"Apa yang terjadi, bagaimana bisa?" Akara langsung melepaskan pegangannya pada kedua pedang kayunya, lalu tertatih berjalan mundur.
"Anakku!" Ayah Cor Beton langsung berlari menghampiri anaknya dan langsung mengusap darah di perut yang mengalir di perutnya.
"Selamatkan anakku!" teriaknya kepada para anggota keluarga Beton.
"Tangkap anak itu!" Yon Beton langsung memerintahkan anggota keluarga Beton untuk menangkap Akara. Padahal anak itu sedang kebingungan dan masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.
"Panggil ibunya ke sini!" lanjutnya.
…
Beberapa saat kemudian, mamanya Akara datang ke kediaman keluarga Beton. Di sana Akara sudah babak-belur, terikat pada tiang kayu dengan tatapan mata kosong.
"Akara!" teriaknya yang langsung berlari menghampiri anaknya.
Tatapan mata kesal terus terpancar dari para anggota keluarga Beton. Saat itu hanya ada Yon Beton, sedangkan ayah Cor Beton selaku kepala keluarga malah tidak terlihat. Dengan perlahan Yon Beton mendekati wanita yang tengah melepaskan tali di tubuh anaknya.
"Benar saja cantiknya luar biasa! Apa kamu tau, apa yang telah dilakukan anak itu?" ujar Yon Beton, namun diabaikan oleh wanita itu.
"Akara sst! Hei!" Ia lalu memegangi kedua pipi anaknya dan menatapnya dengan serius.
"Tidak apa-apa, tenang saja," lanjutnya dengan suara lembut, lalu memeluk tubuh anaknya. Ucapannya yang spontanitas itu ternyata membuat orang-orang di sana geram.
"Tidak apa-apa katamu!?"
"Hukuman kematian saja tidak cukup untuknya!"
"Anakmu pembunuh!"
"Sudah anak haram, pembunuh!"
Perkataan hujatan mereka ternyata membuat wanita itu tersentak, begitu juga Lisa yang tadinya ikut geram.
"Ahh, tamatlah riwayat keluarga Beton," ujar gadis di atas genteng sambil geleng-geleng kepala.
"Diam!" Yon Beton malah membentak anggota keluarganya, lalu berjongkok di samping wanita yang tengah memeluk anaknya.
"Aku bisa membantumu.." ucapan Yon Beton terhenti ketika ada hentakan energi dari arah belakangnya.
Blushh!
"Di mana pembunuh anakku!?" Ayah dari Cor Beton mengeluarkan aura ranahnya, aura 2 bulan berputar mengitari 5 bintang di belakang pundaknya.
Berbeda dengan aura ranah berbentuk bintang, aura bulan energi bergerak, berotasi mengelilingi aura bintang.
"Tenang saja, dia hanya ranah Mijil, sedangkan aku ranah Sinom. Jadilah selirku dan akan aku bantu menyelesaikan semuanya," ujar Yon Beton dengan penuh percaya diri, seolah-olah dirinya itu harapan terakhir mereka.
"Huhh!?" Wanita itu malah mengernyitkan dahinya, sambil menatapnya dengan tatapan merendahkan.
Begitu melihat Akara dan mamanya, ayah Cor Beton langsung mengumpulkan energi di kepalan tangannya. Setelah beberapa saat, ia tinju tanah di depannya hingga membentuk ombak tanah.
Dushh!! Busshhh!
Ombak yang jauh lebih besar dari milik Cor Beton, dengan sangat cepat menuju ke arah mereka.
"Hentikan!" Yon Beton ikut mengeluarkan aura ranahnya, aura 3 bulan energi dengan 3 bintang. Tanpa mengumpulkan energi di kepalan tangannya, ia memukul tanah di depannya dan membuat ombak tanah milik ayah Cor Beton terhenti.
Dummb! Blarr!
Semuanya terhenti, menyisakan kepulan debu akibat benturan 2 ombak tanah. Saat debu mulai hilang, Akara dan ibunya sudah tidak ada di tempat itu, mereka sudah berada di luar kediaman keluarga Beton. Anak kecil itu terus berlari sambil menarik tangan mamanya.
"Kejar!" teriak Yon Beton kepada para anggota keluarga Beton.
"Tapi jangan lukai mereka," lanjutnya, membuat semua orang bingung.
..
"Maafkan Akara," ujar Akara sembari meneteskan air matanya.
"Maaf kenapa?"
