Mereka kembali melanjutkan langkah, tetapi sosok hantu perempuan itu tetap mengikuti ke mana Gadis pergi. Ia hinggap dari pohon ke pohon di sepanjang jalan.Hantu itu menguping pembicaraan mereka ketika Gadis memberitahu Ujang bahwa dia bisa melihat makhluk gaib. Apalagi hantu itu sempat melihat energi makhluk gaib lain yang dibawa Gadis ke sana. Tentu hal ini sangat menarik perhatiannya.Gadis dan Nopi terus saja berjalan tanpa menghiraukan apa pun. Setiba di depan pagar kebun Teh Reni, Gadis berhenti. Ketika menoleh, hantu tadi—yang sering disebut 'Kuntilanak' oleh orang kebanyakan—berhenti mengikuti mereka, malah bersembunyi di pohon yang berada tak jauh dari sana.Gadis memang aneh. Bukannya lega, hal itu malah menggelitik rasa penasarannya."Kamu temui Teh Reni dulu, Nop. Aku ada urusan sebentar."Nopi menyambar lengan Gadis sebelum pergi. "Mau ke mana lagi? Kita udah telat banget ini," cegahnya.Gadis menunjuk pohon tempat kuntilanak sedang duduk manis. "Aku penasaran kenapa dia
Memori Sanusi kembali terbang mundur. Pria itu dipaksa mengenang lagi peristiwa yang membikinnya merutuki diri hingga di separuh usianya. Rasa penyesalan yang sedikit demi sedikit berhasil dia timbun, kini kembali terkuak karena kalimat yang diberikan Gadis.Siapa gadis ini sebenarnya? Dan kenapa dia bertindak sejauh ini? Begitu lancangnya dia menyibak aib yang mati-matian telah Sanusi sembunyikan sejak lama."Pulanglah!" Sanusi membentak. "Jangan ingatkan aku pada peristiwa itu lagi." Dia memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Seperti ada sesuatu yang mengimpitnya, begitu berat dan menyakitkan."Melarikan diri bukan cara penyelesaian yang terbaik, Pak Sanusi. Saya tau sekali bahwa Bapak orang baik, sebab sampai sekarang Bapak masih menyimpan keris milik Pakdo Ramli di situ. Benar, kan?" Gadis melirik ke arah bilik. Sejak tadi matanya melihat cahaya berpendar kuning dari arah sana.Bak tertangkap basah, Sanusi tidak bisa berkata-kata lagi. Dia mati kutu. Ucapan Gadis benar adan
Di sofa ruang tamu rumahnya, Gadis melamun sembari menikmati angin malam yang masuk melalui pintu depan yang sengaja dibuka lebar. Di meja, buku-buku sekolah masih bertebaran. Gadis itu baru saja mengerjakan tugas sekolahnya.Oleh sebab teringat sesuatu, Gadis berdiri dan pergi ke belakang. Ibunya tadi sore bilang membikin bolu pandan kesukaannya. Lumayan, untuk mengganjal perutnya yang lapar. Meski tadi jam tujuh dia sudah makan nasi, tetapi perutnya masih terasa ingin diisi. Mungkin ini akibat karena Gadis banyak memikirkan masalah yang tengah dihadapi.Gadis berhasil menemukan beberapa potongan bolu pandan di bawah tudung saji. Dia kembali ke ruang tamu bersama piring berisi bolu-bolu itu. Namun, piring di tangan Gadis hampir saja terlepas jika dia tidak segera menguasai diri.Sesosok kuntilanak kini berdiri di sudut ruang tamu, bersembunyi tepat di belakang pintu yang disinari cahaya lampu temaram. Rambutnya yang kusut masai dan panjang, menjuntai hingga ke ubin. Bola matanya berw
Sepanjang jalan Nopi tak henti-hentinya mengingatkan kepada Gadis untuk tidak terlalu ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain. Meski agak kesal, tetap saja gadis tomboi itu menurut untuk mengantarkan sepupunya itu ke rumah Ujang sore ini."Kamu kenapa jadi gini, sih, Dis? Segala kunti mau dicari? Ah, elah ...." Suaranya berbaur dengan mesin motor metic yang dikendarainya. Jalanan sepi, hanya beberapa motor dan mobil saja yang berpapasan dengan mereka.Gadis tersenyum geli sembari memeluk erat Nopi dari belakang. Sepupunya itu melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan kencang untuk mengejar waktu. Sebab jarak yang ditempuh lumayan jauh.Gadis sempat menghubungi Teh Reni, berharap perempuan itu mau mengantarkan. Namun, Teh Reni punya pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."Soalnya Surti punya info penting, Nop. Kalau kita tau alamat Pakdo Ramli, kan, kita gak perlu menunggu kabar dari Pak Sanusi lagi." Gadis membela diri. "Lagian, entah kenapa aku yak
