Seunit mobil Avanza melaju menuju Kabupaten Muaro Jambi. Pengemudinya seorang perempuan yang memakai kacamata hitam dan juga headseat pada telinga.Teh Reni, hanya memilih untuk tidak ingin mendengar percakapan yang terjadi di bangku penumpang. Selain menurutnya tak beradab menguping perbincangan orang lain, bahan obrolan mereka juga dapat merusak konsentrasinya ketika menyetir, yakni percakapan mengenai hantu atau semacamnya. Sudah cukup perkara pohon beringin yang beberapa minggu ini cukup memusingkan kepalanya.Di sebelah Teh Reni, duduk Ujang yang berpakaian agak rapi: kemeja garis-garis dan berpeci hitam, sedang di bangku belakang ada Gadis dan Nopi yang sesekali menguap karena mengantuk.Berdasarkan keterangan yang didapat Ujang, Sanusi telah pindah ke desa lain semenjak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala kampung. Sama seperti Ujang, rasa bersalah dan penyesalan selalu menghantui dirinya setiap waktu.Bagaimana bisa Sanusi duduk manis menikmati gaji plus bonus di r
Ujang mencegah. "Tidak usah, Bu. Biar saya saja yang menjemputnya."Gadis yang memerhatikan percakapan mereka sedari tadi, ikut turun dari mobil. Namun sebelumnya dia berpesan pada Teh Reni agar jangan membangunkan Nopi yang baru saja tertidur. Teh Reni mengiakan. Dia juga enggan untuk keluar dari mobilnya. Lebih baik di dalam mobil saja. Aman dari gigitan nyamuk-nyamuk kebun yang ukurannya lebih besar dari nyamuk biasa.Gadis mengikuti langkah Ujang. Pria itu berjalan cepat menuju ke arah pondok yang terlihat hanya atapnya saja. Meski terkesan dekat, tetapi mereka butuh sepuluh menit untuk mencapai tempat itu.Tampak seorang pria kekar membelakangi. Urat-urat tangannya menyembul saat mencangkul tanah. Posturnya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dulu. Rambutnya pun hampir keseluruhannya memutih. Wajar saja, Ujang saja sudah hampir memasuki lima puluh tahun, sedangkan Sanusi pastilah lebih dari itu."Pak Sanusi!" Ujang memanggilnya setelah jarak mereka tidak begitu jauh.
Suasana berubah menjadi tak nyaman ketika nama Menur dan Pakdo Ramli disebut oleh Ujang. Raut Sanusi pun berubah masam. Lirikannya tajam menatap tiap kepala yang berada di ruang tamunya.Seperti bisa membaca situasi, Teh Reni mengajak Nopi untuk mengikutinya ke luar rumah. Awalnya Nopi menolak. Dia tidak mau meninggalkan Gadis seorang diri di situ, tapi Gadis memberi kode seraya mengulas senyum menenangkan hingga akhirnya Nopi mau juga pergi."Teteh mau cari makanan dulu, ya, Dis. Gak apa, kan, kalau Teteh ajak Nopi?" Teh Reni meminta persetujuan sebelum melewati ambang pintu. Gadis hanya mengangguk setuju.Deru mesin mobil Teh Reni melaju menjauh. Setelahnya suasana kembali senyap dan canggung.Ujang yang serba salah, mencoba memberi penjelasan. Dia secara panjang lebar menceritakan semua yang terjadi: sedari pertama kali bertemu Gadis hingga Hasnah yang berbicara untuk pertama kalinya setelah sekian lama membisu."Awalnya saya sendiri tidak percaya, Pak, tapi ... saya melihat dengan
Mereka kembali melanjutkan langkah, tetapi sosok hantu perempuan itu tetap mengikuti ke mana Gadis pergi. Ia hinggap dari pohon ke pohon di sepanjang jalan.Hantu itu menguping pembicaraan mereka ketika Gadis memberitahu Ujang bahwa dia bisa melihat makhluk gaib. Apalagi hantu itu sempat melihat energi makhluk gaib lain yang dibawa Gadis ke sana. Tentu hal ini sangat menarik perhatiannya.Gadis dan Nopi terus saja berjalan tanpa menghiraukan apa pun. Setiba di depan pagar kebun Teh Reni, Gadis berhenti. Ketika menoleh, hantu tadi—yang sering disebut 'Kuntilanak' oleh orang kebanyakan—berhenti mengikuti mereka, malah bersembunyi di pohon yang berada tak jauh dari sana.Gadis memang aneh. Bukannya lega, hal itu malah menggelitik rasa penasarannya."Kamu temui Teh Reni dulu, Nop. Aku ada urusan sebentar."Nopi menyambar lengan Gadis sebelum pergi. "Mau ke mana lagi? Kita udah telat banget ini," cegahnya.Gadis menunjuk pohon tempat kuntilanak sedang duduk manis. "Aku penasaran kenapa dia
