Intan kembali ke ruang kerjanya. Baru hari pertama bekerja, Intan sudah mengalami kesulitan. Memang benar dengan dirinya bekerja, Intan mulai melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Namun, masalah lain justru datang dari atasannya sendiri. 'Apa aku harus ikut ke Lombok? Aku kan baru bekerja, belum terlalu kenal dan tau bagaimana presdir di perusahaan ini. Kalau ternyata dia presdir mesum, bagaimana?' batin Intan, bergidik ngeri membayangkan hal itu. Dirasa ragu dan takut, akhirnya Intan menghubungi sang ayah. Cukup lama panggilan Intan masuk, akhirnya tersambung juga. "Ada apa Ntan? Kenapa nelepon Ayah? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya sang ayah. "Intan bingung Yah, semuanya sih baik-baik saja," jawab Intan. "Bingung kenapa? Ceritakan pada Ayah!" "Tadi kan Intan menghadap pak Presdir. Katanya besok, Intan harus ikut pergi ke Lombok karena ada jadwal di sana. Ini kan hari pertama Intan bekerja, masa iya s
Perjalanan yang ditempuh harusnya hanya delapan jam, kini harus di luar dari perkiraan, karena ada kesalahan. Intan dan Lingga akhirnya tiba di hotel yang mereka tuju menjelang tengah malam. Hotel mulai terlihat sepi, hanya ada satu atau dua orang saja yang berjalan melewati meja resepsionis. Lingga menarik tangan Intan menuju meja resepsionis untu memesan kamar. "Permisi Mbak! Saya mau pesan dua kamar," ujar Lingga. "Maaf sekali Pak, kamar yang tersisa hanya sisa satu," sahut resepsionis itu, menangkupkan kedua tangannya di dada. "Hanya ada satu kamar? Apa tidak ada kamar lain lagi?" tanya Lingga, tidak percaya. "Maaf Pak, tidak ada," jawab resepsionis itu lagi. "Hotel sebesar ini, masa iya tidak ada kamar lagi, Mbak?" Kali ini Intan yang bertanya, menurut Intan mustahil jika kamar hanya tersisa satu saja. "Maaf Mbak, memang hanya sisa satu. Dikarenakan banyak sekali kunjungan ke tempat wisata, dan ini adalah satu-sa
Seusai keluar dari kamar mandi, Intan duduk di atas tempat tidur dengan beberapa alat make up di depannya. "Aku tidak terbiasa memakai make up, terus, bagaimana cara memakainya? Kalau tidak pakai make up, nanti pasti terlihat pucat," Intan bermonolog sendiri, bingung. "Tidak usah memakainya kalau tidak bisa! Yang ada, kamu nanti akan terlihat seperti badut mampang yang ada di trotoar," ejek Lingga, yang baru saja keluar kamar mandi. Intan menoleh ke arah Lingga, tanpa sadar langsung menutup matanya. "Bapaak! Kenapa keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja?" jerit Intan. Lingga memperhatikan tubuhnya sendiri di kaca kamar itu. "Hei! Tidak perlu menjerit seperti itu! Memangnya apa salahnya? Saya ini pria, jadi ini hal wajar saja. Lain lagi kalau kamu yang seperti ini. Dasar aneh! Apa kamu tidak pernah melihat badan pria lain sebelumnya?" "Cepat masuk ke kamar mandi lagi! Gunakan pakaian Bapak dulu, baru keluar. Bisa-bisa ternoda mata suci saya ini. Y
Intan yang tadinya merasa lapar, kini tidak berselera lagi untuk kembali ke restauran tempat Lingga berada. Intan memutuskan kembali ke kamarnya. "Baru satu hari di sini, berarti masih ada sisa enam atau tujuh hari lagi. Apa aku bisa bertahan selama itu, apalagi satu kamar dengan bos gila seperti dia," gumam Intan, duduk membelakangi pintu kamar. "Siapa yang kamu sebut bos gila? Kamu mengatai saya di belakang?" tanya Lingga, entah dari mana dan kapan munculnya. Mendengar suara Lingga, sontak Intan berbalik. "Bapak? Ka-kapan Bapak kembali?" tanya Intan, menepuk keningnya sendiri. "Kapan saya kembali, itu tidak penting. Ternyata kamu memang suka membuat masalah, ya? Masalah yang sebelumnya saja, sudah membuat kamu mau dipecat, sekarang membuat masalah baru. Apa kamu mau dipecat sekarang?" tanya Lingga, perlahan mendekati Intan. Intan memundurkan posisi duduknya. "Berhenti Pak! Bapak mau a-apa?" Wajah Intan sudah ketakutan. "Saya mau apa? Itu terser
