Cukup lama terdiam, Viona berdeham untuk memperbaiki suasana dan beralih menatap Noah yang tampak kecewa dengan penolakannya.
“Maaf, aku tidak bermaksud menolakmu. Aku hanya—“
Sebelum menyelesaikan ucapannya, Noah terlebih dahulu meraih wajah Viona dan menangkupkannya di kedua tangan. Pria itu menatap mata Viona lekat-lekat dan mengunci pandangannya dalam beberapa saat.
“Apa sekarang boleh?”
Viona terkesiap. Dia kira, Noah akan marah atau mendiamkan dirinya. Sebaliknya, pria itu tampak baik-baik saja dan tidak mempermasalahkan kejadian barusan.
Mengangguk ringan, tidak mungkin jika dia menolak ciuman Noah untuk kedua kalinya. Apalagi mereka adalah sepasang kekasih dan sudah berada di dalam mobil. Tidak ada alasan lagi baginya untuk menolak seperti berkata malu atau sebagainya.
Setelah mendapat persetujuan Viona, tanpa ragu Noah memagut bibir ranum yang menggodanya sejak tadi, sambil sesekali menjilat dan menggigitnya kecil hingga sang
Karin sedang berada di penjara, jadi tidak mungkin jika gadis itu yang berdiri di bawah pohon tersebut. Lagi pula, postur tubuhnya menunjukkan bahwa orang mencurigakan itu adalah seorang pria. Demian pasti sedang di kantor bersama dengan Daniel, menemani presdir RF Group tersebut untuk bertemu dengan investor A yang sepertinya sangat penting. Tama? Viona tidak yakin jika pria itu kesal hanya karena dia menyuruhnya untuk mengakui kesalahannya kepada Karin. Lagi pula, Viona tidak memaksanya. Pria asing tadi siang? Mungkinkah pria itu merasa dendam hanya karena Viona menolak memberikan nomor ponselnya? Sepertinya tidak mungkin. Jelas-jelas pria itu langsung pergi dengan wajah sedih dan tidak tampak menaruh dendam padanya. Seketika Viona mendengus, lalu memijit pelipisnya sembari memejamkan mata. Tadinya dia sudah tidak mengkhawatirkan seseorang yang mungkin mengikutinya dari belakang karena dugaannya ternyata salah. Namun, dia menarik kata-katanya kembali.
“Kau tidak apa-apa?” Noah mengobservasi tubuh Viona dari atas hingga bawah. Sejujurnya dia khawatir karena gadis itu tak kunjung mengangkat teleponnya atau bahkan menelepon balik. Itulah mengapa dia ada di sini, untuk memastikan bahwa kekasihnya dalam keadaan baik-baik saja. “Seperti yang kau lihat.” Ucapan santai Viona mengundang tatapan bingung Noah. Seakan mengerti maksud tatapan pria itu, Viona pun sontak menghela napas dan berkata, “Aku tertidur pulas dan tidak mendengar ponselku berdering. Maaf.” Permintaan maaf yang terucap dari mulut Viona tak layak untuk Noah dapatkan. Lagi pula, dia pun tak bisa menyalahkan Viona yang tidak dapat dihubungi karena tertidur. Saat dia hendak membawa Viona ke dalam pelukannya, tiba-tiba terdengar suara protes dari perut gadis di hadapannya, membuatnya terpaku seketika. Rona merah menjalar di sepanjang pipi Viona, tersipu malu karena perutnya protes tepat di hadapan Noah. Netranya dialihkan ke arah lain, menatap ap
Noah memarkirkan mobilnya di depan restoran Italia bintang lima. Melangkah masuk dengan menggandeng tangan Viona, dan duduk di meja yang dekat dengan piano. Tangannya melambai di udara, memanggil seorang waitress untuk mencatat pesanan mereka. Waitress tersebut memberikan dua buku menu dan memberikan rekomendasi untuk mereka berdua. Noah dan Viona saling mengangguk, menyetujui rekomendasi waitress tanpa harus berpikir lama untuk memilih menu. Selang beberapa waktu, dua piring pasta dengan bumbu khas Italia telah tersaji, mengeluarkan aroma harum yang tanpa Viona sadari membuat perutnya semakin meronta. Betapa malunya dia, perutnya berbunyi ketika waitress masih ada di depan meja. Setelah waitress pergi, Viona menutup wajahnya dengan telapak tangan, menyembunyikan rona malu yang terlukis di wajah cantiknya. “Makanlah. Perutmu pasti sangat lapar karena belum diisi apa pun.” Viona masih menutup wajahnya, lalu menggeser jarinya dan mengintip Noah
Dering ponsel yang cukup nyaring membangunkan Viona. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu kepalanya diputar ke samping seraya mengusap-usapkan tangannya di tempat sebelumnya Noah berbaring. Tak ada kehangatan di sana, menandakan bahwa pria itu sudah pergi cukup lama ketika dia masih lelap.Pandangan matanya lurus menatap langit-langit kamar hotel, lalu memejamkan matanya sejenak dan menghela napas panjang.Tadi malam, Viona dan Noah memang tidur satu ranjang. Namun, tidak terjadi apa pun meski sebelumnya suasana di antara mereka nyaris tidak terkendali. Bahkan, pria itu terus memunggunginya dalam keheningan malam.Berniat tidak peduli, tetapi tidak bisa. Melihat pria yang biasanya selalu perhatian dan over protektif padanya tiba-tiba bersikap kebalikannya, Viona merasa tak nyaman. Hatinya terusik oleh sesuatu yang baru dia rasakan.Beranjak dari ranjang, Viona sontak merogoh tasn dan mengambil ponselnya yang sempat berdering. Satu panggilan
