Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan
Kuak lembu diselingi derik jangkrik mengisi kesunyian malam Desa Niaso, sebuah desa yang berjarak tiga desa saja dari Desa Kumpeh. Berbeda sekali dengan suasana tadi siang, kini desa itu diliputi oleh sepi yang mencengkam. Entahlah, seperti ada yang aneh. Suhu udaranya pun dingin menusuk kulit.Di sebuah rumah berhalaman luas, sampah-sampah sisa pembungkus makanan para tamu berserak di sana-sini. Tenda-tenda yang masih terpancang di tengah halaman, menandakan si empunya baru saja melaksanakan hajatan besar-besaran.Pak Broto menikahkan putri semata wayangnya, Ratna, dengan pemuda kekar nan tampan dari luar desa. Samin berhasil memikat hati dan mempersunting perempuan itu hanya dalam kurun waktu dua bulan pendekatan saja. Anak gadis juragan kaya itu terbuai dalam sejuta janji manis yang diberikan Samin beserta mimpi-mimpi yang masih direncanakannya.Dari teras rumah, lampu kamar Ratna terlihat menyala. Ratna sendiri masih terjaga, di depan kaca rias dia tengah sibuk menyisir rambutnya y
Sedetik kemudian barulah Samin menyadari, kesalahan fatal yang baru saja dia perbuat telah berhasil menghancurkan masa depannya."Tidak! Tidaaak!"Samin histeris. Tanpa membuang waktu dia mendobrak daun jendela yang berada tepat di belakangnya, lantas keluar dari kamar dalam satu kali lompatan.Samin berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang. Derap kakinya seperti orang kesetanan. Dia takut sekali orang-orang yang mengejarnya, berhasil menangkap dan menyeretnya ke kantor polisi.Selintas memori beberapa waktu lalu, memenuhi kepalanya.Malam itu temannya, Arman, mengajaknya berpesta minum minuman keras untuk merayakan atas berhasilnya Samin memikat hati Ratna, anak juragan kaya yang telah dia incar sejak lama. Gadis itu akhirnya bersedia menerima lamaran Samin dan mau menjadi istrinya. Arman ingin Samin membikin pesta bujangan.Mereka pun memutuskan untuk berkumpul di rumah Samin. Kebetulan tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Samin sedang mengadakan acara hajatan. Seh
Sepenggal memori itu yang mengiringi derap kaki Samin dalam pelariannya. Sebagian ingatannya kabur karena dipengaruhi minuman memabukkan yang berhasil meracuni pikiran baik saat itu.Yang dia ingat, mereka bersama-sama membuntuti Menur. Yang Samin ingat, Arman yang memulai duluan. Mendorong gadis itu dan mencabik-cabik pakaian Menur seperti harimau yang sedang kelaparan.Samin terus berlari di kegelapan malam. Tujuannya ialah tempat di mana kelima temannya yang lain: Alwi, Ijat, Maymun, Wahab, Arman sering berkumpul untuk bermain kartu domino.Sedetik pun Samin tidak berhenti untuk mengistirahatkan diri. Meski napasnya tinggal satu-satu, meski baju kemeja di badannya sudah basah oleh peluh. Meski kakinya sudah lecet, luka, karena tersandung batu atau pun terkena tanaman menjalar yang berduri. Samin tidak peduli. Yang penting saat ini dia segera mendapat perlindungan dari teman-temannya yang lain.Mata Samin sudah menangkap bangunan persegi empat persis di tepi jalan raya, sebuah gubuk
