Aku terhenyak. "Ya ampun, Mas! Apa-apaan kau ini?!" teriakku histeris. Aku tak mengerti kenapa dia datang dan langsung marah-marah. Dua orang security langsung berlari menghampiri, salah seorang menahan Mas Tiar dan satunya langsung membantu dokter Ardhy."Dokter tidak apa-apa?" tanya Pak security itu."Iya, tidak apa-apa, Pak," sahut dokter Ardy sembari memegangi mulutnya."Bapak ini ada masalah apa ya? Datang-datang langsung pukul pak dokter?" tanya security itu masih memegangi tangan Mas Tiar dan menguncinya di belakang. "Hei pak, laki-laki ini, yang katanya dokter ini sudah menggoda istri saya! Jadi saya harus berikan pelajaran untuknya!" Mas Tiar masih marah dengan emosi yang menggebu-gebu."Itu semua tidak benar, Pak!" sanggahku. Mas Tiar justru melotot ke arahku."Pak dokter, mau diapain nih orang ini?" tanya Pak security lagi."Laporin saja ke polisi dokter, karena dia sudah menghajar dokter. Dua kali malah!" celetukku.Semua mata tertuju padaku."Apa-apaan kau ini, Arini? K
Mobil yang kukendarai melaju tak tentu arah, usai mengantarkan Elvina bekerja dan juga Aqilla. Entah aku harus pergi kemana. Rasanya benar-benar pusing memikirkan masalah. Hutang yang belum kubayar, lalu cicilan juga. Padahal mereka memberi perpanjangan waktu satu minggu.Kupacu kendaraanku menuju ke perumahan dan berkonsultasi dengan pihak developer mengenai kondisiku seperti ini. Tapi mereka bilang. Jual beli tidak bisa dibatalkan, kalaupun dibatalkan uang DP tak bisa kembali. karena aku bukan berurusan dengan pihak developer lagi melainkan dengan pihak bank. Akhirnya aku menuju bank untuk berkonsultasi mengenai keadaanku. Pihak bank hanya memberikan keringanan waktu dalam jangka waktu tiga bulan, cicilan itu tetap harus dibayarkan tapi bila telat, takkan ada denda. Setelah itu bila tak sanggup membayar maka rumah akan disita. Rumah tidak bisa di over kredit karena syaratnya minimal harus sudah mencicil selama lima tahun.Kuberanikan diri pergi ke rumah Andri. Bukan untuk membayar
"Halo, sayang ...""Mas, kauu ...!!"Arini hendak menutup pintunya kembali tapi aku langsung mencegahnya. Hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Seberapa kuat tenaga wanita akan tetap kalah dengan kekuatan laki-laki."Ada apa kau kesini, Mas? Pergi, Mas! Cepat pergi!!" Dia berusaha mengusirku. Aku makin tersenyum penuh kemenangan melihat wajah cantiknya yang ketakutan. Ah Arini, andai saja kau mau menuruti keinginanku, aku takkan bersikap kasar padamu. Andai saja kau tetap polos seperti dulu, tidak mungkin aku seperti ini padamu, Arini. Ariniku sayang ..."Aku kangen padamu, Sayang. Rasanya sudah sangat lama, kita tidak--" "Plaaakk ...!!" Tiba-tiba Arini menamparku. Tamparannya itu cukup membuat pipi ini perih. Padahal tadi aku ingin menciumnya. Aku memajukan langkah sambil pandanganku mengedar ke sekeliling, menelisik rumah ini. Sempurna tak ada cela. Kenapa dia bisa tinggal di sini? Apa karena laki-laki itu? Aku mencekal tangannya, Arini tampak kesakitan. Kenapa dengan istriku i
Bolehkah aku menangis? Menangis bukan berarti lemah, hanya sebuah ungkapan meluapkan emosi. Aku benar-benar merasa sedih dan tertekan. Aku sangat lelah berpura-pura kuat dan tegar menjalani ini sendirian. Air mata ini tanpa terasa jatuh tanpa henti. Apa sebegini rapuhnya hati ini? Sudah menjauh dari rumah pun Mas Tiar masih selalu mengejarku. Kuusap kembali butiran bening yang menitik di pipi agar ibu tak melihatku mengeluarkan air mata.Tadi aku cukup shock melihat Mas Tiar menekan ibunya sendiri. Bahkan dia mengobrak-abrik isi lemari yang sudah kubereskan.Ibu menangis tergugu, membuatku makin iba padanya.Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Aku harus bagaimana? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku."Mas Tiar bilang apa aja sama ibu?" tanyaku saat ibu mulai tenang. Untunglah, Mas Tiar berhasil diusir pergi oleh Pak security."Dia mencari sertifikat rumah, Nak. Ibu bilang saja kalau mahar pernikahan tidak bisa diminta kembali. Dia justru marah-marah. Ibu malu, putra ibu
