Kukepalkan tangan frustasi. Kenapa hati Arini belum luluh juga? Apa sudah tak ada ruang untukku bersamanya kembali?Rasanya aku benar-benar stress. Akhirnya aku kembali ke Cafe karena ada panggilan darurat dari Andri.***"El, buka pintunya!" teriakku saat pulang dari Cafe. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pintu tak kunjung dibuka. Jangan-jangan ancaman El benar? Aku harus tidur diluar? Alamak!"El, buka pintunya, Sayang!" Kuketuk pintu dengan kencang agar ia terbangun.Tak lama, El membukakan pintu. Wajahnya seperti singa yang hendak menerkam mangsanya. Astaga, menyeramkan juga!"Pulang juga kamu, Mas?! Kupikir kau akan nginep di tempat Arini?"Aku tahu El kecewa. "Maafin aku El. Tolong jangan ngambek seperti ini. Aku bisa jelaskan.Elvina tak mengindahkanku. Kuikuti langkahnya ke kamar, tapi ia justru membawa bantal dan selimut."Malam ini kau jangan tidur di kamar, Mas! Terserah mau tidur dimana!"Hah? Astaga, Elvina kenapa begitu tega?"El, tapi--""Masih mending a
[Duri dalam rumah tangga itu harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya, agar ia tak menusuk dari belakang di saat kita lengah]Aku terhenyak membaca status WA Elvina. Apa dia tengah menyindirku? Mengatakan kalau aku ini duri?Usai menguploadnya, ia pun mengupload foto kebersamaannya dengan Mas Tiar. [Rumah baru, impian baru ... Semoga makin bahagia selalu]Aku tersenyum masam. Segera kubalas sindiran untuknya. [Tertawa, bangga dan bahagia karena berhasil merebut suami orang adalah ciri bahwa wanita itu sudah tidak punya urat malu]Setelah menyindirnya, segera kublokir sekalian nomor mereka. Bikin moodku hancur saja. Ingat ya disini bujan aku yang pelakor, melainkan dia.Kuembuskan nafas dalam-dalam, untuk menetralisir segala rasa di dada. Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan orang yang akan membeli rumah. Kami akan ketemuan langsung di lokasi. Mereka ingin melihat secara fisik rumah itu. Semoga semuanya harus jadi dan deal, agar aku bisa segera membawa ibu berobat dan terap
"Hei tau gak sih, ternyata bundanya Aqilla itu pelakor lho! Perebut laki orang!""Serius?""Iya. Gak nyangka kan? Padahal selama ini orangnya baik ya. Kok bisa sih rebut suami orang? Hiiih.""Aku pas diceritain saudaraku yang tinggal di kompleks rumah lakinya itu. Awalnya aku juga gak percaya. Tapi kenyataannya begitu lho!" "Jadi laki-laki yang sering datang ke rumahnya itu suami orang?""Iya, tapi lebih tepatnya itu mantan suaminya sendiri yang dia rebut lagi!""Lho dulu kenapa pisah?""Gak tahu lah ya, katanya sih dengar-dengar kabar dulu Bundanya Aqilla sendiri yang pergi dan sekarang setelah suaminya nikah lagi, dia malah kembali. Hadeeh gak habis pikir ya kenapa dulu pisah kalau sekarang rujuk lagi.""Udah gatel kali pengen digaruk. Jadi mantannya diembat lagi.""Bener ya, sebenarnya yang salah dua-duanya. Ulet bulu ketemu ulet bulu lainnya jadi gatel uget-ugetan.""Hahahaha ..." Tawa membahana meramaikan suasana pagi. "Hussh! Tawanya jangan keras-keras nanti orangnya denger lh
"Ck! Dasar ayah gak pengertian!""Sudah jangan mengeluh begitu, El. Kamu yang udah teledor naruh racun tikus sembarangan, anak-anak kan gak tahu itu apa! Jangan menyalahkan orang lain, El."Panggilan itu terputus begitu saja. Aku sempat shock dan tak mampu berpikir apapun lagi. Aqilla keracunan? Kemana saja El ini, kenapa tak menjaganya dengan baik. Semoga Aqilla selamat ya Allah. Jantungku berdetak dengan kencang, bahkan lutut terasa lemas dan lunglai. Kuusap wajah dengan kasar, lalu mengembuskan nafas panjang berkali-kali. Akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang datang silih berganti.Belum juga masuk ke dalam cafe aku harus pergi lagi. Kuhubungi Andri, sahabat sekaligus bosku itu, meminta izin untuk ke rumah sakit. Sungguh aku tak enak hati, baru juga bekerja tapi sudah banyak izin."Apa? Anakmu keracunan?" tanya Andri di seberang telepon setelah kuberi tahu apa yang terjadi."Iya, bos. Aku mohon izin lagi.""Ya sudah cepat susul ke Rumah Sakit, gak usah pikirin pekerjaan dulu
[Arini maaf hari ini, aku gak bisa hadir di persidangan. Aqilla meninggal]Aku terbelalak membaca pesan dari nomor asing, ternyata milik Mas Tiar. Ia pun melampirkan foto wajah pucat Aqilla. Innalilahi wa innailaihi roji'un. Aku tak menyangka gadis kecil yang periang itu meninggal? Apa dia sakit?[Aku turut berbelasungkawa atas kepergian Aqilla. Apa Aqilla sakit?]Tak ada balasan, mungkin dia sibuk mengurus prosesi pemakamannya. Ya sudahlah, semuanya sudah ketentuan Allah. Semoga ada hikmah dibalik ini semua.Hari ini sidang keduaku, aku datang membawa saksi, Mbak Ulfa dan dokter Ardhy akan bersaksi di hadapan hakim.Ya sejak panggilan sidang yang pertama minggu lalu, aku berusaha menguatkan diri.Mudah-mudahan proses perceraianku tak membutuhkan waktu lama dan berbelit-belit, agar secepatnya lepas darinya, tak apa menjadi janda asalkan aku bahagia. Kan Kutawaringin calon bayi ini dan juga ibu sebisaku, semampuku. Semoga Allah meridhoi jalannya.Sebentar lagi kita akan berpisah, Mas.
