Minggu siang yang terik dan berdebu. Di dalam mobil Avanza hitam, Gadis duduk termangu di bangku penumpang. Di sebelahnya, Nopi menyandarkan kepala ke bahu Gadis sembari terpejam.Hampir satu jam mereka menempuh perjalanan. Kata Teh Reni yang sejak tadi berceloteh di bangku depan, sebentar lagi mereka akan tiba di desa tujuan, Desa Kumpeh.Gadis sendiri cukup menikmati pemandangan yang terpampang di kiri jalan. Pepohonan rimbun menyejukkan mata, sangat jarang dia temui di sekitar rumahnya. Apalagi sekarang lagi musim buah duku. Buah yang kulitnya berwarna cokelat muda itu banyak sekali dijajakan di tepi-tepi jalan, dan itu menggiurkan bagi Gadis. Sepulang nanti dia berniat akan meminta Teh Reni mampir dulu membeli buah duku untuk ibunya di rumah.Mobil Avanza mulai melaju perlahan ketika memasuki jalanan belum beraspal. Permukaannya masih berupa berbatuan kasar berpadu tanah merah yang diratakan secara asal.Entah kenapa saat memasuki area ini, Gadis merasakan atmosfer yang berbeda, te
Mereka berdua berjalan kaki sekitar lima belas menit, lalu tiba di simpang tiga dekat pangkalan ojek. Warung bakso Bang Ujang yang dimaksud Nopi hanya warung sederhana. Bangunan itu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter persegi, hanya dikelilingi terpal biru dan beratap seng.Pria berusia lima puluhan menyambut mereka ramah. Badannya kurus, tampilannya seadanya. "Nak Nopi ke sini lagi?""Iya, Bang." Nopi mengangguk sopan sembari tersenyum. "Bang, kami pesan dua mangkuk bakso, ya. Minumnya air putih aja.""Siap, Nop." Ujang segera meracik pesanan para gadis itu.Gadis mengambil tempat duduk di bangku panjang sebelah Nopi. Badannya dicondongkan sedikit ke arah sepupunya itu sembari berbisik, "Kenapa kamu panggil 'Abang', tampilannya lebih tua dari dugaanku." Gadis protes. Tentu Nopi tergelak."Karena orang-orang sini memanggilnya begitu. Aku cuma ikutan aja."Tak lama, datang pengunjung lain, seorang ibu-ibu yang juga berjalan kaki seperti mereka. Tampaknya ibu-ibu itu juga menge
Gadis dan Nopi melangkah pelan-pelan menuju kembali ke tempat di mana Teh Reni tengah menunggu mereka. Perut kedua gadis itu kini terasa kenyang, mata mereka pun menjadi mengantuk. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berembus yang menerpa wajah mereka."Nopi kenal Bang Ujang udah lama, ya?" Tiba-tiba Gadis melemparkan tanya.Meski merasa heran, Nopi mengangguk sembari menjawab, "Dulu Bang Ujang berjualan bakso berkeliling sampai ke rumah Kak Dani. Tapi sekarang dia mangkal di warung yang tadi.""Oh ....""Kenapa, Dis?"Gadis menggeleng. "Gak apa-apa. Feeling-ku bilang kalau Bang Ujang mengetahui sesuatu. Cuma kayaknya dia sengaja merahasiakannya.""Mengenai apa?" Nopi masih belum mengerti. "Sikap Bang Ujang memang kayak gitu kalau ketemu orang baru." Bahu Nopi mengedik."Perihal kebun Teh Reni yang kata warga sini angker itu, lho." Gadis memutar bola matanya. "Masak kamu gak paham, sih?""He-he. Abis aku cuma fokus makan bakso aja. Keburu lapar." Nopi nyengir.Selebihnya Gadis memilih dia
Makhluk merah tersebut kemudian menyeret si perempuan berkebaya ke dalam sebuah lubang menganga di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, Gadis berlari menyusul. Sayangnya dia kalah cepat. Makhluk besar menyeramkan dan juga perempuan berkebaya merah yang diseretnya telah menghilang ke dalam lubang yang kini berubah menjadi gundukan sarang semut.Puas Gadis berkeliling untuk memastikan dan mencari lubang yang kira-kira berdiameter dua langkah kaki orang dewasa itu, tetapi matanya hanya menangkap gundukan setinggi lutut serta rerumputan ilalang yang mengelilingi lagi gersang sehabis disiram menggunakan racun rumput oleh para tukang yang diupah Teh Reni.Nopi yang terheran-heran melihat kelakuan Gadis tak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak menyusul. Nopi tidak mau terjadi sesuatu kepada sepupunya itu sebab dia yang membawanya ke sini."Gadis kenapa?" Nopi terengah-engah sehabis berlari.Gadis tidak menjawab. Dia masih mondar-mandir berkeliling mencari sesuatu. Namun, tak lama Gadis berh
