Viona akhirnya pergi ke dapur di lantai satu dan menuangkan air dari dalam teko ke dalam gelas. Untuk saat ini dia harus membuat Noah tertidur dan bergerak setelahnya. Sayang sekali karena dia tidak membawa obat tidur sekarang, jadi mungkin akan sedikit sulit untuk membuat Noah tertidur. “Noah, aku sudah membawakanmu air mi ... num.“ Perkataan Viona sempat terputus sejenak ketika melihat Noah yang ternyata sudah memejamkan mata. Pria itu sepertinya sangat kelelahan hingga langsung lelap begitu berbaring di ranjangnya. Menatap wajah damai Noah, Viona terkadang merasa bersalah karena harus memanfaatkan pria yang bahkan tidak bersalah sama sekali. Namun, apa daya, dendam yang sudah tertanam di hatinya membuatnya terpaksa melakukan ini meski pada akhirnya akan menyakiti pria itu. Tangan yang tadinya diam akhirnya dipakai Viona untuk mengusap lembut wajah Noah yang terlihat pucat. Lingkaran hitam di sekitar matanya masih belum hilang, namun tidak mengurangi paras tampan p
Viona melenguh pelan, mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih buram, lalu mengubah posisinya menjadi duduk.“Kau sudah bangun?”Bariton itu mengundang kepala Viona untuk menoleh. Dilihatnya Noah tengah duduk di sofa panjang sembari membaca buku. Pria itu kemudian tersenyum dan berjalan menghampiri Viona.“Jam berapa sekarang?” tanya Viona dengan suara parau ala bangun tidur“Jam lima sore.”Viona menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sepertinya itu tertidur ketika Noah menarik dan mendekapnya dari belakang. Sejujurnya Viona merasa nyaman saat dipeluk dan tanpa sadar matanya pun menutup karena kenyamanan itu.“Aku lapar.”Tadi siang mereka tidak sempat makan siang karena Noah yang tiba-tiba mimisan. Ya, sayang sekali karena banyak makanan yang sudah dipesan, tetapi belum dicicipi barang sedikit pun. Mungkin saja semua makanan itu sudah ada di perut orang lain mengingat Viona menyuruh Bella untuk membagikannya.“Ingin makan bersama? Aku menunggumu
Pagi-pagi sekali, Viona mengunjungi rumah sakit untuk menganalisis obat yang dia ambil di kamar Daniel. Hasilnya akan keluar dalam dua hari dan Viona sangat tidak sabar dengan hal itu.“Viona? Apa itu kau?”Merasa terpanggil, refleks kepala Viona pun menoleh pada asal suara. Di hadapannya sekarang ada seorang gadis berambut keriting dengan kulit berwarna hitam tengah tersenyum padanya. Gadis itu adalah teman sekolah Viona di SMA.“Debi? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”“Aku baik. Wow! Kau masih saja cantik, Viona. Tidak heran jika banyak pria yang mengincarmu dulu.”Saat SMA, Viona adalah primadona sekolah dan sangat sering mendapat pernyataan cinta dari para pria. Viona memang dipuja oleh para pria, namun dia dibenci oleh para gadis di sekolahnya. Itulah mengapa dia tidak memiliki teman satu pun dan hanya Debi yang memperlakukannya dengan baik.“Omong-omong, mengapa kau ada di rumah sakit?”“Ah, itu ... aku bekerja sebagai a
Viona berlari kecil menuju restoran cepat saji yang tertera di pesan yang dia terima. Kakinya melangkah masuk dan netranya mencari sosok Daniel yang kemungkinan sudah menunggu kedatangannya.Menyimpan tas kecilnya di samping kursi, Viona duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel. Sedikit tidak nyaman untuknya bertemu dengan pria yang dibencinya secara pribadi. Namun, Viona tidak bisa menolak ajakan Daniel begitu saja. Apalagi statusnya sekarang adalah kekasih Noah.“Maaf, apa Paman menunggu lama?”Viona beruntung karena syutingnya sudah selesai dan dia bisa segera pergi menemui Daniel. Sejujurnya Viona penasaran, mengapa Daniel mengajaknya makan siang bersama? Lalu ingatannya mengenai kejadian kemarin pun muncul. Kejadian saat dia masuk ke kamar Daniel dan Demian memergokinya.‘Apa Demian mengadukan kejadian kemarin?’ batin Viona khawatir.Daniel tersenyum ke arah Viona. Terakhir dia bertemu dengan gadis itu adalah s
