Share

Bos mesum

Seusai keluar dari kamar mandi, Intan duduk di atas tempat tidur dengan beberapa alat make up di depannya. "Aku tidak terbiasa memakai make up, terus, bagaimana cara memakainya? Kalau tidak pakai make up, nanti pasti terlihat pucat," Intan bermonolog sendiri, bingung.

"Tidak usah memakainya kalau tidak bisa! Yang ada, kamu nanti akan terlihat seperti badut mampang yang ada di trotoar," ejek Lingga, yang baru saja keluar kamar mandi.

Intan menoleh ke arah Lingga, tanpa sadar langsung menutup matanya. "Bapaak! Kenapa keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja?" jerit Intan.

Lingga memperhatikan tubuhnya sendiri di kaca kamar itu. "Hei! Tidak perlu menjerit seperti itu! Memangnya apa salahnya? Saya ini pria, jadi ini hal wajar saja. Lain lagi kalau kamu yang seperti ini. Dasar aneh! Apa kamu tidak pernah melihat badan pria lain sebelumnya?"

"Cepat masuk ke kamar mandi lagi! Gunakan pakaian Bapak dulu, baru keluar. Bisa-bisa ternoda mata suci saya ini. Ya Allah, ampuni hamba, ya Allah," ujar Intan, membuat Lingga mengerutkan keningnya mendengar ucapan Intan.

"Sudah, sudah! Jangan terlalu banyak drama! Ini saya juga mau pakai baju. Pakai baju di sini saja, tidak usah ke kamar mandi. Buka saja tutup mata kamu itu, tidak ada yang ternoda jika hanya melihat tubuh indahku ini,"

"Pakai saja dulu pakaian Bapak. Bapak yang harusnya jangan terlalu banyak bicara. Menyebalkan!"

Lingga sudah selesai memakai pakaiannya. Kemudian berjalan pelan mendekati Intan yang masih setia menutup matanya.

"Buka matamu! Jangan terlalu sok suci!" bisik Lingga, tepat di samping telinga kanan Intan.

Bulu-bulu kecil tangan dan tengkuk Intan seketika meremang merasakan desahan nafas Lingga yang begitu dekat. Seketika Intan membuka penutup matanya.

"Apa sih Pak? Kenapa berbisik di telinga saya?" Intan spontan memukul pipi Lingga.

Lingga menjauh seraya meringis memegang pipi kanannya. "Hei, berani sekali kamu menampar saya. Saya ini atasan kamu, jangan sembarangan kamu!" omel Lingga.

"Astaga! Maaf Pak, saya tidak sengaja," Intan menutup mulut, saat menyadari kesalahan yang baru saja dirinya buat.

"Maaf tidak diterima! Lihat saja nanti, kamu pasti akan saya pecat!" ancam Lingga, seraya melangkah menuju pintu kamar.

Intan mengutuk dirinya sendiri. Kesalahan fatal yang baru saja dirinya buat, sebentar lagi membawa dirinya dipecat dari pekerjaan yang baru beberapa hari dilakoninya.

"Pak, tunggu saya! Tolong jangan pecat saya!" Intan dengan cepat berlari mengejar Lingga yang sudah lebih dulu berjalan menuju restoran hotel.

Nafas Intan tersengal, langkah Lingga begitu cepat, sampai gadis itu terlihat kesusahan menyusulnya. "Pak! Tunggu dulu!"

Lingga menghentikan langkahnya dengan jarak lima meter dari Intan.

"Ada apa lagi?" tanya Lingga, membalikkan badannya.

"Tolong jangan pecat saya Pak, baru juga kerja masa sudah mau dipecat?"

Lingga menyeringai menatap Intan. " Boleh saja, tapi ada syaratnya,"

"Apa syaratnya?" tanya Intan, perasaannya mulai tidak enak melihat ekspresi wajah Lingga.

Lingga mendekat ke arah Intan. Spontan Intan memundurkan langkahnya. "Bapak mau apa? A-apa syaratnya?" tanya Intan, tergagap.

"Kamu harus memijat aku malam ini!" ujar Lingga, dengan entengnya.

"Hah? Memijat? Bapak? Aku tidak mau! Yang benar saja Pak, masa iya aku harus memijat Bapak? Kita ini bukan muhrim, jadi tidak boleh," tolak Intan cepat.

"Kalau begitu, terima saja nasib kamu!" Usai mengucapkan itu, Lingga melenggang pergi meninggalkan Intan yang masih berdiri mematung di tempatnya.

'Masa iya aku harus memijat dia? Ini tidak benar, sepertinya aku salah masuk perusahaan. Kalau begini ceritanya, bisa bahaya. Tapi, kalau aku sampai dipecat, berarti aku tidak ada kerjaan lagi? Terus, tinggal di rumah lagi, termenung memikirkan masalah pria brengsek itu dengan mantan sahabat yang brengsek? Ah... aku tidak mau,' gumam Intan, langsung berlari menyusul Lingga.

"Pak! Saya mau, saya terima syaratnya," teriak Intan, tanpa sadar dirinya malah jadi pusat perhatian tamu hotel yang lain.

Lingga yang baru saja mau duduk di tempat makan, langsung menghampiri Intan dan menyeretnya sedikit menjauh dari restoran. "Kamu kenapa teriak-teriak di tempat umum? Bikin malu saja!"

"Salah Bapak sendiri, siapa suruh meninggalkan saya. Saya mana sadar kalau di sana ada banyak orang," gerutu Intan.

"Kenapa malah menyalahkan saya? Hari ini banyak sekali kesalahan kamu. Pertama, kamu menuduh saya macam-macam saat bangun tidur. Kedua, kamu menampar pipi saya. Dan, yang ketiga, kamu malah menyalahkan saya. Sepertinya kamu memang benar-benar sudah siap dipecat," Lingga menatap Intan sinis.

"Bukan begitu maksudnya Pak. Aduh, kenapa salah lagi sih. Iya, saya minta maaf, saya salah. Saya mau menerima syarat Bapak. Saya bersedia memijat tubuh Bapak, tapi tolong jangan pecat saya," Intan terlihat memohon.

Lingga menempelkan jari telunjuknya di kening, seperti setengah berpikir. "Sayang sekali, syarat yang tadi sudah tidak berlaku. Kamu sudah menolaknya, jadi tidak ada tawaran ulang," ujar Lingga, membuat mata Intan melebar sempurna.

"Oh iya, satu lagi. Saya tidak meminta kamu memijat tubuh saya, tapi kepala saya. Tubuh saya terlalu berharga, jika harus disentuh tangan kotor sekretaris cadangan seperti kamu," bisik Lingga, kemudian benar-benar pergi meninggalkan Intan.

Wajah Intan memerah menahan kesal. Rasanya malu sekali mendengar kata-kata seperti itu. "Dasar bos mesum! Aku juga tidak sudi menyentuh tubuh kotormu itu! Dasar menyebalkan!" teriak Intan, sudah tidak memperdulikan lagi tatapan para tamu yang lain, yang menatap aneh ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status