"Kenapa aku tak kalian beri tahu?""Karena kau terlalu sibuk dengan pesta pernikahanmu. Lagi pula, kami tak ingin merusak kebahagiaanmu," jawab Ijat takut-takut."Bagaimana dengan Arman?""Sudah lama kami tidak mendengar kabar darinya." Ijat menjawab."Ini karena ide gila darinya! Duda haram jadah!" Samin mengumpat. "Kenapa bukan dia saja yang diteror hantu gadis itu? Kenapa harus aku?"Alwi menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju. "Kita ikut andil di malam itu, Min. Apa kau lupa? Bahkan kau melakukannya setelah Arman."Samin semakin terpuruk. Dia jatuh terduduk di hadapan tiga pasang kaki teman-temannya. "Andai saja aku tidak minum tuak terlalu banyak malam itu." Samin kembali tergugu. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sekarang ialah seorang buronan. Aku sudah membunuh istriku sendiri!""Bagaimana kalau kita ke rumah Arman saja? Sekalian melihat kondisinya. Mungkin dia punya jalan keluar untuk masalah ini." Wahab memberi ide.Bukan tanpa alasan. Di antara mereka memang
Sanusi memijit-mijit kedua pelipisnya. Dia merasakan sakit kepala yang tiada tara: berdenyut-denyut, mengentak membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Rasanya seperti kepalanya sedang dihantam palu raksasa saja. Padahal sejak sejam yang lalu, dia sudah meminum obat pereda nyeri yang dibeli istrinya di warung depan rumah.Bagaimana dia tidak mendapatkan sakit kepala yang hebat, kasus hilangnya Menur masih menjadi sebuah misteri yang sama sekali belum ditemukan titik terangnya. Ditambah lagi ada penemuan mayat warga desa lain yang ditemukan di desa yang dia pimpin. Tentu hal ini bakal menjadi bahan kecurigaan pihak kepolisian, bahwa salah seorang warganya adalah pelaku pembunuhan.Belum lagi Sanusi juga harus memikirkan teka-teki yang diberikan Pakdo Ramli. Sanusi hanya disuruh menunggu saja, tetapi dia sendiri pun tidak tahu apakah yang dimaksud dukun sakti itu. Hal apakah yang bakal terjadi, yang menurut Pakdo Ramli ialah jawaban dari segala perkara yang menimpa? Ah ... Sanusi benar-
Ujang tidak bertanya lagi sebab dia tidak ingin kepala kampung itu berubah pikiran, lantas mengajaknya ikut serta. Sudah cukup terakhir kali Ujang mendapat sorotan mata tajam dari dukun itu. Demi apa pun, dia tidak menginginkannya lagi.Ujang berdiri di pekarangan rumah, seraya menatap kepergian Sanusi hingga menghilang di tikungan jalan merah berbatu.~AA~Sanusi tiba di gubuk Pakdo Ramli tepat tengah hari. Di saat mentari bersinar dengan garangnya. Di saat tak satu pun burung yang berani berkicau atau binatang lain bersuara. Kata orang-orang jaman dulu, tengah hari ialah waktu di mana makhluk bunian berkeliaran mencari makan atau mangsa, seperti: hantu kopek yang menculik anak-anak, hantu air yang menarik seseorang saat berenang sendirian, atau penguasa hutan yang membikin pengelana tersesat tanpa arah.Pintu gubuk Pakdo Ramli tertutup rapat. Meski Sanusi agak bingung, dia tidak kehabisan akal. Setelah menyandarkan sepeda ontel milik Ujang ke pohon terdekat, Sanusi berjalan memutari
Di sudut ruangan tanpa penerangan, Arman menggigil. Bahunya yang kurus ringkih berselimutkan kain sarung yang penuh tambalan di sana-sini. Pria itu ketakutan. Matanya nyalang menatap sekitar, seolah-olah ada sesuatu yang menakutkan sedang mengincar nyawanya.Semenjak Arman mendengar kabar tentang kematian kelima temannya, dia tidak pernah lagi keluar dari rumah. Tiap pintu, jendela, dia kunci dari dalam. Bahkan seekor nyamuk kebun pun tak dibiarkan bisa lolos karena tiap celah telah Arman tutup rapat memakai kepingan papan kayu bulian, dipaku kuat dari dalam. Arman begitu ketakutan setengah mati.Sesungguhnya teror demi teror sudah menghantuinya sejak lama. Namun, Arman tidak begitu ambil peduli. Dia pikir mana bisa hantu penasaran bisa sampai merenggut nyawa manusia. Yang dia tahu, hantu hanya bisa menakut-nakuti atau paling parah hanya bisa membikin manusia demam tinggi atau ketempelan saja.Siapa sangka, hantu Menur mampu melakukan aksi brutal. Terbukti dengan kematian Maymun, Samin