Share

Tidur berpelukan

Perjalanan yang ditempuh harusnya hanya delapan jam, kini harus di luar dari perkiraan, karena ada kesalahan. Intan dan Lingga akhirnya tiba di hotel yang mereka tuju menjelang tengah malam. Hotel mulai terlihat sepi, hanya ada satu atau dua orang saja yang berjalan melewati meja resepsionis. Lingga menarik tangan Intan menuju meja resepsionis untu memesan kamar.

"Permisi Mbak! Saya mau pesan dua kamar," ujar Lingga.

"Maaf sekali Pak, kamar yang tersisa hanya sisa satu," sahut resepsionis itu, menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Hanya ada satu kamar? Apa tidak ada kamar lain lagi?" tanya Lingga, tidak percaya.

"Maaf Pak, tidak ada," jawab resepsionis itu lagi.

"Hotel sebesar ini, masa iya tidak ada kamar lagi, Mbak?" Kali ini Intan yang bertanya, menurut Intan mustahil jika kamar hanya tersisa satu saja.

"Maaf Mbak, memang hanya sisa satu. Dikarenakan banyak sekali kunjungan ke tempat wisata, dan ini adalah satu-satunya hotel di tempat ini, makanya kamar-kamar banyak yang mengisi," jelas resepsionis itu.

Lingga menoleh ke arah Intan, lalu menariknya sedikit menjauh.

"Bagaimana? Apa kamar itu diambil saja?" tanya Lingga.

"Ya, mana mau bagaimana lagi? Kata mbak itu, di sini hanya hotel ini yang ada. Kalau tidak diambil, kita mau tidur di mana, Pak? Ini juga sudah tengah malam, mencari tempat lain juga percuma," sahut Intan, sudah mulai pasrah.

"Kamu benar juga. Yasudah, saya ambil kamar itu. Tapi, awas saja kalau kamu macam-macam nanti, saya masih perjaka!" Lingga memperingati Intan, sebelum kembali ke meja resepsionis.

"Saya ambil satu kamar itu Mbak," ucap Lingga.

***

Di dalam kamar yang ukurannya sedang dengan satu ranjang muat dua orang, kini Lingga dan Intan berdiri. Keduanya nampak termangu menatap ruangan itu. Tidak ada sofa ataupun barang lain yang bisa membuat mereka tidur terpisah.

"Hanya ada satu ranjang di kamar ini. Karena saya atasan kamu, jadi saya yang akan tidur di ranjang ini sendirian. Kamu tidur di lantai!" perintah Lingga.

Wajah Intan memerah, emosinya kali ini benar-benar di ujung tanduk. Badannya sudah letih sekali karena perjalanan panjang, niat hati ingin beristirahat dengan nyaman, malah dirinya haru tidur di lantai.

"Saya tidak mau! Bapak saja yang di lantai, saya kan wanita. Masa iya saya yang tidur di bawah. Kenapa Bapak yang laki-laki tidak mau mengalah?" tolak Intan.

"Maaf, saya tidak berminat mengalah," ucap Lingga, melangkah menuju tempat tidur.

Intan yang tidak mau tidur di lantai. Berlari lebih dulu ke arah tempat tidur. "Dari pada kita berdua ribut masalah tidur. Kita tidur berdua saja di sini, dengan guling ini sebagai pembatasnya. Jadi sama-sama adil," saran Intan, meletakkan gulung di tengah ranjang.

"Kenapa kamu yang mengaturnya? Yang bos di sini, saya atau kamu?" Lingga kesal dengan tingkah Intan.

"Sudahlah Pak, jangan terlalu banyak protes! Ini darurat, dari pada besok saya sakit karena semalaman tidur di lantai. Saya sudah membagi area masing-masing. Jadi, saya harap Bapak jangan macam-macam! Saya masih perawan soalnya," ujar Intan, membalas kata-kata Lingga saat di meja resepsionis tadi.

"Kamu!" Kata-kata Lingga terhenti, saat Intan dengan cepat menutup mulut Lingga.

"Jangan terlalu mengomel Pak, saya gerah, mau mandi dulu!" sela Intan, kemudian beranjak dari tempat tidur.

Lingga masih terdiam, tangan Intan yang menurutnya memiliki harum yang khas, membuat hasratnya tiba-tiba saja menggelora.