"Mbak, apa-apaan kamu ini? Kenapa arogan sekali?!""Hei, kau tahu kenapa aku bersikap seperti ini padamu? Karena kamu yang sudah menghancurkan hidupku! Kamu mengambil semua milikku! Hidupku hancur sekarang, puas kamu!!" teriak El menggebu-gebu."Apa-apaan sih? Aku tidak melakukan apapun padamu, kenapa menuduhku sembarangan?! Itu semua bukan salahku, tapi karena takdir!" Arini tak terima dengan ucapan El. 'Enak saja, karena kematian anaknya aku yang disalahkan!' gerutu Arini."Dan Mbak, aku sudah resmi pisah dengan Mas Tiar! Jangan sangkut-pautkan aku lagi dengan hubungan kalian!"Keduanya beradu mulut dan semakin panas. Tiba-tiba, Elvina menyerang Arini, menarik kerudungnya hingga hampir terlepas. Tak mau kalah, Arini pun membalasnya. Ia menjambak rambut Elvina."Aw ... Sakit, Arini! Lepasin!" "Kau bilang kayak gini sakit? Kau duluan yang mulai! Memangnya kamu saja yang bisa bar-bar begini?!" Arini terus menyerangnya.Kondisi jalanan cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan, tapi ta
"Kalau berani, jangan main kasar sama perempuan, Men! Itu sama saja tindakan yang cemen."Mata Tiar membulat mendengar ocehannya. Sementara Arini pun tampak terkejut melihatnya."Kamu kan ...."Lelaki itu tersenyum miring. "Jadi lelaki seperti ini yang kalian ributkan? Ck! Gak pantas lelaki begini jadi rebutan?!""Ngomong apa kamu 'hah? Gak usah ikut campur deh urusan kami, dasar orang asing! Siapa kamu berani mencampuri urusan kami?!" Tiar yang tersulut emosi langsung menarik kerah jaket lelaki itu.Tapi dengan santai, Fabian melepaskan cekalan tangannya. "Gak level, gue adu jotos sama lu! Btw, cewek lu yang satunya cakep juga!" ujar Fabian sambil tersenyum penuh misteri."Apa maksudmu?" Tak memedulikan ucapan Tiar, Fabian justru berlalu ke dalam rumah. Ia merebahkan diri di atas sofa."Hei, tunggu! Kenapa kau masuk ke dalam? Bahkan aku tidak menyuruhmu masuk?!" tegur Arini, dia agak jengkel juga dengan sikap lelaki itu yang seenaknya sendiri. Seolah tak mendengarkan teguran Arini,
"Bos, misi sudah selesai." Salah satu pria berbadan kekar yang mengenakan jaket hitam itu tengah menelepon seseorang."Apa kau sudah pastikan kalau dia celaka?" sahut suara dari seberang telepon, yang benar-benar menginginkan Arini celaka."Pasti Bos! Dia terjatuh dari motornya!" jawab preman itu."Sudah dipastikan belum?""Tidak sempat Bos, karena di belakang ada mobil yang melintas, jadi saat wanita itu jatuh kami langsung pergi.""Dasar bodoh! Bisa saja dia selamat! Kenapa kalian gak pastikan dulu sih!" pekiknya lagi geram."Maaf Bos, kami takut tertangkap."***Arini yang terjatuh dari motornya. Ia membuka mata, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Dua pengendara motor yang tadi seperti sengaja mencelakainya sudah kabur dengan kecepatan tinggi. Ia mencoba bangkit tapi kakinya terasa sakit seolah mati rasa, dan kepala yang terasa semakin berdenyut. Belum lagi nyeri hebat di sekitar perut. Satu hal yang kini ia khawatirkan, ia takut terjadi sesuatu pada bayinya.Sebuah mobil berhen