"Maaf, Akara telah membuat masalah,"
"Hmm masalah? Tidak kok," ujar mamanya dengan begitu riang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Kalau saja Akara jadi anak baik, kalau saja Akara tidak mudah emosi, pasti semua ini tidak akan terjadi dan Akara tidak menjadi seorang pembunuh!" teriaknya sambil menangis, namun terus berlari menuju hutan di pinggir kota.
"Anakku.. Mereka memang pantas mendapatkan itu, kalau kamu tidak membunuhnya, pasti malah kamu yang dibunuh oleh mereka," ujar mamanya, malah membuat Akara menatapnya dengan bingung.
"Tapi…" Akara ingin menepis nasihat mamanya, tapi ia teringat kembali kejadian saat Cor Beton memukulinya secara membabi-buta.
"Baiklah!" Anak itu kini mengusap air matanya, lalu menoleh ke belakang dengan tatapan tajam, melihat anggota keluarga Beton yang sedang mengejarnya.
"Tenang saja mama, mama akan aku lindungi!" Ia tiba-tiba berhenti, aura ranah 3 bintangnya muncul bersamaan dengan energi dingin. Energi berwarna putih kebiruan yang menyelimuti tubuhnya, lalu dengan cepat terbentuk kristal es runcing di genggamannya. Dengan sekuat tenaga ia lempar ke arah orang-orang yang mengejarnya.
Sussshh! Clek!
Sempat ingin mengaktifkan aura ranah, namun kristal es telah menembus tubuhnya. Para pengejar lainnya langsung berhenti karena takut, namun kristal es dengan jumlah banyak langsung menyerang mereka.
Clek! Clek! Clek!
Belasan anggota keluarga Beton dengan cepat terbunuh oleh kristal es milik Akara.
Tubuh Akara kini diselimuti oleh energi dingin, bahkan tanah yang ia pijak berubah menjadi beku, lalu ada juga asap dingin yang menyebar di bawahnya.
Cuss! Crangg!
Akara tiba-tiba meluncurkan kristal es lagi, bertepatan dengan datangnya Yon Beton yang langsung menangkisnya. Anggota keluarga Beton lainnya lebih memilih menjaga jarak aman dari Akara, dan menyaksikan saja.
"Benar saja, kau bocah menjadi ancaman yang harus dibunuh!" Yon Beton kini benar-benar geram, berbeda pada saat sebelumnya yang terlihat berwibawa dan tegas.
"Tenang saja bocah, mama cantikmu itu pasti akan aku nikmati dengan baik," lanjutnya sambil menyeringai, namun malah memancing kemarahan Akara.
"Mama, mundur saja, biar aku yang ukhh!" Akara terlempar setelah perutnya ditendang dengan sangat kuat. Orang yang menendangnya ternyata ayahnya Cor Beton, ia muncul dengan tiba-tiba.
"Akara!?" Mamanya langsung panik, namun anak itu langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Jangan mama! Biar, Akara saja!" teriaknya sambil berusaha berdiri, lalu mengusap darah yang mengalir dari bibirnya.
"Bocah sialan!" Ayah Cor Beton berlari, mengepalkan tangannya yang sudah diselimuti oleh energi.
"Mati kau!" Kepalan tangannya dihantamkan pada anak itu, hingga menghancurkan tanah dan membuat sekitarnya bergetar.
Brall!!
Yon Beton langsung tersenyum lebar, sambil menunggu kepulan debu mulai menghilang. Akan tetapi, ia langsung kaget sekaligus panik begitu melihat kristal es besar menembus tubuh ayah Cor Beton. Kristal es yang semula warnanya biru, kini perlahan diselimuti oleh darah hingga berubah warnanya. Anggota keluarga Beton yang tadinya hanya menonton, kini malah terkena serangan mental.
"Tidak mungkin!"
"Dia benar-benar anak iblis!"
"Lebih baik kabur dari sini!" seru mereka sambil berlari menjauh, namun dihentikan oleh teriakan Yon Beton.
"Berhenti! Lihatlah keadaannya!"
Akara kini sudah sangat kelelahan, bahkan untuk berdiri saja ia sudah kesulitan.
"Serang secara bersamaan!" teriak Yon Beton sambil mengeluarkan aura ranahnya, dan mengumpulkan energi di kepalan tangannya ketika berlari.
Belasan anggota keluarga Beton lainnya juga langsung ikut berlari, mengeluarkan aura ranahnya yang rata-rata masih di bawah 2 bulan energi.
"Kemari kalian semua!" Akara berteriak, sambil mengangkat kedua tangannya dan muncul belasan kristal es yang melayang di sekitarnya.
