Share

Presdir gila

Intan berjalan melewati beberapa karyawan yang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Setibanya Intan di ruang asisten bernama pak Agung. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, tangannya terkepal dan terangkat mengetuk pintu ruangan.

"Masuk!" Suara bariton terdengar dari dalam ruangan, memerintahkan Indah.

Perlahan pintu ruangan terbuka. Intan yang mengira asisten presdir itu tua, hanya bisa melongo tak percaya. Tua? Bahkan wajahnya jauh dari kata itu. Seorang pria tampan dan penuh wibawa menatap Intan dengan tatapan datar. Intan sempat tertegun menatap sang asisten, sampai suara bariton itu mempersilahkan Intan duduk.

"Silahkan Nona Intan!"

Intan terkesiap malu. Wajahnya sedikit memerah, lalu duduk di kursi tepat di depan sang asisten.

"Saya akan menjelaskan tugas dan jabatan nona Intan. Berhubung sekretaris pak Presdir baru saja memundurkan diri. Pak Presdir tidak memiliki sekretaris sekarang ini. Saya akan menempatkan nona Intan di bagian itu. Anggap saja ini hanya sementara dan training. Selama tiga bulan ke depan, nona Intan akan selalu mendampingi pak Presdir, sampai sekretaris pak Presdir ada. Bagaimana nona? Apa sudah jelas?" tanya asisten Agung, penjelasannya terdengar tetas sekali.

Intan hanya mengangguk. Fokusnya bukan saat asisten Agung menjelaskan jabatannya. Intan malah sibuk memandangi wajah sang asisten.

"Baiklah, karena nona Intan sudah mengerti. Silahkan nona Intan ke ruangan sebelah. Di sana adalah ruangan nona Intan. Dan satu lagi, ini semua jadwal meeting dan kegiatan pak Presdir, silahkan dibaca dan dipelajari!" titah asisten Agung, memberikan satu map berisikan lembaran yang banyak kepada Intan.

Intan dengan cepat mengambil map itu. Sebenarnya Intan masih betah berlama-lama di ruangan itu. Tapi, takut akan diusir karena urusan sudah selesai. Intan akhirnya bergegas keluar, menuju ruangannya sendiri. Sedang asyik berjalan sambil membayangkan wajah tampan asisten Agung. Tanpa sengaja Intan menabrak seorang pria yang kelihatannya juga sedang tergesa-gesa.

"Hei, kalau jalan itu pakai mata! Kamu tidak lihat berkas-berkas itu berserakan?" sentak Intan, berjongkok merapikan semua lembaran yang kini terpecah berai di lantai keramik. "Kamu pasti terlambat kan? Di sini presdirnya galak, dia juga orang yang disiplin. Hati-hati kamu!" lanjut Intan, menakuti pria yang kini menatap Intan dengan tatapan bingung.

Tanpa mempedulikan pria itu, Intan langsung pergi meninggalkannya. Sedangkan sang pria mengerutkan keningnya, sebelum akhirnya memutuskan pergi ke sebuah ruangan.

"Hem, sepertinya jadi sekretaris tidak terlalu sulit juga. Baiklah, aku sudah mengerti sekarang. Lebih baik aku menemui pak Presdir saja," gumam Intan, beranjak dari kursinya.

Intan berjalan santai dengan membawa map yang baru saja dia dapatkan dari sang asisten Agung. Pintu ruangan presdir tertutup rapat. Tanpa mau menunggu lama lagi, Intan segera mengetuk pintu itu.

"Masuk!" perintah sang Presdir, dari dalam ruangannya.

Intan melangkah masuk. Awalnya semuanya terlihat baik-baik saja. Ekspresi yang Intan tampilkan juga biasa saja. Namun, saat sang presdir berbalik, ekspresi biasa dari Intan berubah seketika dengan ekspresi takut.

"Kamu?" seru Presdir, menunjuk ke arah Intan yang langsung menunduk takut.

"Kemari!" titah Presdir meminta Intan mendekatinya.

Dengan ragu Intan mendekati atasannya. Kepalanya masih setia menunduk. Pria yang tadi sempat Intan tabrak dan omeli, ternyata adalah presdirnya sendiri.

"Bukannya kamu yang tadi menabrak saya?" tanya Lingga-- sang presdir dari PT. LM.

"Saya tidak menabrak Bapak, Bapak sendiri yang jalan tidak hati-hati," jawab Intan, tidak berani mengangkat kepalanya.

