“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
Part 1"Mas, hari ini jadi kan anterin aku check up ke dokter?" Dia yang tengah menyisir rambutnya, menoleh ke arahku sebentar, lalu menepuk jidatnya. "Duh, maaf Dek, barusan Mas udah janji sama Aqilla, mau anterin dia pergi ke Water Park.""Lho Mas, dari bulan kemarin kan udah janji mau anterin aku periksa kandungan?!" protesku."Maaf ya, Dek. Kamu pergi sendiri bisa 'kan? Mas udah janji nih sama Qilla, nanti dia malah nangis," sahutnya lagi. Aqilla adalah putrinya dari pernikahannya yang pertama.Dia bangkit lalu memberikan uang seratus ribuan sebanyak empat lembar. "Segini cukup kan buat USG ke dokter?! Mas berangkat dulu ya, jaga ibu baik-baik. Kalau kamu dah mau berangkat, sementara titipkan ibu ke Mbak Ulfa dulu saja."Belum kujawab ucapan darinya, dia sudah berlalu begitu saja. Penampilannya hari ini begitu rapi, kemeja kotak-kotak warna biru yang ditekuk sampai siku membalut tubuhnya yang tegap dan tinggi. Aku hanya mampu menghela nafas, bukan sekali dua kali dia menolak bil
Part 2 "Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!"Mas Tiar dan Elvina terbengong mendengar ucapanku. Mereka saling berpandangan lalu kembali menatapku dengan heran."Lho, apa maksudnya ini?" tanya Elvina lagi."Arini, apa-apaan maksudmu seperti ini? Memangnya aku barang pinjaman sampai dibalikin segala?!" tukas suamiku."Bukankah kalian masih saling cinta? Aku hanya menyatukan dua hati yang terpisah untuk kembali bersama lagi, kalian rujuk saja, aku yang mundur," jawabku."Ini gak lucu, Arini!" tukas Mas Bachtiar."Ya, emang! Dan aku lagi gak ngelawak, Mas!" Nada suaraku mulai meninggi. "Ayah, Tante, kenapa bertengkar?" celetuk si kecil Aqilla. Bocah cantik itu bertanya dengan polosnya membuatku menghela nafas berkali-kali. Ah, kenapa aku jadi susah mengontrol emosi seperti ini.Mas Tiar menatap putrinya lalu kembali menatap wanita yang sudah pernah menjadi istrinya itu memberi kode supaya Aqilla masuk ke dalam rumah."Ayo sayang, kita masuk!" ucap Elvina dengan nada lembut. Wanita b
Part 3Aku berlalu ke dalam tapi dia langsung menarik tanganku."Dek, kenapa kau tega berkata seperti ini padaku? Apa maksudnya ini?" Dia memasang nada suara memelas dengan tatapan begitu sayu penuh permohonan. "Aku salah apa sama kamu, Dek? Kenapa sikapmu jadi berubah seperti ini? Aku ini kan suamimu, sudah tentu aku pulang kesini. Kenapa kau malah ingin mengusirku?""Dasar laki-laki tidak peka!" Kukibaskan tanganku darinya. "Kamu itu laki-laki egois ya Mas, kalau senang-senang kamu pergi sama mantanmu, giliran pusing aku disuruh ikut nanggung! Mikir dong, Mas! Mikiiiirrr!! Kamu masih punya otak kan?"Gara-gara nada suaraku yang meninggi, para tetangga berhamburan keluar. Gegas aku masuk ke dalam dan menutup pintu cukup keras. Braaakk ...!Sabar, Arini, sabar.Rupanya tak kehilangan akal. Mas Tiar masuk melalui jendela kamar ibu yang terbuka lebar. Ya, di kamar ibu dipasang jendela yang lebar agar ia bisa melihat pemandangan luar. Biar ibu tak bosan berada di dalam kamarnya. Dia sel