'Ah sial, kenapa aku jadi begini? Sadar Lingga, dia itu hanya gadis kecil. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Asal usulnya juga masih belum jelas,' batin Lingga, membuang pikiran kotornya.

Setelah Intan selesai mandi, Lingga langsung membuang muka saat melihat Intan yang terlihat lebih segar dengan memakai piyamanya. Wangi sabun mandi dan shampo, menyeruak memenuhi rongga pernafasan Lingga. Tidak mau berbuat yang aneh-aneh, Lingga dengan cepat berlari menuju kamar mandi membawa peralatan mandinya.

Intan tidak terlalu memperdulikan tingkah aneh bosnya itu. Badannya terlalu letih, matanya juga sudah mulai mengantuk. Intan berjalan menuju tempat tidurnya. Tanpa menunggu Lingga menyelesaikan ritual mandinya. Intan memilih untuk tidur lebih dulu.

***

Pagi hari, saat keduanya terbangun, Intan tiba-tiba saja berteriak keras. Hal itu membuat Lingga yang masih tidur langsung terbangun karena teriakan keras Intan. "Kamu kenapa sih? Dasar aneh! Kenapa berteriak seperti itu?" geram Lingga, masih belum menyadari sesuatu.

"Seharusnya saya yang marah. Apa yang sudah Bapak lakukan? Kenapa Bapak memeluk saya seperti ini?" tanya Intan, langsung mendorong Lingga sampai terjatuh dari tempat tidur.

"Aw, sakit!" rintih Lingga, bangkit dari tempatnya terjatuh. "Kenapa kamu mendorong saya? Berani sekali kamu!" sentak Lingga tidak terima.

"Salah Bapak sendiri, bukannya tadi malam saya sudah bilang. Jangan sampai melewati batas guling ini! Kenapa Bapak malah melanggarnya? Bapak juga memeluk saya tadi. Bisa saja Bapak melakukan hal yang lain saat saya tidur tadi," tuduh Intan.

"Enak saja kalau bicara. Memangnya kamu pikir, kamu itu siapa? Hanya sekretaris cadangan saja! Kamu juga bukan tipe saya, jadi tidak mungkin saya tertarik dengan wanita seperti kamu," sanggah Lingga. "Coba lihat guling itu! Jatuhnya di mana? Sedangkan saya tidurnya di mana?" lanjut Lingga bertanya, menunjuk ke arah guling yang jatuh di samping tempat tidur Intan.

Mata Intan membulat melihat guling itu tergeletak begitu saja di lantai tepat di samping dirinya tidur. "Mungkin itu hanya kebetulan saja, atau itu hanya akal-akalan Bapak saja. Supaya, seolah-olah saya yang menyingkirkannya," sanggah Intan, tetap menyalahkan Lingga, walaupun dirinya sendiri tidak yakin jika pria di hadapannya berniat jahat.

"Kalau tidak percaya, kita cek cctv saja! Biar jelas semuanya!" ujar Lingga, mencoba mencari bukti.

"Tidak perlu. Semua ini sudah jelas salah Bapak! Saya peringatkan sekali lagi, jangan pernah menyentuh saya lagi! Bisa-bisa keperawanan saya hilang, karena di sentuh Bapak," sahut Intan, bergegas berlari ke kamar mandi.

"Hei, keperawanan itu tidak mungkin hilang kalau hanya bersentuhan," teriak Lingga, tidak terima jika dirinya disalahkan.

Intan membuka pintu kamar mandi, lalu mengeluarkan kepalanya. "Bisa saja hilang, kalau terlalu lama bersentuhan, bisa-bisa yang lainnya juga bersentuhan, dan akhirnya terjadi pembuahan," sahut Intan, lalu menutup pintu kamar mandi lagi.

Lingga mengacak-acak rambutnya kasar. Baru kali ini dirinya bertemu wanita seperti Intan. Hanya seorang sekretaris magang, sudah berani menuduh, bahkan mendorongnya sampai terjatuh ke lantai.

'Gadis ini benar-benar lain dari yang lain. Kenapa aku jadi penasaran dengan dia? Sepertinya aku harus mencari informasi tentang gadis ini. Dari sikap dan caranya bicara, sepertinya dia dari keluarga terpandang. Para wanita tidak ada yang berani menolakku, sedangkan dia secara terang-terangan melakukan ini." batin Lingga, menatap lekat pintu kamar mandi yang sudah terkunci rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status