatap aksi kepergian mereka.

Wati menyambar dan mematahkan pangkal pelepah pisang terdekat. Daunnya dia jadikan payung untuk menaungi Hasnah dan juga dirinya sendiri.

"Mak, cuaca tidak bersahabat. Mari kita pulang saja. Mari, Mak!" Wati menarik lengan kanan Hasnah, berusaha menyeret wanita itu pulang, tetapi Hasnah masih juga bertahan.

Sanusi yang melihat, ikut membujuk. "Betul kata Wati, Mak. Tidak memungkinkan kita melanjutkan pencarian ini. Lihatlah. Hanya tinggal kita bertiga di sini."

Hasnah akhirnya pasrah. Kedua tangannya lunglai. Dia ikut saja ketika kedua orang yang peduli padanya, menuntunnya ke arah jalan pulang.

Akan tetapi, tanpa mereka bertiga sadari, ada sosok lain berkebaya merah yang sedang mengamati kepergian mereka dari balik rimbunnya pohon beringin.

"Emak ...."

Sosok itu ialah Menur dalam wujud yang tak lagi sama. Wajahnya pucat pasi. Bola matanya merah menyala-nyala. Kukunya runcing tajam bak pisau baja. Ada sosok lain yang bersemayam dan menyatu di raganya. Sosok yang menguasai, yang menjanjikan kekuatan pada Menur untuk membalaskan kesumatnya pada enam orang pria durjana.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status