"Mas, kamu mempersiapkan ini semua?"Dia hanya tersenyum. Tiba-tiba segerombolan anak-anak datang menghampiri kami. "Om, tugas kami sudah selesai, Om!" celetuk salah satu diantara mereka."Ah iya, ini buat kalian. Terima kasih ya atas bantuannya." Mas Bian memberikan lembaran uang seratus ribuan pada lima bocah kecil itu."Mas, kamu nyuruh anak-anak turun ke bawah sana? Terus menerbangkan balon-balon?" tanyaku heran. "Ya, dari pada mereka main di jalanan gak jelas kan?""Tapi kan bisa berbahaya!" pungkasku."Enggak kok, emang ada jalan buat turun ke bawah. Mereka sudah biasa hidup di jalanan, kamu gak usah khawatir. Aku juga tiap bulan udah sering berinteraksi dengan mereka," sahut Mas Bian."Oh." Aku mengangguk pelan, lalu kembali mendongak, melihat balon-balon itu sudah terbang dengan tinggi seolah menyongsong langit biru.Senyumku mengembang dengan sempurna. Manis juga suamiku ini. "Masih mau di sini atau jalan-jalan lagi?" tanyanya menghenyakkanku. Aku sedikit terkesiap saat ta
Aku mengangguk. Kembali memasukkan dompetku ke dalam tas. Selesai belanja baju di butik, mas Bian kembali membawaku pergi."Kita makan siang dulu ya, aku sudah laper.""Iya, Mas.""Kamu mau makan di mana?""Emmh Mas, gimana kalau makan nasi padang?""Kamu tinggalnya di Solo tapi pengennya makan nasi Padang?""Haha, iya Mas. Gak apa-apa kan?""Iya, iya, ayo ikut lagi. Kita cari warung nasi Padang."Aku mengangguk dan kembali naik ke boncengan motornya. Mas Bian berhenti di depan warung nasi Padang yang cukup besar. Aneka makanan matang terpajang di etalase."Kamu mau apa, Yang?" tanya Mas Bian."Sama rendang, Mas.""Oke. Mbak, nasi plus rendangnya dua ya. Makan di sini."Kami duduk di tempat yang tersedia. Makan bersama saat pesanan kami datang, menikmati hidangan makan siang, nasi plus rendang daging. Selesai makan, kami kembali menyusuri jalanan dengan kuda besinya yang seolah tanpa lelah dan letih membawa kami keliling kota. Dan kali ini, Mas Bian justru membawaku ke salon. "Mbak
"Rin, mulai minggu depan, aku ada agenda rutin lagi setelah satu bulan libur," ujar Mas Bian usai pulang dari pekerjaannya."Agenda apa, Mas?""Memberikan paket makan siang gratis, tiap hari minggu. Biasanya kalau bukan untuk anak-anak panti, anak-anak jalanan, kami ke jalan-jalan bagi-bagi gratis buat para pengendara motor atau tukang becak. Cuma agenda minggu ini kita mau bagi-bagi buat tukang dan kuli proyek yang kerja di proyek jembatan. Kamu mau gak bantuin nanti?""Jadi sebelum ini kamu suka bagi-bagi makan siang gratis?" tanyaku. Aku tak pernah tahu sisi Mas Bian yanh seperti ini. Sungguh rasanya aku hatiku begitu kecil tanpa tahu dia yang sebenarnya. "Iya, seminggu sekali biasanya, cuma sebulan kemarin libur.""Kamu gak pernah bilang-bilang kalau suka berbagi seperti ini, Mas?""Buat apa bilang? Lakukan saja lalu lupakan gak perlu diingat atau diungkit-ungkit."Aku mengangguk. Pantas saja hartanya gak habis-habis, ternyata mereka orang-orang yang dermawan. Selain bagi-bagi ma
"Oalah, Mas Tiar? Kamu kerja disini?" ujarku heran. Kenapa dia belum kembali ke Jakarta? Dan apa yang dia lakukan di kota ini?Mas Tiar mengangguk. "Iya, aku ikut kerja di proyek. Jadi ini kamu yang membagikannya?" tanyanya. Ia tersenyum kikuk. Wajahnya sungguh sangat berbeda. Tak seperti dulu lagi. Lebih kurus dan tak terurus."Iya. Alhamdulillah, aku bantuin suami, Mas."Kamu hebat, sekarang tambah cantik, mempesona sampai pangling lihatnya.""Seorang istri akan bertambah cantik bila mendapatkan lelaki yang tepat dan menghargainya, Mas."Kamu bahagia dengan suamimu?""Tentu saja, kau bisa melihatnya dari raut wajahku."Dia mengangguk dan tersenyum masam. "Usahamu juga kayak makin maju ya ... Usahaku gagal, aku bangkrut. Dan sekarang aku berakhir di tempat seperti ini. Elvina juga menghilang entah kemana.""Mbak El menghilang?" Keningku berkerut. Kok bisa dia menghilang.Lelaki itu mengangguk. "Woi, buruan gantian, kami juga mau makan!" teriak antrian di belakang. "Iya, tunggu sebe
