"Eh Mbak Linda, kalau ada yang ganteng plus tajir, kenapa harus pilih yang jelek tapi miskin?"Wajah Mbak Linda merah padam, mungkin tersindir dengan ucapanku. Aku tersenyum simpul."Mbak, aku masuk duluan ya, mau ketemu nenek. Makasih lho udah perhatian sama aku," pamitku sembari menepuk pundaknya. Aku kembali menghampiri Mas Bian yang masih menunggu di motornya."Ayo masuk, Mas!" ajakku. Kami berjalan menghampiri rumah sederhana, rumah masa kecilku. Sebenarnya ada banyak masalah di keluarga ini, makanya aku enggan untuk tinggal. Akan kuceritakan pelan-pelan nanti."Assalamu'alaikum, Mbah Uti!" Aku mengucapkan salam. Berharap si mbah mendengarnya. Ya, aku memanggil nenekku dengan panggilan Mbah Uti alias Mbah Putri. Sudah terbiasa dari kecil begitu."Waalaikum salam." Terdengar lirih suara menyahut salamku.Mbah Uti menghampiriku dengan memicingkan matanya, meneliti siapa yabg datang. Wajarlah, usianya kini sudah hampir 77 tahun, maka dari itu pandangannya mungkin mulai mengabur. "
Part 60"Kalau begitu aku akan selalu bersamamu dan membuatnya bersinar."Aku terkekeh mendengar ucapannya. "Gombal!" tukasku sembari melangkah pergi."Hei, aku serius. Rin, tunggu, Rin!" cegahnya. Dia menyejajarkan langkahku. Dia menarikku hingga kami saling berhadapan. Kutatap manik matanya yang berwarna hitam kecoklatan. "Rin ..." "Mas, kita bicara di rumah simbah. Ayo, kita pulang. Udah hampir maghrib.""Oke, sayang."Jalan-jalan sore hari ini cukup sampai di sini saja. Waktunya kita kembali ke rumah. Kurebahkan tubuh di atas kursi kayu."Wis ndelok pasar maleme, Nduk?""Sampun, Mbah. Ini buat simbah. Manisan pepaya.""Walah Nduk, alhamdulillah. Banyuwudhu sik, Nduk, Cah bagus, sholat.""Nggih Mbah."Mbah Uti pergi sholat di mushola terdekat, sementara aku dan Mas Bian sholat di rumah berjamaah berdua. Dia jadi imamku, terenyuh rasa di hati, ketika mendengar suaranya mengaji, meski penampilannya hampir mirip preman.Mas Bian kembali meledekku. "Tadi katanya mau bicara di rumah.
"Ada di sekitar sini, tidak terlalu jauh. Bukan hotel sih, tapi rumah singgah. Mau gak?"Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Sedikit canggung sebenarnya, tapi gak boleh gini kan? Dia kan sudah jadi suamiku. Kembali kuedarkan pandangan di sekitar danau. Hamparan air yang jernih dan tenang, di sebelah sisi terdapat wisatawan yang tengah naik perahu berputar mengelilingi danau. Semilir angin berhembus, menggoyangkan dedaunan hingga menimbulkan bunyi gemerisik yang syahdu. Cuacanya benar-benar sejuk dan terasa pas untuk bersantai."Mau sampai kapan kamu berdiri di situ terus? Gak mau duduk di sini?" tanya Mas Bian.Aku menoleh dan tersenyum. "Masih ingin menikmati keindahan alam, Mas."Pandanganku kembali memindai sekeliling."Oke, tunggu di sini ya, aku turun sebentar.""Mau kemana, Mas?" tanyaku seraya mengerutkan kening."Sebentar saja, mau turun ke bawah."Aku mengangguk dan menatapnya turun. Akhirnya aku duduk meluruskan kakiku, menatap langit-langit rumah pohon yang terbuat dar
"Mas, bangun, sudah pagi lho!" Aku mengguncang tubuhnya dengan pelan. Tapi lelakiku ini hanya menggeliat malas. Duh, suamiku susah sekali dibangunin! gerutuku sendiri. Aku berlalu kembali ke kamar mandi, mencuci tanganku lalu menempelkan tangan yang basah pada kedua matanya."Mas, sudah pagi, bangun. Bentar lagi subuh lho!" tukasku lagi.Ia mengerjapkan matanya dengan pelan, lalu meregangkan tubuhnya. "Eh sayang ..." Mas Bian beranjak duduk dan mengucek kedua matanya."Kamu seger banget dah keramas pagi-pagi," celetuk Mas Bian seraya mengusap rambutku yang basah."Ih ini juga gara-gara siapa semalam ngajakin berapa kali!""Hahaha, iya iya. Habisnya kamu manis sekali.""Dah mandi dulu gih, bentar lagi waktu subuh.""Iya, sayang ...""Ini handuknya."Ia tersenyum, meraih handuk yang kusodorkan lalu beranjak ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran air di kamar mandi. Sementara aku menyiapkan untuk salat berjamaah.Ini yang sebelumnya tak kutahu, walau penampilannya seperti preman, tapi
