"Mas, bangun, sudah pagi lho!" Aku mengguncang tubuhnya dengan pelan. Tapi lelakiku ini hanya menggeliat malas. Duh, suamiku susah sekali dibangunin! gerutuku sendiri. Aku berlalu kembali ke kamar mandi, mencuci tanganku lalu menempelkan tangan yang basah pada kedua matanya."Mas, sudah pagi, bangun. Bentar lagi subuh lho!" tukasku lagi.Ia mengerjapkan matanya dengan pelan, lalu meregangkan tubuhnya. "Eh sayang ..." Mas Bian beranjak duduk dan mengucek kedua matanya."Kamu seger banget dah keramas pagi-pagi," celetuk Mas Bian seraya mengusap rambutku yang basah."Ih ini juga gara-gara siapa semalam ngajakin berapa kali!""Hahaha, iya iya. Habisnya kamu manis sekali.""Dah mandi dulu gih, bentar lagi waktu subuh.""Iya, sayang ...""Ini handuknya."Ia tersenyum, meraih handuk yang kusodorkan lalu beranjak ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran air di kamar mandi. Sementara aku menyiapkan untuk salat berjamaah.Ini yang sebelumnya tak kutahu, walau penampilannya seperti preman, tapi
Deg! Jantung seolah berhenti berdetak. Dua hari yang lalu saat ditinggal kondisi ibu masih baik-baik saja. Ini kenapa tiba-tiba ibu dibawa ke Rumah Sakit?“Gimana, Yang, mau pulang sekarang atau besok pagi?”“Sekarang saja, Mas. Aku khawatir dengan kondisi ibu.”“Baiklah, berkemas ya. Kita pulang sekarang.”Aku mengangguk. Debaran di jantung bergejolak tiada henti mendengar ibu masuk rumah sakit. Rasa cemas dan takut bercampur padu jadi satu.Kukemas baju-bajuku dan Mas Fabian ke dalam tas ransel. Entah kenapa sedari tadi mataku berubah panas, kurasakan butiran halus mengalir di pipi. “Kamu menangis, Sayang?” tanya Mas Fabian. Ia mendekat dan mengusap butiran bening di pipi. “Aku sedih saja, Mas. Ibu kenapa ya bisa masuk rumah sakit.”“Pak Atim tidak menjelaskan apapu, Rin, cuma meminta kita agar cepat datang,” sahut Mas Bian.“Apa beliau baik-baik saja?” ujarku sembari membayangkan wajah teduh ibu yang menenangkan hati. Mas Bian langsung merengkuhku dalam dekapannya. Ia membelai ke
Part 64Seseorang mengisik bahuku pelan. Aku hanya menoleh dan kembali menangis seenggukkan. Hanya berharap ada doa dan keajaiban untuk kesembuhan ibu.“Aku tahu ini pasti berat buat kamu, Rin. Kamu harus kuat ya,” ujarnya lagi menenangkan.Aku mengangguk.“Ini aku beli bubur ayam buat kamu, ayo kita sarapan dulu. Kamu mau pulang apa tetap nungguin ibu?”“Aku di sini saja, boleh ‘kan, Mas?”“Boleh, habis sarapan nanti aku pulang dulu ya, naruh barang sama ambil baju-bajumu yang bersih. Aku juga mau check ke bengkel dulu. Kamu gak apa-apa kalau aku tinggal dulu?” tanya Mas Bian lagi.“Iya aku gak apa-apa, Mas. Aku pengen nungguin ibu.”“Ya sudah, ayo dimakan dulu buburnya mumpung masih hangat.”Aku mengangguk, mengambil porsi bubur ayamku dan segera memakannya hingga tandas. “Aku pulang dulu ya, Sayang. Kalau sudah kelar aku segera kesini lagi.”“Iya, Mas. Hati-hati dijalan, jangan sampai ngantuk.”“Demi istriku, aku akan berhati-hati. Assalamu’alaikum.”“waalaikum salam.” Kucium pung
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," sahut suara yang lain. Tubuh lemas seketika mendengar kabar buruk di hadapanku ini. Aku menggeleng perlahan. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin kan kalau ibu meninggalkanku secepat ini?Aku melangkah dengan tubuh gemetar menghampiri ibu yang terbaring. Nyatanya, beliau sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya terasa begitu dingin. "Bu, bangun Bu... Ini Arini... Bangun Bu...." ucapku histeris sambil memeluk tubuh ibu."Ibu ... Ini Arini, Bu... Bangunlah Bu ...." teriakku lagi. Sungguh aku tak rela jika ibu harus pergi secepat ini. Aku merasa sangat bersalah tak bisa menemaninya di saat yang terakhir. Ada yang mengisik bahuku. Aku menoleh, kulihat mas Bian berdiri di sampingku. matanya pun merah terlihat sembab. Lelaki itu mungkin juga menangis tapi berusaha kuat untuk tegar."Mas, ibu ....." ucapku lirih. Berharap ibu ini hanya tidur biasa. Tapi nyatanya harapanku hanyalah semu belaka. Sudah ketentuan dari Allah, ibu p