"Kau jahat, Mas! Jangan tinggalin aku! Aku gak gila!! Aku gak gila, Mas!!"Elvina terus meronta, tapi petugas RSJ memasukkannya ke dalam kamar yang sepi. Ia merenung sendiri. Apa salahnya selama ini? Dia memang sangat shock, merasa seolah ia ditipu. Bukan karena dia gila, sang suami justru seenaknya sendiri memasukkannya dalam RSJ. Wanita itu selalu antusias ingin menjadi kaya, karena ia sudah bosan hidup dalam kemiskinan, hingga ia mulai stress dan meracau sendiri. Saat ada kesempatan, Elvina kabur dari RSJ itu tengah malam buta. Ia berjalan tak tentu arah hingga terdampar di perkampungan kumuh, tempat para pemulung berada. Masih saja ia berceloteh dan berteriak lantang kalau dirinya kaya. Aku orang kaya! Lalu tawanya membahana. Sebenarnya dalam hati ia merasa kosong dan perih. Tak diam saja di situ, ia pergi lagi ke jalanan, hingga penampilannya tak karuan. Bahkan dia berjingkrak-jingkrak seolah tidak sedang hamil. Banyak orang yang bilang kalau dia tak waras. Tapi sekali waktu,
*Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan area.*Tak ada satupun kabar ataupun pesan darinya. Kemana Mas Bian pergi? Tiba-tiba sepasang tangan menutup kedua mataku. Aku merabanya sebentar dan melepaskan tangannya."Kamu cari aku?" tanya Mas Bian. Dia langsung merangkulku dan mengecup pipiku lembut."Iya, aku bawain bekal makan siang untukmu, Mas. Memangnya Mas dari mana saja? Nomormu dihubungi juga tidak bisa?" tanyaku.Dia menghela nafas panjang lalu menggandeng tanganku untuk duduk di sofa."Aku ke kantor ayah tadi. Ada masalah di sana.""Tapi kenapa handphonenya gak bisa dihubungi?""Lowbat sayang. Aku belum sempat charge. Dari pagi meeting terus.""Oh, tau gak sih aku khawatir dengan keadaanmu, semalam kan Mas sakit, aku takut terjadi apa-apa sama kamu, Mas."Mas Bian justru tersenyum, lalu membelai lembut pipiku. "Iya, maaf ya sudah membuatmu khawatir.""Syukurlah kalau tidak ada apa-apa. Ini makan siangnya, Mas.""Makasih, sayang. Kamu udah makan belum?"
Elvina?Terakhir kudengar kabar kalau Elvina sudah tak waras dan hilang tak tahu rimbanya. Sekarang dia kembali lagi ya? Ada apa gerangan dia kesini? Tapi bukannya dia sedang hamil? Atau sudah melahirkan?Aku dan Mas Bian saling berpandangan. Sempat kulihat sorot kebencian dari matanya, meski hanya sesaat saja."Maaf mengganggu waktunya sebentar," ujar pria itu ramah. Dilihat dari wajahnya yang masih muda, pria itu mungkin masih seumuran dengan Mas Bian. Sementara wanita di sebelahnya itu hanya senyum."Mbak El, kamu Mbak Elvina kan?" tanyaku lagi. Aku masih penasaran ingin dibuatnya. Ingin dengar suaranya untuk memastikan."Ah, perkenalkan, ini asisten saya, namanya Elly," ucap pria itu lagi. Disambut anggukan kepala wanita di sebelahnya.Elly? Apa dia ganti identitas ataukah Elvina sengaja menyamar? Entah aku tak mengerti ada apa ini. Aku sangat yakin, pasti ada sesuatu."Gak usah pura-pura lagi deh, ada perlu apa kamu datang kesini?!" Aku cukup terkejut dibuatnya saat Mas Bian tamp
"Eh Mbak Linda, kalau ada yang ganteng plus tajir, kenapa harus pilih yang jelek tapi miskin?"Wajah Mbak Linda merah padam, mungkin tersindir dengan ucapanku. Aku tersenyum simpul."Mbak, aku masuk duluan ya, mau ketemu nenek. Makasih lho udah perhatian sama aku," pamitku sembari menepuk pundaknya. Aku kembali menghampiri Mas Bian yang masih menunggu di motornya."Ayo masuk, Mas!" ajakku. Kami berjalan menghampiri rumah sederhana, rumah masa kecilku. Sebenarnya ada banyak masalah di keluarga ini, makanya aku enggan untuk tinggal. Akan kuceritakan pelan-pelan nanti."Assalamu'alaikum, Mbah Uti!" Aku mengucapkan salam. Berharap si mbah mendengarnya. Ya, aku memanggil nenekku dengan panggilan Mbah Uti alias Mbah Putri. Sudah terbiasa dari kecil begitu."Waalaikum salam." Terdengar lirih suara menyahut salamku.Mbah Uti menghampiriku dengan memicingkan matanya, meneliti siapa yabg datang. Wajarlah, usianya kini sudah hampir 77 tahun, maka dari itu pandangannya mungkin mulai mengabur. "