Viona meronta-ronta mencoba melepaskan diri, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan seorang pria yang notabene fisiknya lebih kuat dibanding dirinya yang hanya seorang gadis bertubuh kecil. Seketika bahu Viona turun ke bawah dengan perasaan lega, begitu pria itu melepaskan bungkaman di mulutnya. Namun, detik selanjutnya perasaan lega tersebut berganti menjadi perasaan takut. Viona berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh dinding, terpojok di dalam gang buntu. Sepi, tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Di balik topi dan masker yang menutup wajahnya, pria itu tersenyum miring. Sejurus kemudian, masker dan topinya dilepas, pria itu lantas mengangkat kepalanya dan maju satu langkah lebih dekat dengan Viona. “Hai!” Seketika mata Viona membulat seperti bulan purnama, terkejut dengan wajah yang tak asing di hadapannya. Mendengus pelan dan melemparkan tatapan tajam kepada pria tersebut. “Apa yang kau lakukan di sini, Bar
Setelah melihat punggung Bardi menjauh, Viona sontak mengusap wajahnya dan membuang napas kasar. Tak pernah terpikir olehnya bahwa pria itu akan menemukan keberadaannya, padahal dia sudah lama memutuskan kontak dan bersembunyi di kota Berlin yang luas. Sejenak Viona menundukan kepala, memejamkan mata dan memikirkan kembali perkataan Bardi. Ah, mungkin lebih tepat jika disebut sebuah ancaman. Bardi bukan orang yang akan menyerah begitu saja, meskipun nanti Viona memberinya uang, belum tentu pria itu akan berhenti mengganggunya. “Sial! Mengapa hal ini terjadi padaku?!” Dia bahkan baru akan memulai rencana balas dendamnya yang sesungguhnya, namun kemunculan Bardi yang memegang rahasianya akan membuat Viona sulit untuk mengambil langkah. Viona mengepalkan tangannya sejenak sebelum akhirnya meninggalkan gang tersebut. Untuk saat ini, dia akan menuruti keinginan Bardi dengan membungkam mulutnya menggunakan uang. Setelahnya dia harus memikirkan cara untuk le
Jerman adalah negara bebas. Wajar bagi sepasang kekasih jika melakukan kontak fisik yang lebih dari sekadar berpegangan tangan dan saling memagut bibir. Namun, ada segelintir orang yang takut melewati tahap itu, termasuk Viona. Seketika, Noah memegang tangan Viona dan menariknya ke dalam pelukan. Alasan dia tidak berangkat ke kantor adalah karena terlalu memikirkan rasa bersalahnya tadi malam. Namun, dia bersyukur karena ternyata dia tidak menyakiti hati kekasihnya. “Maaf karena meninggalkanmu sendiri di hotel,” lirih pria itu. “Tidak apa-apa. Omong-omong, bagaimana dengan ayahmu? Apa dia juga tidak pergi ke kantor?” Viona bertanya sembari melepaskan pelukan Noah, lalu duduk di samping pria itu. Mengembalikan jas Noah hanya sebuah kamuflase, tujuan sebenarnya adalah menukar obat Daniel dengan miliknya. “Ayah tidak pernah absen ke kantor, kecuali di hari-hari penting baginya.” Perkataan Noah membuat Viona mengangkat sebelah alisnya. Jad
Tanpa melepas pandangannya, Viona lantas mendekati lukisan tersebut dan melihatnya dengan teliti. Dilihat dari mana pun, wanita dalam lukisan tersebut memang ibunya. Matanya tidak akan salah melihat, dan dia yakin akan hal itu. Sebulir air mata kemudian jatuh dari matanya, membuat pria di sampingnya menatapnya bingung. Meski sudah bertahun-tahun tidak melihat sosok ibunya, namun Viona tidak pernah lupa, bagaimana bentuk hidung, mata, dan bibir ibunya. “Kau menangis?” Pertanyaan Noah membuat Viona tersadar dan mengusap air matanya yang jatuh. Pria itu mungkin akan menganggapnya aneh karena menangis secara tiba-tiba hanya karena melihat sebuah lukisan. “Ah, lukisannya sangat indah. Tanpa sadar aku melihatnya tanpa berkedip dan membuat mataku perih,” dusta Viona diakhiri dengan tawa kecil. “Apa kau mengenal wanita di lukisan itu? Kau memanggilnya ‘Ibu’?” Viona mengangkat bahu dan memutar matanya ke arah lain. Sepertinya Noah mendengar gumamannya yang