Memori Sanusi kembali terbang mundur. Pria itu dipaksa mengenang lagi peristiwa yang membikinnya merutuki diri hingga di separuh usianya. Rasa penyesalan yang sedikit demi sedikit berhasil dia timbun, kini kembali terkuak karena kalimat yang diberikan Gadis.Siapa gadis ini sebenarnya? Dan kenapa dia bertindak sejauh ini? Begitu lancangnya dia menyibak aib yang mati-matian telah Sanusi sembunyikan sejak lama."Pulanglah!" Sanusi membentak. "Jangan ingatkan aku pada peristiwa itu lagi." Dia memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Seperti ada sesuatu yang mengimpitnya, begitu berat dan menyakitkan."Melarikan diri bukan cara penyelesaian yang terbaik, Pak Sanusi. Saya tau sekali bahwa Bapak orang baik, sebab sampai sekarang Bapak masih menyimpan keris milik Pakdo Ramli di situ. Benar, kan?" Gadis melirik ke arah bilik. Sejak tadi matanya melihat cahaya berpendar kuning dari arah sana.Bak tertangkap basah, Sanusi tidak bisa berkata-kata lagi. Dia mati kutu. Ucapan Gadis benar adan
Di sofa ruang tamu rumahnya, Gadis melamun sembari menikmati angin malam yang masuk melalui pintu depan yang sengaja dibuka lebar. Di meja, buku-buku sekolah masih bertebaran. Gadis itu baru saja mengerjakan tugas sekolahnya.Oleh sebab teringat sesuatu, Gadis berdiri dan pergi ke belakang. Ibunya tadi sore bilang membikin bolu pandan kesukaannya. Lumayan, untuk mengganjal perutnya yang lapar. Meski tadi jam tujuh dia sudah makan nasi, tetapi perutnya masih terasa ingin diisi. Mungkin ini akibat karena Gadis banyak memikirkan masalah yang tengah dihadapi.Gadis berhasil menemukan beberapa potongan bolu pandan di bawah tudung saji. Dia kembali ke ruang tamu bersama piring berisi bolu-bolu itu. Namun, piring di tangan Gadis hampir saja terlepas jika dia tidak segera menguasai diri.Sesosok kuntilanak kini berdiri di sudut ruang tamu, bersembunyi tepat di belakang pintu yang disinari cahaya lampu temaram. Rambutnya yang kusut masai dan panjang, menjuntai hingga ke ubin. Bola matanya berw
Sepanjang jalan Nopi tak henti-hentinya mengingatkan kepada Gadis untuk tidak terlalu ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain. Meski agak kesal, tetap saja gadis tomboi itu menurut untuk mengantarkan sepupunya itu ke rumah Ujang sore ini."Kamu kenapa jadi gini, sih, Dis? Segala kunti mau dicari? Ah, elah ...." Suaranya berbaur dengan mesin motor metic yang dikendarainya. Jalanan sepi, hanya beberapa motor dan mobil saja yang berpapasan dengan mereka.Gadis tersenyum geli sembari memeluk erat Nopi dari belakang. Sepupunya itu melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan kencang untuk mengejar waktu. Sebab jarak yang ditempuh lumayan jauh.Gadis sempat menghubungi Teh Reni, berharap perempuan itu mau mengantarkan. Namun, Teh Reni punya pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."Soalnya Surti punya info penting, Nop. Kalau kita tau alamat Pakdo Ramli, kan, kita gak perlu menunggu kabar dari Pak Sanusi lagi." Gadis membela diri. "Lagian, entah kenapa aku yak
Nopi melajukan motornya pelan-pelan di belakang sepeda ontel yang dikendarai Ujang. Mereka bersama-sama menuju ke rumah pria itu.Setiba di rumah Ujang, azan magrib berkumandang. Gadis sempat melirik ke pohon kantil yang berada di persimpangan jalan. Namun, tempat itu kosong. Dia sama sekali tidak melihat Surti. Entah itu sekelebatan daster putihnya yang kumal, atau pun rambutnya yang menjuntai hingga ke bawah. Ke mana perginya makhluk itu?"Masuk dulu ke dalam, tampaknya hari mau hujan." Ujang menatap ke langit abu-abu berpadu pekat, lalu mendahului masuk ke rumah.Wati menyongsong ke depan, "Eh, ada tamu." Dia tersenyum ramah. Semenjak Hasnah menjadi bisa berbicara dan kembali riang, sejujurnya Wati jadi menyukai Gadis. Dia senang sekali tiap Gadis mengunjungi rumahnya."Iya, Kak." Nopi menjawab ramah.Mereka berdua masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Benar saja, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya."Yah ... gimana ini? Mana aku gak bawa mantel, Dis." Nopi memandang buliran-bulir