Share

8. Pembalasan Pertama

Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.

Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.

Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya.

"Hi-hi-hi!"

Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.

Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.

Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.

Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangannya basah mengeluarkan cairan yang berbau pesing. Maymun ketakutan hingga terkencing-kencing.

Akan tetapi, entah mendapat kekuatan dari mana, Maymun sanggup berdiri, kemudian dia berlari sekencang mungkin.

"Tolong! Tolong! Kun-kuntilanak merah!" teriak Maymun meminta pertolongan.

Maymun terus berlari tanpa arah. Dia hanya mengikuti naluri yang mengatakan bahwa: Pergi saja dari sana. Pergi sejauh mungkin hingga kuntilanak merah itu tak bisa lagi menemukannya.

Maymun salah besar. Energi tak kasat mata yang tanpa dia sadari, telah mempengaruhinya, menuntun Maymun untuk pergi menuju tempat di mana Maymun ikut andil dalam kematian Menur di malam jahanam tempo hari.

Maymun melompati kebun singkong, menerabas semak belukar, menabrak dan mematahkan tanaman apa saja yang menghalangi kakinya. Dia tidak peduli asal menjauhi rumahnya sendiri. Maymun terus berlari sejauh mungkin ke arah Barat.

Kesadaran Maymun kembali setelah tubuhnya menabrak pohon beringin yang tumbuh kokoh lagi tinggi. Maymun terjengkang. Persis sama ketika Arman, temannya, mendorong tubuh Menur secara kasar.

Sosok Menur kini berdiri tepat di depan Maymun. Menatapnya dengan kedua mata yang semerah darah dan amarah yang menyala-nyala terbalur dendam membara.

Maymun megap-megap hampir kehabisan napas. Ditambah dengan keberanian yang hilang keseluruhan, membuat jantung pria itu berdetak tak karuan.

"Ampun ... ampuni saya." Maymun terisak-isak seperti bocah kecil yang menginginkan hadiah. Kedua tangannya menangkup di depan dada, memohon agar Menur tidak menyakitinya.

"Di malam itu aku juga mengiba sepertimu, Maymun. Tapi kau sama sekali tidak memedulikan kesakitanku. Kalian berenam manusia keji. Kalian pantas mati dengan cara yang lebih mengenaskan daripada kematianku."

Sosok Menur yang kini hanya berjarak sejengkal saja dari Maymun, berbicara. Meski bibirnya yang bergerak-gerak, tetapi suara yang keluar dari mulutnya ialah suara berat laki-laki dewasa bercampur geraman beruang liar.

Maymun yang semakin meringkuk, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

Jleb!

Tahu-tahu kelima kuku runcing Menur menancap telak ke tengkorak Maymun. Menembus hingga ke batang tenggorokannya. Maymun mendelik, kelojotan. Suaranya seperti lembu disembelih, sumbang tak karuan.

Sekali sentak, Menur mencabut kembali kukunya yang berdarah-darah. Makhluk itu mengikik tanpa jeda, lalu melayang, menghilang. Meninggalkan tubuh Maymun yang sudah tidak bernyawa dengan luka menganga pada kepala dan batang lehernya.

~AA~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status