(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
"Zara, kamu mau ikut Ayah atau Bunda?" Aku menatap mereka dengan kecewa, terutama ayah, dialah lelaki yang sudah menyakiti hati bunda hingga berdarah-darah.Ia selingkuh dengan sekretarisnya yang lebih muda dari bunda, dengan tatapan penuh benci aku pun menjawab."Aku pilih ikut Ayah."Dari sudut mata kulihat bunda melirikku dengan pandangan kecewa, padahal aku memiliki tujuan saat memutuskan memilih tinggal dengan ayah.Tujuanku adalah membuat rumah tangga ayah dan gundiknya itu berantakan, takkan kubiarkan mereka hidup bahagia."Kamu yakin?" tanya bunda dengan suara bergetar.Jujur hatiku perih memutuskan hal ini. Namun, aku ingin keadilan untuk bunda, aku tak rela ayah dan gundiknya itu bahagia, sementara bundaku menahan pedihnya luka."Yakin, Bun." Aku mengangguk sementara bunda melirik ke ara lain, tak lama ia menengadah."Zara, cuma kamu yang Bunda punya, Bunda mohon." Bunda menatapku nelangsa.Aku tetap diam menahan tangisan."Apa kamu takut kehilangan kemewahan kalau tinggal
Ayah menghampiri lalu membantuku berdiri, sedangkan Tiara terlihat ketakutan melihat emosi ayah."Zara yang mulai duluan, Yah," ucap Tante Miranda membela anaknya.Tiara mangut-mangut kaya orang b3g0. "Iya iya bener, Kak Zara tadi ngusir aku dari kamar, dia nyeret tangan aku keras-keras, sakit tahu," sahut Tiara dengan gaya manja.Ayah nampak diam melirik kami bergantian."Ayah ga suka ya lihat kamu kasar sama Kak Zara, Ayah minta kamu hormati Kak Zara karena dia sudah jadi kakakmu." Ayah menatap anak tirinya penuh emosi."Gimana mau hormat, Yah, Zara nya aja kasar begitu," sahut Tante Miranda.Ternyata mereka ular yang berbisa, pantas saja bisa merebut ayah dengan mudah, berbanding terbalik dengan bunda yang kalem dan polos."Mama ini apa-apaan sih, barusan Ayah lihat sendiri loh Tiara yang kasar sama Zara, Mama ga boleh gitu kalau anak salah harus ditegur jangan dibela," balas ayah.Aku menyeringai melihat tampang Tante Miranda yang kesal, lihat saja akan kubuat hari-harinya menjadi
"Iya buat Zara, Ma, kasihan dia kalau ke kampus suka kehujanan," ucap ayah dengan enteng lalu ia berlalu begitu saja menghampiri pegawai dealer.Aku tersenyum penuh kemenangan sambil mengangkat kunci mobil itu setinggi wajah."Aku jadi makin sayang sama Ayah." Ngomong sendirian sambil memandang kunci mobil itu.Dari sudut mata terlihat Tiara dan Tante Miranda saling lirik dengan wajah kesal, aku jadi ingin cepat-cepat malam, tak sabar melihat ayah dan gundiknya bertengkar."Kenapa sih lihat aku melotot gitu?" tanyaku acuh tak acuh.Karena tak ada yang menjawab aku pun masuk ke dalam lalu duduk di sofa ruang tamu, rasanya tak sabar ingin ajak bunda jalan-jalan.Dahulu saat ayah belum sukses seperti sekarang, bunda selalu bilang ingin punya mobil, katanya supaya tak ribet jika sedang berkendara lalu turun hujan.Dan di saat itu pun ayah menjanjikan akan membelikan bunda mobil setelah ayah sukses, nyatanya setelah sukses memiliki supermarket dengan banyak cabang, ayah malah selingkuh den
(Pov Tante Miranda)Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara."Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja."Berisik, Tiara." Aku memijat kening.Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu."Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih."Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi."Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai mo