Intan duduk termenung di kursinya. Kata-kata Agung membuatnya bingung. "Masa iya di kantor besar seperti ini ada kodok sih? Apa benar? Terus, dari mana Pak Agung tau, kalau tuh kodok berjenis betina?" "Aku seperti orang bodoh saja memikirkan ini. Apa jangan-jangan, pak Agung membohongi aku?" lanjut Intan bermonolog sendiri.Sibuk dengan pemikirannya. Telepon kantor di ruangannya berdering. Dengan tergesa-gesa Intan meraih gagang telepon di atas mejanya. "Hello selamat pagi, di sini Intan Sasmita, sekretaris dari perusahaan Lingga Mahendra," "Tidak perlu diberitahu! Cepat keruangan saya sekarang!" titah seorang pria, yang tidak lain adalah Lingga. Intan langsung meletakkan kembali gagang telepon ke tempat asalnya. "Huh, ternyata bos gila itu. Sudah bicara lembut, ternyata bukan orang penting yang menelepon," umpat Intan, dengan malas beranjak dari duduknya. Intan berjalan gontai menuju ruangan Lingga. Terlalu malas jika harus bertemu atasan yang selalu s
Agung masuk tanpa persetujuan Lingga. Asisten pribadi Lingga itu langsung menghampiri keduanya yang sudah tertangkap basah ingin berciuman. "Gila, ini kantor Bos," ledek Agung. Intan langsung mendorong Lingga menjauh. Wajahnya memerah menahan malu. Tanpa mengatakan atau membela diri, Intan bergegas keluar dari ruangan Lingga. "Kenapa kamu masuk tidak ketuk pintu dulu?" Lingga menatap tajam Agung yang terlihat santai "Aku sudah mengetuknya, kamu saja yang tidak dengar. Saking fokusnya ingin berciuman, kamu sampai tidak tau," sindir Agung, menyerahkan satu map berwarna coklat kepada Lingga. "Ini jadwal kamu besok sampai satu minggu ke depan, aku hanya mau menyerahkan ini saja," lanjut Agung, tersenyum mengejek. Lingga tidak menerima map itu, hanya matanya yang melirik sinis. "Kamu hanya memberikan ini saja? Cepat keluar sana! Lain kali, kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" usir Lingga, mendorong tubuh Agung, menuju pintu. Agung terkekeh mendapa
"Hem, Panji pasti terkejut melihat kedatanganku. Sudah tidak sabar rasanya untuk bertemu," Intan Sasmita gadis 23 tahun bermonolog sendiri, sambil melangkahkan kaki melewati beberapa orang yang ada di bandara. Tujuan Intan kali ini bukan rumah melainkan kantor Panji—sang kekasih—. Hari kepulangannya memang dua hari lagi. Namun, dia percepat kepulangan mengingat hari ini bertepatan dengan anniversary 3 tahun berpacaran. Sesampainya Intan di kantor Panji, beberapa karyawan yang memang sudah mengenal Intan, merasa terkejut. Seperti ada ketakutan tersirat dari tatapan mereka. 'Ada apa dengan mereka? Kenapa melihatku seperti itu? Memangnya aku ini hantu?' gumam Intan, mengernyitkan kening heran seraya melanjutkan langkah. Di depan pintu ruangan Panji kini Intan berdiri. Salah satu ruangan yang Intan rindukan, selama ini dirinya menuntut ilmu di negeri paman Syam. Tangannya cepat membuka pintu, tidak sabar memberi kejutan untuk sang kekasih. "Sayang, surpr
Intan duduk termenung di dalam kamarnya. Pada dasarnya, Intan bukanlah seorang gadis yang lemah, apalagi jika itu hanya urusan percintaan. Hanya saja, kekecewaan yang mendalam atas dasar nama 'persahabatan' membuat Intan merasa dibohongi mentah-mentah. Kalau untuk Panji sendiri, benar yang dikatakan sang ayah. Batu kerikil memang harus dibuang, karena akan menyulitkan dalam langkah ke depan. "Sepertinya aku harus bekerja untuk melupakan kejadian kemarin. Berlarut-larut seperti ini juga tidak akan mengubah apapun. Toh, kuliahku juga hanya menunggu wisuda saja." batin Intan, memikirkan sesuatu. Keputusannya sudah bulat, Intan bergegas keluar dari kamarnya mencari keberadaan sang ayah. Ayah Intan merupakan salah satu pemilik perusahaan besar yang terkenal di bidangnya. Sifat keras kepala dan pantang menyerah, Intan turuni dari sifat sang ayah. "Yah, Intan mau bicara," ucap Intan, duduk di samping sang ayah. "Bicara apa, Tan? Sepertinya serius?" tanya ayah Intan, menghentikan keg