Kukepalkan tangan frustasi. Kenapa hati Arini belum luluh juga? Apa sudah tak ada ruang untukku bersamanya kembali?Rasanya aku benar-benar stress. Akhirnya aku kembali ke Cafe karena ada panggilan darurat dari Andri.***"El, buka pintunya!" teriakku saat pulang dari Cafe. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pintu tak kunjung dibuka. Jangan-jangan ancaman El benar? Aku harus tidur diluar? Alamak!"El, buka pintunya, Sayang!" Kuketuk pintu dengan kencang agar ia terbangun.Tak lama, El membukakan pintu. Wajahnya seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. Astaga, menyeramkan juga!"Pulang juga kamu, Mas?! Kupikir kau akan nginep di tempat Arini?"Aku tahu El kecewa. "Maafin aku El. Tolong jangan ngambek seperti ini. Aku bisa jelaskan.Elvina tak mengindahkanku. Kuikuti langkahnya ke kamar, tapi ia justru membawa bantal dan selimut."Malam ini kau jangan tidur di kamar, Mas! Terserah mau tidur dimana!"Hah? Astaga, Elvina kenapa begitu tega?"El, tapi--""Masih mending a
[Duri dalam rumah tangga itu harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya, agar ia tak menusuk dari belakang di saat kita lengah]Aku terhenyak membaca status WA Elvina. Apa dia tengah menyindirku? Mengatakan kalau aku ini duri?Usai menguploadnya, ia pun mengupload foto kebersamaannya dengan Mas Tiar. [Rumah baru, impian baru ... Semoga makin bahagia selalu]Aku tersenyum masam. Segera kubalas sindiran untuknya. [Tertawa, bangga dan bahagia karena berhasil merebut suami orang adalah ciri bahwa wanita itu sudah tidak punya urat malu]Setelah menyindirnya, segera kublokir sekalian nomor mereka. Bikin moodku hancur saja. Ingat ya disini bujan aku yang pelakor, melainkan dia.Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menetralisir segala rasa di dada. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan orang yang akan membeli rumah. Kami akan ketemuan langsung di lokasi. Mereka ingin melihat secara fisik rumah itu. Semoga semuanya harus jadi dan deal, agar aku bisa segera membawa ibu berobat dan terap
"Hei tau gak sih, ternyata bundanya Aqilla itu pelakor lho! Perebut laki orang!""Serius?""Iya. Gak nyangka kan? Padahal selama ini orangnya baik ya. Kok bisa sih rebut suami orang? Hiiih.""Aku pas diceritain saudaraku yang tinggal di kompleks rumah lakinya itu. Awalnya aku juga gak percaya. Tapi kenyataannya begitu lho!" "Jadi laki-laki yang sering datang ke rumahnya itu suami orang?""Iya, tapi lebih tepatnya itu mantan suaminya sendiri yang dia rebut lagi!""Lho dulu kenapa pisah?""Gak tahu lah ya, katanya sih dengar-dengar kabar dulu Bundanya Aqilla sendiri yang pergi dan sekarang setelah suaminya nikah lagi, dia malah kembali. Hadeeh gak habis pikir ya kenapa dulu pisah kalau sekarang rujuk lagi.""Udah gatel kali pengen digaruk. Jadi mantannya diembat lagi.""Bener ya, sebenarnya yang salah dua-duanya. Ulet bulu ketemu ulet bulu lainnya jadi gatel uget-ugetan.""Hahahaha ..." Tawa membahana meramaikan suasana pagi. "Hussh! Tawanya jangan keras-keras nanti orangnya denger lh
"Ck! Dasar ayah gak pengertian!""Sudah jangan mengeluh begitu, El. Kamu yang udah teledor naruh racun tikus sembarangan, anak-anak kan gak tahu itu apa! Jangan menyalahkan orang lain, El."Panggilan itu terputus begitu saja. Aku sempat shock dan tak mampu berpikir apapun lagi. Aqilla keracunan? Kemana saja El ini, kenapa tak menjaganya dengan baik. Semoga Aqilla selamat ya Allah. Jantungku berdetak dengan kencang, bahkan lutut terasa lemas dan lunglai. Kuusap wajah dengan kasar, lalu mengembuskan nafas panjang berkali-kali. Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang datang silih berganti.Belum juga masuk ke dalam cafe aku harus pergi lagi. Kuhubungi Andri, sahabat sekaligus bosku itu, meminta izin untuk ke rumah sakit. Sungguh aku tak enak hati, baru juga bekerja tapi sudah banyak izin."Apa? Anakmu keracunan?" tanya Andri di seberang telepon setelah kuberi tahu apa yang terjadi."Iya, bos. Aku mohon izin lagi.""Ya sudah cepat susul ke Rumah Sakit, gak usah pikirin pekerjaan dulu