Ujang terduduk pada bangku panjang di warung baksonya sembari tafakur. Detakan jantung pria itu masih terasa meski gadis bermata tajam yang tadi melontarkan pertanyaan kepadanya, telah pergi setengah jam yang lalu.Untung gadis itu tidak terus-terusan mendesaknya. Jika tidak, bisa jadi Ujang menjadi gugup dan tanpa sengaja bakal merusak janji yang telah dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu bersama Sanusi.Ujang telah berhasil menyimpan rahasia itu selama ini, bahkan dari istrinya sendiri. Meski ada perasaan bersalah, meski sejujurnya batinnya terus tersiksa sebab menyimpan kenyataan yang ada. Namun, mau apa lagi, seperti yang pernah dikatakan Sanusi tempo hari bahwa ini merupakan cara yang terbaik, menurut mereka berdua.Setelah sukses menenteramkan perasaannya yang sempat tak karuan, Ujang kembali berbenah: mencuci piring dan gelas kotor, menyimpan sendok-sendok ke kolong gerobak, mengelap meja dan membersihkan sampah-sampah sisa para pelanggan.Baksonya tersisa dua porsi. Seperti k
Nopi yang sejak tadi terheran-heran menyaksikan percakapan dua orang di depannya, mendongak dan menatap ke langit biru. "Cerah gini, kok, apanya yang mau hujan?" Gadis tomboi itu geleng-geleng kepala.Gadis menepuk bahu Nopi gemas, "Itu cuma alasan Bang Ujang aja supaya bisa ninggalin kita. Ayo, kita buntutin Bang Ujang. Katamu rumahnya gak jauh dari sini, kan?"Nopi bertambah heran lagi melihat keputusan sepupunya yang menurutnya lebih aneh dan tidak mau peduli meski telah diabaikan. Apa gerangan yang membuat Gadis keras kepala dan bersikap demikian? Namun, Nopi tidak sempat bertanya. Sepupunya telah meninggalkannya, mendahului berjalan cepat menyusul ke arah Ujang pergi."Hei, Gadis, tunggu aku! Hei!"~AA~Setiba di rumah, Ujang disambut istrinya, Wati, dengan raut terheran-heran. Bagaimana tidak, wanita itu mendapati suaminya bak habis dikejar setan. Wajahnya sepucat kapas, napasnya cengap-cengap, baju kaosnya basah oleh peluh."Abang kenapa, kok, seperti habis dikejar hantu?" Wati
Hasnah tertidur dalam posisi miring di ranjang besi berukuran nomor dua. Bibirnya mengulas senyum manis, seolah segala nestapa yang selama ini mengimpitnya, sirna sudah. Kedua tangannya erat menggenggam jemari Gadis yang dengan penuh kasih sayang telah berhasil meninabobokannya.Ada perasaan haru mengisi relung hati Gadis. Gadis sadar betul bahwa tadi dirinya sempat dikuasai oleh energi Menur yang mengikutinya hingga ke rumah Ujang. Dibiarkannya saja. Ternyata kepasrahannya berakhir seperti ini, tanpa dia duga sebelumnya.Sesudah memastikan Hasnah tertidur pulas, Gadis bangkit dari duduk. Diraihnya selimut yang terbuat dari potongan kain perca yang terletak di dekat kaki Hasnah, lalu dia selimuti tubuh ringkih wanita itu.Gadis menarik napas panjang-panjang sebelum melangkah melewati pintu kamar Hasnah. Dia tentu harus mempersiapkan diri serta jawaban yang masuk akal untuk diberikan kepada semua orang, yang kini sedang menunggunya di kursi ruang tamu rumah sederhana itu.Ujang bertopa
Ujang semakin terpana. Bagaimana gadis berbadan mungil di depannya ini bahkan tahu nama Sanusi?Seperti tahu isi batin Ujang, Gadis lalu berkata, "Saya juga tau. Bukan hanya satu orang saja yang menghilang di desa ini, kan, Bang? Melainkan dua orang."Ujang kian tak berkutik. Tanpa sadar, punggungnya terenyak ke sandaran sofa. Berakhir sudah pikirnya. Dia tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini terlalu lama."Kau benar, Nak." Ujang menelan ludah. "Baiklah, besok ikut saya menemui Pak Sanusi. Sebenarnya dia satu-satunya saksi kunci mengenai peristiwa di malam itu, saat Pakdo Ramli menghilang hingga sampai saat ini.""Pakdo Ramli hilang, Bang?" Wati memotong pembicaraan. "Bukankah orang-orang bilang Pakdo pindah ke Kerinci, Bang? Semadi di gunung sana?"Ujang menggeleng lemah, "Maafkan Abang, Wati. Bukan seperti itu ceritanya. Bersabarlah, pasti nanti kau bakal kuberi tahu."Lagi-lagi Wati harus menyimpan rasa penasarannya. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa yang disembunyikan suaminy