Di sofa ruang tamu rumahnya, Gadis melamun sembari menikmati angin malam yang masuk melalui pintu depan yang sengaja dibuka lebar. Di meja, buku-buku sekolah masih bertebaran. Gadis itu baru saja mengerjakan tugas sekolahnya.Oleh sebab teringat sesuatu, Gadis berdiri dan pergi ke belakang. Ibunya tadi sore bilang membikin bolu pandan kesukaannya. Lumayan, untuk mengganjal perutnya yang lapar. Meski tadi jam tujuh dia sudah makan nasi, tetapi perutnya masih terasa ingin diisi. Mungkin ini akibat karena Gadis banyak memikirkan masalah yang tengah dihadapi.Gadis berhasil menemukan beberapa potongan bolu pandan di bawah tudung saji. Dia kembali ke ruang tamu bersama piring berisi bolu-bolu itu. Namun, piring di tangan Gadis hampir saja terlepas jika dia tidak segera menguasai diri.Sesosok kuntilanak kini berdiri di sudut ruang tamu, bersembunyi tepat di belakang pintu yang disinari cahaya lampu temaram. Rambutnya yang kusut masai dan panjang, menjuntai hingga ke ubin. Bola matanya berw
Sepanjang jalan Nopi tak henti-hentinya mengingatkan kepada Gadis untuk tidak terlalu ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain. Meski agak kesal, tetap saja gadis tomboi itu menurut untuk mengantarkan sepupunya itu ke rumah Ujang sore ini."Kamu kenapa jadi gini, sih, Dis? Segala kunti mau dicari? Ah, elah ...." Suaranya berbaur dengan mesin motor metic yang dikendarainya. Jalanan sepi, hanya beberapa motor dan mobil saja yang berpapasan dengan mereka.Gadis tersenyum geli sembari memeluk erat Nopi dari belakang. Sepupunya itu melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan kencang untuk mengejar waktu. Sebab jarak yang ditempuh lumayan jauh.Gadis sempat menghubungi Teh Reni, berharap perempuan itu mau mengantarkan. Namun, Teh Reni punya pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."Soalnya Surti punya info penting, Nop. Kalau kita tau alamat Pakdo Ramli, kan, kita gak perlu menunggu kabar dari Pak Sanusi lagi." Gadis membela diri. "Lagian, entah kenapa aku yak
Nopi melajukan motornya pelan-pelan di belakang sepeda ontel yang dikendarai Ujang. Mereka bersama-sama menuju ke rumah pria itu.Setiba di rumah Ujang, azan magrib berkumandang. Gadis sempat melirik ke pohon kantil yang berada di persimpangan jalan. Namun, tempat itu kosong. Dia sama sekali tidak melihat Surti. Entah itu sekelebatan daster putihnya yang kumal, atau pun rambutnya yang menjuntai hingga ke bawah. Ke mana perginya makhluk itu?"Masuk dulu ke dalam, tampaknya hari mau hujan." Ujang menatap ke langit abu-abu berpadu pekat, lalu mendahului masuk ke rumah.Wati menyongsong ke depan, "Eh, ada tamu." Dia tersenyum ramah. Semenjak Hasnah menjadi bisa berbicara dan kembali riang, sejujurnya Wati jadi menyukai Gadis. Dia senang sekali tiap Gadis mengunjungi rumahnya."Iya, Kak." Nopi menjawab ramah.Mereka berdua masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Benar saja, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya."Yah ... gimana ini? Mana aku gak bawa mantel, Dis." Nopi memandang buliran-bulir
Tetes-tetes air pada dedaunan pohon kantil bak irama tersendiri di telinga Gadis. Dinaungi payung kuning bermerek sebuah pabrik kopi yang ternama di Kota Jambi, dia meneduhkan diri.Gadis mendongak, matanya terus saja mencari-cari keberadaan Surti di antara cabang-cabang pohon yang rindang. Namun, kuntilanak itu tidak berada pada tempat tinggalnya.Lima belas menit lalu Gadis sempat berdebat dengan Nopi. Sepupunya itu melarang Gadis untuk tidak tetap nekat keluar rumah berbasah-basahan seperti ini. Namun, pada akhirnya Nopi menyerah. Dia sama sekali tidak pernah menang jika mendebat gadis bermata sipit yang dinilainya sangat keras kepala. Nopi akhirnya membiarkan Gadis pergi sendiri, tetapi dengan syarat tidak boleh terlalu jauh dan masih bisa terlihat olehnya yang terus mengawasi dari jendela rumah Ujang.Gadis resah. Dia sungguh gelisah dikejar waktu. Dia tidak punya petunjuk apa pun untuk melakukan yang terbaik selain ini. Ck! Gadis merutuki diri. Kenapa di saat genting seperti ini