"Saya? Apa tidak salah? Oh iya, kalau bicara dengan orang lain itu. Biasakan untuk mendongak dan menatap langsung lawan bicaranya," ejek Lingga, menyeringai.

Perlahan Intan mendongakkan kepalanya, keduanya saling menatap. Pertama kali bertemu dengan Intan dan mendengar Intan berani menggosipkan dirinya, hati Lingga sudah mulai tergetar. Rasa penasaran terhadap Intan mulai muncul, hingga dirinya tau, jika gadis yang tadi menabraknya adalah sekretaris barunya.

"Kamu karyawan baru di kantor ini?" tanya Lingga, nada suaranya seolah mengejek Intan.

"Iya Pak, saya baru," jawab Intan singkat.

"Oh baru... Kalau kamu masih baru, kenapa kamu bisa tau jika saya adalah tipe pemimpin yang disiplin? Siapa yang memberitahu kamu?" tanya Lingga, menatap tajam Intan.

"Emh itu Pak, saya mendengar dari karyawan lain," sahut Intan berbohong.

Lingga mengangguk. "Oke, baiklah. Senang bertemu dengan kamu, pertemuan pertama yang menyenangkan," sindir Lingga, mengulurkan tangannya ke arah Intan.

Intan tidak berani membalas uluran tangan itu. Matanya hanya menatap tangan sang presdir saja, kesalahan fatal yang dia buat di hari pertama dia bekerja. Benar-benar membuat Intan malu setengah mati. Wajahnya terlihat gugup, Intan merasa takut jika setelah ini dirinya akan diperlakukan tidak baik dalam bekerja.

"Kenapa diam? Apa kamu tidak mau berjabat tangan dengan saya? Saya presdir di kantor ini. Saya rasa, ada banyak sekali wanita di luar sana yang berharap berjabat tangan dengan saya secara langsung. Kenapa kamu tidak?" tanya Lingga, dengan sombongnya.

Mendengar kata-kata sang bos, Intan kesal bukan main. Baru kali ini dirinya bertemu dengan seorang pria yang sombongnya tidak tanggung-tanggung.

'Sabar Intan, dia bos kamu sekarang,' batin Intan, mencoba tetap tenang dan sabar.

"Senang bekerja dengan Pak Presdir, terimakasih atas posisinya sebagai sekretaris. Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya ijin keluar, Pak," pamit Intan, merasa tidak betah jika harus berlama-lama di ruangan itu.

"Kenapa buru-buru sekali? Saya mau membahas tentang keberangkatan kita besok ke kota Lombok. Apa kamu sudah menyiapkan semua berkasnya?" tanya Lingga, menahan Intan dengan menanyakan kesiapan Intan.

"Hah? Lombok? Besok?" Intan terkejut mendengarnya.

"Santai saja! Jangan keras-keras menyebut 'hah'!Aromanya sampai tercium ke sini," ejek Lingga, mengibaskan tangannya ke depan hidung. "Kenapa terkejut seperti itu? Apa kamu belum mempelajari dan membaca jadwal saya yang diberikan Agung?" lanjut Lingga bertanya.

"Saya sudah mempelajarinya, Pak. Tapi, jadwal pergi ke lombok besok tidak tertulis," jawab Intan.

"Masa sih tidak ada? Kamu tunggu di sini! Saya panggil Agung dulu," ujar Lingga, mengangkat ganggang telepon kantor.

Tak seberapa lama, asisten Agung akhirnya datang. Melihat ada Intan di ruangan yang sama, Agung merasa ada sesuatu yang aneh dengan atasannya itu. Agung hanya menatap Intan sekilas, kemudian beralih menatap Lingga.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Agung.

"Kenapa jadwal saya besok ke Lombok tidak ada di dalam catatan jadwal saya di sekretaris baru?" tanya Lingga.

"Maaf Pak, mungkin saya lupa mengetiknya. Saya akan memperbaikinya sekarang," sahut Agung, langsung pamit ke luar.

"Kamu dengar kan, besok saya ada jadwal ke Lombok. Karena kamu sekarang jadi sekretaris saya, kamu juga ikut saya. Kita akan pergi selama satu minggu. Siapkan diri kamu, besok pagi saya tunggu di bandara!" titah Lingga, membuat Intan hanya bisa mengangguk pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status