Share

Diancam dipecat

Intan yang tadinya merasa lapar, kini tidak berselera lagi untuk kembali ke restauran tempat Lingga berada. Intan memutuskan kembali ke kamarnya.

"Baru satu hari di sini, berarti masih ada sisa enam atau tujuh hari lagi. Apa aku bisa bertahan selama itu, apalagi satu kamar dengan bos gila seperti dia," gumam Intan, duduk membelakangi pintu kamar.

"Siapa yang kamu sebut bos gila? Kamu mengatai saya di belakang?" tanya Lingga, entah dari mana dan kapan munculnya.

Mendengar suara Lingga, sontak Intan berbalik. "Bapak? Ka-kapan Bapak kembali?" tanya Intan, menepuk keningnya sendiri.

"Kapan saya kembali, itu tidak penting. Ternyata kamu memang suka membuat masalah, ya? Masalah yang sebelumnya saja, sudah membuat kamu mau dipecat, sekarang membuat masalah baru. Apa kamu mau dipecat sekarang?" tanya Lingga, perlahan mendekati Intan.

Intan memundurkan posisi duduknya. "Berhenti Pak! Bapak mau a-apa?" Wajah Intan sudah ketakutan.

"Saya mau apa? Itu terserah saya. Saya bos di sini, dan kamu bawahan. Kalau kamu tidak mau dipecat, kamu harus mau menuruti kemauan saya," bisik Lingga, sengaja menghembuskan nafasnya tepat di telinga Intan.

Untuk yang kesekian kalinya, Intan merasakan sesuatu yang lain. Bulu-bulu halus itu kembali berdiri. Entah perintah dari mana, bukannya menjauh dari Lingga, Intan malah memejamkan matanya pasrah.

Lingga menyeringai melihat tingkah Intan. "Buka matamu itu! Apa yang ada di dalam pikiran kotormu? Kamu pikir, aku mau mencium atau menyentuh kamu? Hahaha... Jangan pernah bermimpi setinggi itu!" ejek Lingga, beranjak dari tempatnya menuju sofa.

Intan mengerucutkan bibirnya kesal. Baru kali ini dirinya diejek habis-habisan oleh seorang pria. Terlebih lagi itu pria yang masih asing. Intan membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah Lingga.

'Dasar menyebalkan,' batin Intan, beranjak dari tempatnya.

"Mau ke mana kamu?" tanya Lingga.

"Mau makan," ketus Intan, tanpa mengatakan apa apa lagi langsung keluar.

Lingga terkekeh melihat tingkah Intan. Rasa penasarannya semakin besar terhadap Intan.

'Gadis yang unik. Sepertinya dia akan jadi mainan baruku di kantor nanti. Lumayan lah, dari pada suntuk karena banyak kerjaan, lebih baik aku mengganggu dia saja nanti,' gumam Lingga, dengan setianya memperhatikan pintu kamar.

Sedang asyik melamun tentang Intan, suara dering ponsel mengejutkan Lingga. Dikeluarkannya ponsel dari saku celananya.

"Agung?" gumam Lingga, dengan cepat menjawab panggilan sang asisten.

"Ada apa Gung?"

"Begini Ling, aku sudah mendapatkan sekretaris yang cocok. Mungkin sekretaris magang itu akan dipindahkan ke divisi lain setelah ini. Bagaimana menurut kamu?"

Ekspresi wajah Lingga berubah masam, mendengar informasi Agung. "Aku tidak bersedia, biarkan saja gadis itu menyelesaikan magangnya. Untuk sekretaris baru yang kamu rekomendasikan tadi, tolak saja!"

"Tapi Ling, ini tidak sesuai dengan prosedur perusahaan. Nona Intan itu hanya bertugas sementara, selama sekretaris yang baru datang. Sekarang tugasnya sudah selesai, dan harus digantikan sekretaris yang baru," bantah Agung.