Nopi melajukan motornya pelan-pelan di belakang sepeda ontel yang dikendarai Ujang. Mereka bersama-sama menuju ke rumah pria itu.Setiba di rumah Ujang, azan magrib berkumandang. Gadis sempat melirik ke pohon kantil yang berada di persimpangan jalan. Namun, tempat itu kosong. Dia sama sekali tidak melihat Surti. Entah itu sekelebatan daster putihnya yang kumal, atau pun rambutnya yang menjuntai hingga ke bawah. Ke mana perginya makhluk itu?"Masuk dulu ke dalam, tampaknya hari mau hujan." Ujang menatap ke langit abu-abu berpadu pekat, lalu mendahului masuk ke rumah.Wati menyongsong ke depan, "Eh, ada tamu." Dia tersenyum ramah. Semenjak Hasnah menjadi bisa berbicara dan kembali riang, sejujurnya Wati jadi menyukai Gadis. Dia senang sekali tiap Gadis mengunjungi rumahnya."Iya, Kak." Nopi menjawab ramah.Mereka berdua masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Benar saja, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya."Yah ... gimana ini? Mana aku gak bawa mantel, Dis." Nopi memandang buliran-bulir
Tetes-tetes air pada dedaunan pohon kantil bak irama tersendiri di telinga Gadis. Dinaungi payung kuning bermerek sebuah pabrik kopi yang ternama di Kota Jambi, dia meneduhkan diri.Gadis mendongak, matanya terus saja mencari-cari keberadaan Surti di antara cabang-cabang pohon yang rindang. Namun, kuntilanak itu tidak berada pada tempat tinggalnya.Lima belas menit lalu Gadis sempat berdebat dengan Nopi. Sepupunya itu melarang Gadis untuk tidak tetap nekat keluar rumah berbasah-basahan seperti ini. Namun, pada akhirnya Nopi menyerah. Dia sama sekali tidak pernah menang jika mendebat gadis bermata sipit yang dinilainya sangat keras kepala. Nopi akhirnya membiarkan Gadis pergi sendiri, tetapi dengan syarat tidak boleh terlalu jauh dan masih bisa terlihat olehnya yang terus mengawasi dari jendela rumah Ujang.Gadis resah. Dia sungguh gelisah dikejar waktu. Dia tidak punya petunjuk apa pun untuk melakukan yang terbaik selain ini. Ck! Gadis merutuki diri. Kenapa di saat genting seperti ini
Gadis berbalik, menatap ke seberang sana. Makhluk merah sudah tidak ada. Mungkinkah dia semakin marah dan malah memburu Surti? Ah, Gadis takut sekali."Kamu gak apa-apa? Apa yang terjadi?" Nopi mengulang tanya.Gadis menggeleng. Dia tidak mau membuat sepupunya semakin cemas. Yang lebih ditakutkannya, Nopi jadi melarang dan menentang mati-matian agar Gadis tidak menyelesaikan masalah ini.Melihat kondisi Gadis yang basah kuyup, Wati segera berlari ke kamar, lalu keluar lagi dengan handuk dan baju kaos di tangannya."Masuklah dulu. Ganti pakaianmu dengan ini." Wati menyodorkannya ke Gadis. "Nanti kau masuk angin.""Makasih, Kak." Gadis menerimanya dengan tangan bergetar, langsung menuju kamar Hasnah untuk berganti pakaian.Tiga orang telah menantinya di kursi tamu dengan raut cemas dan tak sabar. Tentu saja, siapa pun yang punya mata bisa melihat kondisi Gadis yang tidak biasa: ketakutan, pucat pasi, dan jadi tidak banyak bicara."Sebenarnya kamu lihat apa tadi, Dis?" Nopi merongrong se
Pada suatu sore yang mendung, Nopi dan Gadis kembali menjadi penumpang di bangku belakang seunit mobil Avanza hitam. Teh Reni, pengemudinya, meminta kedua gadis itu untuk ikut menemaninya ke kebun.Bukan tanpa alasan, beberapa tukang yang bekerja di sana melaporkan bahwa beberapa hari terakhir, ada seseorang dengan gelagat yang mencurigakan sering datang ke sana. Yang lebih anehnya lagi, orang itu sering menanyakan Gadis pada beberapa pekerja."Orangnya kayak apa, Teh?" Gadis penasaran. Alisnya bertaut. Tatapannya ke jendela mobil yang berembun akibat rintik-rintik air hujan di sepanjang perjalanan."Tukang bilang, orangnya serem, Dis. Bajunya serba hitam. Rambut sama janggutnya putih semua. Gadis kenal?" Teh Reni sesekali melirik ke Gadis melalui kaca spion.Gadis buru-buru menggeleng. Memang benar, dia sama sekali tidak mengenali sosok dengan ciri yang disebut barusan. Secara, Gadis baru pertama kali menginjakkan kaki ke Desa Kumpeh semenjak diajak Teh Reni. Dia tidak punya kenalan