“Tunggu, Pak!” cegah Mas Bian. Pak Atim menghentikan langkahnya. Mas Bian datang menghampiri dan mengambil ransel yang dibawa lelaki tua itu. Sungguh aku tak kuasa menyaksikan perpisahan ini. Entah akupun tak tahu Pak Atim mau pergi kemana, karena setahuku beliau tak punya keluarga di sini. Pak Atim benar-benar mengabdikan dirinya di keluarga Unggul Adiningrat.“Bapak ikut kami saja ya,” ujar Mas Bian. Seketika aku menoleh dan menatap mereka. “Tapi, Mas—““Ikut kami saja. Untuk hari ini tetaplah di sini, tunggu kami berkemas ya, Pak. Saya akan bilang ke Tiar mengenai hal ini.”“Apa benar tidak apa-apa?”“Tidak apa-apa, Pak. kami justru senang bila bapak ikut dengan kami. Kamu setuju kan, Yang, kalau Pak Atim ikut dengan kita?”Aku mengangguk sambil tersenyum diliputi rasa yang penuh haru.Seperti janjinya, hari ini Mas Tiar datang, dia membawa sebuah amplop coklat berisikan uang yang diberikan untuk uang saku Pak Atim. Aku sebenarnya sedikit heran, dari mana Mas Tiar mendapatkan u
POV TiarPanas terik mentari tak menyurutkan semangat kerjaku menjadi pekerja proyek bangunan. Dengan giat aku membawa bahan material bangunan. Aku bekerja untuk memenuhi isi perut juga untuk sewa kamar kost. Waktu istirahat telah tiba, aku duduk sedikit menyingkir di tepi, bersandar dibawah pohon sembari meminum teh yang diberi oleh Pak Mandor, berikut sebungkus makan siang yang terkadang bila beruntung hanya lauk rendang telor dan tumis kacang panjang.Mulut masih mengunyah makanan, tetiba sepasang mataku menangkap sosok perempuan yang dulu pernah mengisi hari dan hatiku. Aku tertegun sejenak, meski penampilannya berbeda, rambut sebahu yang di cat pirang dan kacamata yang ia kenakan.“Elvina? Apa aku tak salah lihat?” lirihku sendiri seraya terbengong melihat wanita itu melintas di dekatku. Pakaiannya sungguh modis, jaket denim serta rok plisket hitam, di tangannya membawa tas berisi dokumen. Aku sungguh tak percaya melihat pemandangan ini. Benarkah itu Elvina yang dulu kutinggalk
Part 68Pov Tiar ( terjadi sebelum ibu meninggal dunia ya )“Katakanlah, El. Ada hal penting apa yang ingin kau sampaikan?”Elvina terdiam, dia tampak ragu mengatakannya. Aku mendekat dan ingin menggenggam tangannya, tapi ia menepisku.“El, kamu kenapa? Bukankah kita masih ada ikatan? Aku masih boleh kan menggenggam tanganmu?”Elvina menggeleng. “Aku tahu, Mas. Tapi, aku yang sekarang bukan Elvina yang dulu lagi.” “Iya, maafkan aku, EL. Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menebus kesalahan yang sudah kuperbuat?”“Ikutlah sebentar dengan kami, Mas.”“Kami?”“Maksudnya bosku. Pak Chandra.”“Kenapa harus dia, ini masalah intern kita, El. Ya, ya, aku sadar, sekarang aku hanya seorang pekerja bangungan. Penampilanku pun begitu menyedihkan tak seperti dulu. Tapi—““Mas, ini gak ada hubungannya dengan pekerjaanmu.” Elvina menghela nafas dalam-dalam lalu menatapku tanpa berkedip. “Mas, bukankah kau ingin menebus kesalahan dan ingin mendapatkan maaf dariku?”“Iya El, tentu saja.” sahutku lag
Berkali-kali aku datang ke rumah ibu, tapi nyaliku masih menciut, hingga ibu memergokiku. Saat itu akhirnya ibu mengajakku masuk ke dalam. Entah kenapa ibu justru menangis melihat kondisiku saat ini. Kuceritakan kalau aku bekerja di proyek bangunan, panas perih bekerja hanya untuk mencari makan. “Bu, apakah ibu masih sayang padaku? Apakah kesalahanku terlalu besar sampai ibu tak memaafkanku?” ucapku dengan nada bergetar.“Kenapa kamu bilang seperti itu, Tiar?” tanya ibu.“Iya, terlihat dari cara ibu yang begitu pilih kasih. Ibu lebih sayang dengan Arini padahal dia bukan lahir dari rahim ibu. Sementara aku diabaikan olehmu. Apa kalau aku meminta satu hal padamu, kau akan memberikannya? Tidak ‘kan?” Kulihat air mata ibu makin mengalir deras membasahi pipi. Ah, gimana ini? aku justru membuat perasaan ibu makin terluka. Bukankah aku sudah minta maaf padanya? “Kau salah, Nak. Ibu sayang padamu melebihi apapun, hanya saja kau salah mengartikannya. Bila ibu harus mati demi menyelamatkanm