Deg! Jantung seolah berhenti berdetak. Dua hari yang lalu saat ditinggal kondisi ibu masih baik-baik saja. Ini kenapa tiba-tiba ibu dibawa ke Rumah Sakit?“Gimana, Yang, mau pulang sekarang atau besok pagi?”“Sekarang saja, Mas. Aku khawatir dengan kondisi ibu.”“Baiklah, berkemas ya. Kita pulang sekarang.”Aku mengangguk. Debaran di jantung bergejolak tiada henti mendengar ibu masuk rumah sakit. Rasa cemas dan takut bercampur padu jadi satu.Kukemas baju-bajuku dan Mas Fabian ke dalam tas ransel. Entah kenapa sedari tadi mataku berubah panas, kurasakan butiran halus mengalir di pipi. “Kamu menangis, Sayang?” tanya Mas Fabian. Ia mendekat dan mengusap butiran bening di pipi. “Aku sedih saja, Mas. Ibu kenapa ya bisa masuk rumah sakit.”“Pak Atim tidak menjelaskan apapu, Rin, cuma meminta kita agar cepat datang,” sahut Mas Bian.“Apa beliau baik-baik saja?” ujarku sembari membayangkan wajah teduh ibu yang menenangkan hati. Mas Bian langsung merengkuhku dalam dekapannya. Ia membelai ke
Part 64Seseorang mengisik bahuku pelan. Aku hanya menoleh dan kembali menangis seenggukkan. Hanya berharap ada doa dan keajaiban untuk kesembuhan ibu.“Aku tahu ini pasti berat buat kamu, Rin. Kamu harus kuat ya,” ujarnya lagi menenangkan.Aku mengangguk.“Ini aku beli bubur ayam buat kamu, ayo kita sarapan dulu. Kamu mau pulang apa tetap nungguin ibu?”“Aku di sini saja, boleh ‘kan, Mas?”“Boleh, habis sarapan nanti aku pulang dulu ya, naruh barang sama ambil baju-bajumu yang bersih. Aku juga mau check ke bengkel dulu. Kamu gak apa-apa kalau aku tinggal dulu?” tanya Mas Bian lagi.“Iya aku gak apa-apa, Mas. Aku pengen nungguin ibu.”“Ya sudah, ayo dimakan dulu buburnya mumpung masih hangat.”Aku mengangguk, mengambil porsi bubur ayamku dan segera memakannya hingga tandas. “Aku pulang dulu ya, Sayang. Kalau sudah kelar aku segera kesini lagi.”“Iya, Mas. Hati-hati dijalan, jangan sampai ngantuk.”“Demi istriku, aku akan berhati-hati. Assalamu’alaikum.”“waalaikum salam.” Kucium pung
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," sahut suara yang lain. Tubuh lemas seketika mendengar kabar buruk di hadapanku ini. Aku menggeleng perlahan. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin kan kalau ibu meninggalkanku secepat ini?Aku melangkah dengan tubuh gemetar menghampiri ibu yang terbaring. Nyatanya, beliau sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya terasa begitu dingin. "Bu, bangun Bu... Ini Arini... Bangun Bu...." ucapku histeris sambil memeluk tubuh ibu."Ibu ... Ini Arini, Bu... Bangunlah Bu ...." teriakku lagi. Sungguh aku tak rela jika ibu harus pergi secepat ini. Aku merasa sangat bersalah tak bisa menemaninya di saat yang terakhir. Ada yang mengisik bahuku. Aku menoleh, kulihat mas Bian berdiri di sampingku. matanya pun merah terlihat sembab. Lelaki itu mungkin juga menangis tapi berusaha kuat untuk tegar."Mas, ibu ....." ucapku lirih. Berharap ibu ini hanya tidur biasa. Tapi nyatanya harapanku hanyalah semu belaka. Sudah ketentuan dari Allah, ibu p
“Tunggu, Pak!” cegah Mas Bian. Pak Atim menghentikan langkahnya. Mas Bian datang menghampiri dan mengambil ransel yang dibawa lelaki tua itu. Sungguh aku tak kuasa menyaksikan perpisahan ini. Entah akupun tak tahu Pak Atim mau pergi kemana, karena setahuku beliau tak punya keluarga di sini. Pak Atim benar-benar mengabdikan dirinya di keluarga Unggul Adiningrat.“Bapak ikut kami saja ya,” ujar Mas Bian. Seketika aku menoleh dan menatap mereka. “Tapi, Mas—““Ikut kami saja. Untuk hari ini tetaplah di sini, tunggu kami berkemas ya, Pak. Saya akan bilang ke Tiar mengenai hal ini.”“Apa benar tidak apa-apa?”“Tidak apa-apa, Pak. kami justru senang bila bapak ikut dengan kami. Kamu setuju kan, Yang, kalau Pak Atim ikut dengan kita?”Aku mengangguk sambil tersenyum diliputi rasa yang penuh haru.Seperti janjinya, hari ini Mas Tiar datang, dia membawa sebuah amplop coklat berisikan uang yang diberikan untuk uang saku Pak Atim. Aku sebenarnya sedikit heran, dari mana Mas Tiar mendapatkan u