Para anggota keluarga Beton cukup ragu dan gentar kala itu, namun tiba-tiba Akara terhuyung dan belasan kristal es yang ia buat mulai hancur.
Crangg!!
"Bunuh!" Yon Beton dengan semangat meluncurkan serangannya kepada bocah yang telah tidak berdaya itu.
Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti. Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang. "Siapa kau!?" "Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!" Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja. … Wush! Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai
Wilayah Kaisar Naga Sejati Lisa melayang di atas hutan yang begitu lebat nan luas, di depannya ada seorang gadis yang juga melayang. Gadis dengan rambut yang disanggul berwarna emas berkilau, menampakkan lehernya dengan rambut tipis. Kulitnya begitu putih bersih, dengan bibir tipis merah muda dan pupil mata yang sama dengan warna rambutnya. Dada dan panggulnya bulat berisi, dengan pinggul kecil dan kaki jenjang. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya sangatlah ideal. "Mendistorsi ruang waktu yang menggagalkan teleportasiku, seharusnya ada satu orang yang bisa melakukannya di dunia fana ini," ujar Lisa sambil melepaskan topengnya perlahan-lahan, menunjukkan wajahnya yang tidak kalah cantik. "Kekuatanmu turun sejauh ini, apa masih berani mendatangi mereka?" Gadis berambut emas perlahan-lahan mendekati Lisa. "Apa ingin memberiku kekuatan, kak Viona?" Lisa tersenyum lebar sambil terus menatapnya. Gadis bernama Viona itu kemudian menjentikkan jarinya, membuat penghalang yang mengelilingi mereka
Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya. Brakk! Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun. "Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung. "Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya. "Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut. "Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi. "Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan," "Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk. Tass!! dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari
Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana. "Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya. "Terima kasih mama Lia," "Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya. "Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya. "Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat. "Habisnya, ayah menjengkelkan!" "Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya. "Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan. "Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan. "Yakin?" ujar mama Lia sam
Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca. "Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya. Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya. Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada. Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan. Aura ranah A
Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu. .. Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar. "Ada apa!?" "Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya. "Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah. "Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuma
Saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, Akara berjalan sendirian di tengah hutan. Hutan tropis yang berada di lembah belakang rumahnya, belum cukup jauh karena masih terlihat jelas rumah di belakangnya. "Kak Akara!" teriak seorang gadis kecil dari kejauhan, ia sedang berlari mengejar kakaknya. Akar dan pohon tumbang yang lalu-lalang di hadapannya tidak menjadi rintangan, ia dengan mudah melompatinya walau setinggi dan sebesar apapun. "Kenapa mengikuti kakak?" ujar Akara begitu Alice sampai di sisinya. "Kak Akara ini! Setidaknya tanya dulu 'Cantik kenapa di sini?' 'Cantik mau ke mana?' belum tentu juga ke sini mengikuti kakak, tidak basa-basi sama sekali!" Alice cemberut kesal, namun langsung berubah ketika melihat kakaknya tersenyum. Gadis kecil ini langsung meraih lengan kakaknya dan memeluknya. "Mau cari tanaman obat apa kak?" lanjutnya. "Adek Alice ini! Setidaknya tanya dulu 'Kakak mau ke mana?' 'Ngapain di sini?' belum tentu juga ke sini mencari tanaman obat, tidak basa-
Ada sesuatu yang mengenai air rawa hingga membuat air menyiprat, namun setelah itu tidak ada apa-apa lagi, baik di darat maupun di dalam air. "Ada apa kak?" Alice masih di gendongan kakaknya dan membawa kantong semar di tangannya. "Tidak tau, ada yang menyerang tiba-tiba," ujar Akara dengan begitu serius mengamati ke sekitarnya. "Ada yang datang lagi." Akara kembali melompat, bertepatan dengan hancurnya tanah di bawahnya. "Keluar kalau berani!" Alice kesal, lalu mengeluarkan aura ranah Maskumambang 1 bola energi. Dibuatnya penghalang untuk menyelimuti tubuh mereka, lalu mengumpulkan energi petir di tangannya. Begitu mendarat, Akara melompat lagi, diikuti oleh hancurnya dahan pohon di belakangnya. Tanpa berfikir lagi, Alice meluncurkan serangan petir ke arah tempatnya sebelumnya. Blarrr!! Petir merah muda menyambar tanah, lalu menyebar ke segala sisi dengan jangkauan lebih dari 3 meter. Sekarang terlihat sesuatu dari dahan pohon yang hancur, sesuatu yang panjang menjulur beberap