"Kamu turuti saja, apa yang aku perintahkan! Di sini aku bosnya, aku pemilik perusahaan itu. Aturan, prosedur, atau apalah itu. Aku berhak mengubah atau membatalkannya," tegas Lingga.

"Kamu kenapa Ling? Kamu menyukai nona Intan? Kenapa kamu kekeh mempertahankannya? Apa kalian berdua?"

"Jaga mulut kamu itu Gung! Aku dan gadis itu tidak ada apa-apa. Jangan gunakan otak kotormu itu untuk berpikiran yang tidak-tidak!" gerutu Lingga.

"Ya, aku kan hanya menebak saja. Siapa tau saja, secara kalian berdua kan sedang dalam tugas dinas. Aku dengar, kamar tidur kalian juga bersebelahan," ledek Agung, semakin membuat Lingga kesal.

"Bersebelahan apa? Aku dan gadis itu tidur satu kamar," gumam Lingga tanpa sadar.

Agung membulatkan matanya, sesekali mengorek-ngorek telinganya. "Kalian tidur satu kamar? Jadi, maksudnya, kalian tidur satu ranjang berdua?" pekik Agung.

Lingga menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Kenapa kamu heboh sekali? Siapa bilang aku tidur satu kamar dengan gadis itu?" elak Lingga.

"Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang. Awas Ling, hati-hati! Jangan sampai kebablasan, bisa-bisa pulang dari tugas luar, anak gadis orang berbadan dua," ledek Agung.

"Memangnya kenapa kalau berbadan dua? Kamu iri? Atau, kamu juga mau?"

"Eh, aku tidak seperti itu, ya! Begini-begini, aku masih tau agama sedikit. Aku mau yang sah-sah saja, tidak seperti kamu. Sekretaris magang saja diembat juga,"

"Sialan kamu Gung! Mau aku pecat sekarang? Atau mau aku turunkan jabatan kamu jadi OB?" ancam Lingga, emosi.

"Eih, jangan dong! Aku kan hanya bercanda. Hidup ini jangan terlalu dibawa serius Ling! Harus banyak bercanda, anggap saja hiburan. Kalau terlalu serius dan marah-marah, nanti cepat tua. Dan, itu artinya cepat bau tanah," Setelah mengatakan itu, terdengar tawa keras Agung.

"Sudahlah! Lebih baik aku matikan saja. Bicara denganmu tidak ada gunanya. Jangan terlalu banyak tertawa! Kerjakan pekerjaan kamu! Kalau sampai aku pulang nanti ada banyak masalah di kantor, awas saja kamu!" omel Lingga. "Satu lagi, jangan terlalu tertawa sendiri! Nanti orang-orang menyangka kamu gila," lanjut Lingga, setelah mengatakan itu, dengan cepat memutus sambungan telepon.

Lingga melempar ponselnya ke atas kasur, lalu berbaring di sampingnya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lama sekali gadis itu makan. Apa dia tidak tau, kalau sebentar lagi aku harus meeting? Baru tugas luar pertama, sudah membuat aku susah saja. Tidak ada disiplinnya sama sekali,' gerutu Lingga, bergegas bangun.

Kaki jenjangnya melangkah menuju pintu kamar. Lingga berniat menyusul Intan ke restauran hotel. Namun, baru saja tangannya terangkat ingin membuka pintu. Intan yang tidak tau kalau Lingga ada di depannya, dengan keras mendorong pintu kamar.

Alhasil, kening Lingga tertabrak daun pintu itu. "Aduh! Siapa yang membuka pintu? Apa tidak punya mata? Kepalaku sakit!" umpat Lingga, mengusap keningnya yang memerah.

Mendengar suara Lingga, Intan bergegas menjauh dari pintu kamar, sebelum dirinya terkena masalah lagi. Belum beberapa jam berlalu, dirinya sudah terlalu banyak membuat kesalahan.

'Kali ini aku tidak boleh ketahuan. Kalau sampai bos mesum itu tau, aku yang membuka pintunya, bisa habis aku.' batin Intan, mempercepat langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status