Intan berjalan melewati beberapa karyawan yang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Setibanya Intan di ruang asisten bernama pak Agung. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, tangannya terkepal dan terangkat mengetuk pintu ruangan. "Masuk!" Suara bariton terdengar dari dalam ruangan, memerintahkan Indah. Perlahan pintu ruangan terbuka. Intan yang mengira asisten presdir itu tua, hanya bisa melongo tak percaya. Tua? Bahkan wajahnya jauh dari kata itu. Seorang pria tampan dan penuh wibawa menatap Intan dengan tatapan datar. Intan sempat tertegun menatap sang asisten, sampai suara bariton itu mempersilahkan Intan duduk. "Silahkan Nona Intan!" Intan terkesiap malu. Wajahnya sedikit memerah, lalu duduk di kursi tepat di depan sang asisten. "Saya akan menjelaskan tugas dan jabatan nona Intan. Berhubung sekretaris pak Presdir baru saja memundurkan diri. Pak Presdir tidak memiliki sekretaris sekarang ini. Saya akan menempatkan
Intan kembali ke ruang kerjanya. Baru hari pertama bekerja, Intan sudah mengalami kesulitan. Memang benar dengan dirinya bekerja, Intan mulai melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Namun, masalah lain justru datang dari atasannya sendiri. 'Apa aku harus ikut ke Lombok? Aku kan baru bekerja, belum terlalu kenal dan tau bagaimana presdir di perusahaan ini. Kalau ternyata dia presdir mesum, bagaimana?' batin Intan, bergidik ngeri membayangkan hal itu. Dirasa ragu dan takut, akhirnya Intan menghubungi sang ayah. Cukup lama panggilan Intan masuk, akhirnya tersambung juga. "Ada apa Ntan? Kenapa nelepon Ayah? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya sang ayah. "Intan bingung Yah, semuanya sih baik-baik saja," jawab Intan. "Bingung kenapa? Ceritakan pada Ayah!" "Tadi kan Intan menghadap pak Presdir. Katanya besok, Intan harus ikut pergi ke Lombok karena ada jadwal di sana. Ini kan hari pertama Intan bekerja, masa iya s
Perjalanan yang ditempuh harusnya hanya delapan jam, kini harus di luar dari perkiraan, karena ada kesalahan. Intan dan Lingga akhirnya tiba di hotel yang mereka tuju menjelang tengah malam. Hotel mulai terlihat sepi, hanya ada satu atau dua orang saja yang berjalan melewati meja resepsionis. Lingga menarik tangan Intan menuju meja resepsionis untu memesan kamar. "Permisi Mbak! Saya mau pesan dua kamar," ujar Lingga. "Maaf sekali Pak, kamar yang tersisa hanya sisa satu," sahut resepsionis itu, menangkupkan kedua tangannya di dada. "Hanya ada satu kamar? Apa tidak ada kamar lain lagi?" tanya Lingga, tidak percaya. "Maaf Pak, tidak ada," jawab resepsionis itu lagi. "Hotel sebesar ini, masa iya tidak ada kamar lagi, Mbak?" Kali ini Intan yang bertanya, menurut Intan mustahil jika kamar hanya tersisa satu saja. "Maaf Mbak, memang hanya sisa satu. Dikarenakan banyak sekali kunjungan ke tempat wisata, dan ini adalah satu-sa
Seusai keluar dari kamar mandi, Intan duduk di atas tempat tidur dengan beberapa alat make up di depannya. "Aku tidak terbiasa memakai make up, terus, bagaimana cara memakainya? Kalau tidak pakai make up, nanti pasti terlihat pucat," Intan bermonolog sendiri, bingung. "Tidak usah memakainya kalau tidak bisa! Yang ada, kamu nanti akan terlihat seperti badut mampang yang ada di trotoar," ejek Lingga, yang baru saja keluar kamar mandi. Intan menoleh ke arah Lingga, tanpa sadar langsung menutup matanya. "Bapaak! Kenapa keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk saja?" jerit Intan. Lingga memperhatikan tubuhnya sendiri di kaca kamar itu. "Hei! Tidak perlu menjerit seperti itu! Memangnya apa salahnya? Saya ini pria, jadi ini hal wajar saja. Lain lagi kalau kamu yang seperti ini. Dasar aneh! Apa kamu tidak pernah melihat badan pria lain sebelumnya?" "Cepat masuk ke kamar mandi lagi! Gunakan pakaian Bapak dulu, baru keluar. Bisa-bisa ternoda mata suci saya ini. Y