Gadis berbalik, menatap ke seberang sana. Makhluk merah sudah tidak ada. Mungkinkah dia semakin marah dan malah memburu Surti? Ah, Gadis takut sekali."Kamu gak apa-apa? Apa yang terjadi?" Nopi mengulang tanya.Gadis menggeleng. Dia tidak mau membuat sepupunya semakin cemas. Yang lebih ditakutkannya, Nopi jadi melarang dan menentang mati-matian agar Gadis tidak menyelesaikan masalah ini.Melihat kondisi Gadis yang basah kuyup, Wati segera berlari ke kamar, lalu keluar lagi dengan handuk dan baju kaos di tangannya."Masuklah dulu. Ganti pakaianmu dengan ini." Wati menyodorkannya ke Gadis. "Nanti kau masuk angin.""Makasih, Kak." Gadis menerimanya dengan tangan bergetar, langsung menuju kamar Hasnah untuk berganti pakaian.Tiga orang telah menantinya di kursi tamu dengan raut cemas dan tak sabar. Tentu saja, siapa pun yang punya mata bisa melihat kondisi Gadis yang tidak biasa: ketakutan, pucat pasi, dan jadi tidak banyak bicara."Sebenarnya kamu lihat apa tadi, Dis?" Nopi merongrong se
Pada suatu sore yang mendung, Nopi dan Gadis kembali menjadi penumpang di bangku belakang seunit mobil Avanza hitam. Teh Reni, pengemudinya, meminta kedua gadis itu untuk ikut menemaninya ke kebun.Bukan tanpa alasan, beberapa tukang yang bekerja di sana melaporkan bahwa beberapa hari terakhir, ada seseorang dengan gelagat yang mencurigakan sering datang ke sana. Yang lebih anehnya lagi, orang itu sering menanyakan Gadis pada beberapa pekerja."Orangnya kayak apa, Teh?" Gadis penasaran. Alisnya bertaut. Tatapannya ke jendela mobil yang berembun akibat rintik-rintik air hujan di sepanjang perjalanan."Tukang bilang, orangnya serem, Dis. Bajunya serba hitam. Rambut sama janggutnya putih semua. Gadis kenal?" Teh Reni sesekali melirik ke Gadis melalui kaca spion.Gadis buru-buru menggeleng. Memang benar, dia sama sekali tidak mengenali sosok dengan ciri yang disebut barusan. Secara, Gadis baru pertama kali menginjakkan kaki ke Desa Kumpeh semenjak diajak Teh Reni. Dia tidak punya kenalan
Tak lama, "Mungkin Bang Ujang mengenal seseorang dengan ciri fisik yang tadi saya bilang?" Teh Reni menoleh ke Ujang yang duduk di sebelahnya. Kedua tangan pria kurus itu mendekap dada. Sedari tadi dia diam saja menyimak obrolan mereka."Atau bisa jadi seseorang yang ingin mengadakan ritual di pohon beringin?" Gadis menerka.Ujang menggeleng cepat-cepat. "Semenjak diketemukannya mayat seorang pria yang tertancap di pohon itu, tidak ada lagi satu warga pun yang berani datang ke sana di malam hari." Ujang buka suara."Tertancap?" Nopi merinding.Ujang mengangguk. "Abang kira sepupumu itu sudah bercerita?" Dia melirik ke Gadis.Pelajar SMA itu menjawab sekenanya, "Belum waktunya, Bang." Gadis meniru ucapan yang sering Ujang lontarkan, bermaksud untuk bercanda dan menghangatkan suasana. Namun, tampaknya Ujang sedang tidak ingin bergurau. Wajahnya menatap Gadis masam.Nopi segera menyikut sepupunya dan membuat Gadis bilang, "Maaf, Bang. Saya cuma bercanda." Dia menggaruk kepalanya yang tid
Sepasang betis berotot berjalan tegap melewati rumput ilalang yang tumbuh di kanan-kiri jalan setapak. Pria berpakaian serba hitam-hitam itu menuju pohon beringin yang usianya sudah amat tua. Daunnya rimbun, sulurnya menjuntai hampir ke tanah. Sebagian akarnya bahkan ada yang menyeruak di sela-sela tanah bergambut. Pekat. Gelapnya malam, semakin membuat pohon itu terlihat seram saja.Dari jarak beberapa meter Pakdo Ramli berhenti. Bibirnya komat-kamit merapal mantra. Dukun itu memutuskan untuk segera bertindak sebelum malam satu Suro yang akan datang di esok hari.Menurutnya di malam itu, makhluk merah penguasa pohon beringin wingit akan semakin besar kekuatannya. Tentu akan semakin sulit untuk mengalahkan makhluk merah tersebut."Kita harus cepat bertindak," kata Pakdo Ramli ketika mereka semua sudah berkumpul di rumah Ujang, setelah perjumpaan mereka tadi yang secara mendadak. "Pada malam satu Suro, kekuatannya akan bertambah. Aku tak yakin ilmu yang kumiliki selama ini, bisa menand