Lingga bergegas keluar dari kamar, pintu yang tadinya terbuka, kini terlihat kosong. "Tidak ada orang? Lalu, siapa yang membuka pintu tadi?" Lingga nampak mengerutkan keningnya. "Apa ini ulah gadis itu? Tapi, gadis itu tidak terlihat di mana pun," lanjut Lingga, terus bermonolog sendiri. Lama Lingga berdiri di depan pintu kamar. Intan yang merasa kondisi sudah mulai aman, melangkah santai menghampiri Lingga. "Sedang apa Pak?" tanya Intan, bersikap biasa saja. Lingga menatap tajam Intan, matanya terus menelisik gadis yang kini berdiri di depannya. "Dari mana saja kamu? Apa tadi kamu sempat kembali?" "Dari makan Pak. Kembali ke mana maksud Bapak?" tanya Intan, pura-pura tidak mengerti. "Tidak ada apa! Lupakan saja! Sekarang bersiap, kita akan ke perusahaan Giant Super!" Lingga memilih masuk ke kamar lebih dulu. 'Sepertinya gadis itu tidak tau apa-apa. Mungkin benar bukan dia pelakunya.' batin Lingga. Intan tersenyum penuh kemenangan. Sandi
Intan menelan air liurnya kasar. 'Aduh, kenapa ayah bisa ada di sini? Bisa gawat ini. Semoga ayah tidak menyapa aku,' batin Intan. Meeting yang dilaksanakan oleh para petinggi perusahaan akhirnya usai juga. Disaat Lingga sedang sibuk berbincang dengan para relasi bisnisnya, Intan milih untuk mendekati sang ayah. "Yah, kenapa Ayah bisa ada di tempat ini juga? Kemarin, waktu Intan bilang akan pergi, Ayah tidak mengatakan apa-apa," tanya Intan. "Ayah sengaja, Ayah mau melihat langsung kinerja kamu bagaimana? Apa sudah pantas, jika nanti harus menggantikan Ayah. Bagaimana kabar bos kamu? Apa dia memarahi kamu selama di sini?" tanya sang ayah. Intan melirik Lingga yang berada jauh, lalu kembali lagi menatap sang ayah. "Pak Lingga baik kok, Yah. Dia tidak memarahiku. Yah, nanti jangan bilang siapa-siapa, ya!" pinta Intan. "Bilang apa?" Ayah Intan mengerutkan keningnya bingung. "Itu Yah, jangan bilang kalau aku ini putri Ayah!" bisik Intan. "Iya, ga
Lingga berjalan ke sana ke sini mencari keberadaan sekretaris magangnya--Intan. Lama mencari, akhirnya Intan ditemukan juga. Intan masih berdiri mematung di tempatnya. Walaupun sang ayah sudah lama pergi, tetap saja penyesalan itu membuat Intan tidak bisa beranjak dari tempatnya. "Kamu di sini? Dari tadi saya cari ke mana-mana, ternyata santai di sini!" omel Lingga, memegang pundak Intan. Intan tersadar, kemudian menormalkan ekspresi wajahnya. "Ada apa Pak?" tanya Intan, berbalik ke arah Lingga. "Ada apa kamu tanya? Dari tadi saya bicara panjang lebar, kamu cuma tanya itu? Keterlaluan sekali kamu," Wajah Lingga memerah menahan emosi. "Apa meetingnya sudah mau dimulai Pak?" tanya Intan, mengalihkan pembicaraan. Tangan Lingga terkepal menahan emosi. "Tidak jadi meeting, saya mau kembali ke hotel saja. Kamu berdiri di sini saja, tidak usah ikut!" geram Lingga, melenggang pergi meninggalkan Intan yang menatapnya bingung. "Bos mesum itu kenapa? Marah?"
Intan yang baru satu hari berada di kota itu, ternyata tidak tau menahu tentang rute dari angkutan umum yang dirinya tumpangi. Lama berada di dalam angkutan umum, Intan baru sadar saat dirinya hanya tertinggal sendiri di dalamnya. Angkot yang ditumpanginya ternyata tidak melewati jalan menuju hotel. "Mang, berhenti Mang!" Intan mulai panik sendiri. "Ada apa Neng?" Supir angkot itu berbalik. "Ini ke arah mana ya, Mang? Saya mau ke hotel pelangi," ujar Intan. "Waduh Neng, ini bukan angkot jurusan hotel pelangi. Neng salah naik angkot," sahut supir itu, menepikan angkot. Jantung Intan berdegup kencang. Perjalanannya sudah jauh, tapi ternyata salah naik angkot. "Terus saya gimana, Mang? Apa Mamang tidak bisa putar balik? Saya bayar lebih deh Mang," tawar Intan, ketakutan. "Adug, gimana ya, Neng? Ini memang sudah rute saya., jurusan angkot yang saya bawa. Sekalian jalan pulang juga Neng. Jadi maaf, saya tidak bisa Neng," tolak supir itu dengan sopannya