Setelah melihat kepergian Daniel dan Demian, Viona pun memilih pergi meninggalkan restoran. Tidak ada alasan lagi untuknya tetap di sana. Sebab, orang yang mengajaknya bertemu dan makan siang sudah pergi terlebih dahulu.Kaki-kaki jenjang itu melangkah dengan pelan, menyusuri setiap jalanan yang sibuk dengan banyak orang lalu-lalang. Kepalanya menunduk, tetapi sesekali dia menggunakan matanya menyapu setiap sudut kota yang ramai.Seketika langkahnya terhenti, di samping sebuah gang gelap dan sepi, tempat kotor yang ditinggalkan dan tak pernah tersentuh. Dulu, dia pernah berada di sana. Meringkuk dalam diam, menahan haus dan lapar, serta berlindung dari seseorang yang mungkin sedang mencarinya.Tanpa sadar dia tertawa, mengingat betapa malang nasibnya dulu hingga sempat berpikir untuk mati menyusul sang ibu. Miris.“Ah, aku benci mengingat ini.”Setelah mengatakan itu, Viona kembali berjalan, meninggalkan gang gelap dan penuh memori buruk tersebut. Dia kemudian berhent
“Nona, boleh aku meminta nomor ponselmu? Aku mengikuti sejak tadi karena terpesona dengan kecantikanmu,” ucap pria itu sembari membuka maskernya. Seketika, Viona menghela napas lega. Tampaknya dia terlalu sensitif karena pernah hampir kehilangan nyawa oleh Karin hingga membuatnya lebih waspada terhadap seseorang. Di saat yang bersamaan, ekor matanya melihat Noah yang berlari kecil menghampirinya. Viona tersenyum ke arah pria yang meminta nomor ponselnya tersebut seraya berkata, “Maaf, aku sudah memiliki kekasih.” Pria itu menunduk, tampak kecewa dengan jawaban Viona dan kemudian pergi tanpa mendapat apa-apa. Pasti menyakitkan karena ditolak wanita secara langsung, padahal dia sudah mengikuti dan memberanikan diri untuk berbicara. Kepalanya menoleh pada pria berjas hitam dengan sepatu kulit, kemudian tersenyum. Padahal mereka sudah sering bertemu, tetapi terasa seperti sudah terpisah lama dan bahagia ketika melihatnya. &ldqu
Cukup lama terdiam, Viona berdeham untuk memperbaiki suasana dan beralih menatap Noah yang tampak kecewa dengan penolakannya. “Maaf, aku tidak bermaksud menolakmu. Aku hanya—“ Sebelum menyelesaikan ucapannya, Noah terlebih dahulu meraih wajah Viona dan menangkupkannya di kedua tangan. Pria itu menatap mata Viona lekat-lekat dan mengunci pandangannya dalam beberapa saat. “Apa sekarang boleh?” Viona terkesiap. Dia kira, Noah akan marah atau mendiamkan dirinya. Sebaliknya, pria itu tampak baik-baik saja dan tidak mempermasalahkan kejadian barusan. Mengangguk ringan, tidak mungkin jika dia menolak ciuman Noah untuk kedua kalinya. Apalagi mereka adalah sepasang kekasih dan sudah berada di dalam mobil. Tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak seperti berkata malu atau sebagainya. Setelah mendapat persetujuan Viona, tanpa ragu Noah memagut bibir ranum yang menggodanya sejak tadi, sambil sesekali menjilat dan menggigitnya kecil hingga sang
Karin sedang berada di penjara, jadi tidak mungkin jika gadis itu yang berdiri di bawah pohon tersebut. Lagi pula, postur tubuhnya menunjukkan bahwa orang mencurigakan itu adalah seorang pria. Demian pasti sedang di kantor bersama dengan Daniel, menemani presdir RF Group tersebut untuk bertemu dengan investor A yang sepertinya sangat penting. Tama? Viona tidak yakin jika pria itu kesal hanya karena dia menyuruhnya untuk mengakui kesalahannya kepada Karin. Lagi pula, Viona tidak memaksanya. Pria asing tadi siang? Mungkinkah pria itu merasa dendam hanya karena Viona menolak memberikan nomor ponselnya? Sepertinya tidak mungkin. Jelas-jelas pria itu langsung pergi dengan wajah sedih dan tidak tampak menaruh dendam padanya. Seketika Viona mendengus, lalu memijit pelipisnya sembari memejamkan mata. Tadinya dia sudah tidak mengkhawatirkan seseorang yang mungkin mengikutinya dari belakang karena dugaannya ternyata salah. Namun, dia menarik kata-katanya kembali.