Share

Bab 8

"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif.

Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu.

Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri.

Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua.

Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada.

Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungkan.

Semua sudah berkumpul. Calon istri Mas Alif itu ternyata juga sudah hadir. Memang perempuan itu terlihat cantik dan seksi dengan lekuk tubuhnya yang menonjol. Mungkin karena kebaya putih yang di kenakannya agak sempit. Tentu saja, Si Mela itu pasti belum mempersiapkan kebaya baru. Karena pernikahan ini sangat menedadak.

Mas Alif nampak sumringah, Mela pun terlihat selalu mengembangkan senyum. Mereka sama sekali tidak terlihat sebagai korban penggerebekan. Justru tampak sangat bahagia menghadapi pernikahan dadakan ini.

Salah satu tamu yang tadi datang ternyata seorang penghulu. Pria paruh baya memakai peci hitam itu membuka pembicaraan untuk memulai berlangsungnya ijab kabul.

"Maaf Pak Penghulu, saudara Alif ini sebenarnya sudah punya istri. Apa tidak sebaiknya  meminta izin dulu pada istrinya ini ?" Tiba-tiba Pak RT menyanggah pembicaraan Pak penghulu  seraya menunjukku.

Sontak semua yang berada di ruangan itu menoleh padaku. Terlihat jelas raut kesal pada  wajah ibu dan Mas Alif.

"A-apa? Istri?" Mela langsung berdiri dan menatap tajam padaku.

Sepasang suami istri yang ternyata kedua orang tua Mela itu juga berdiri.

"Bukankah dia itu pembantumu, Lif?" tanya Mela tak terima seraya menunjukku.

Mas Alif menarik napas panjang.

"Maafkan Aku, Mela. Memang benar dia Istriku," lirih suamiku itu sambil tertunduk di depan Mela.

"Pokoknya kamu harus tetap menikahi anak kami, Lif. Kamu harus bertanggung jawab!" Bapak Mela ikut berbicara dengan suara bergetar. Sementara disampingnya sang ibu telah berlinang air mata. Tak tega melihat kedua orang tua itu. Mereka pasti sangat kecewa dengan perbuatan Mas Alif dan anaknya itu.

"Bagaimana Mbak Shinta? Apakah pernikahan ini bisa di laksanakan? " tanya Pak RT kemudian.

Mas Alif dan Ibu terus melotot padaku. Sedangkan perempuana itu masih terlihat kesal dengan wajah cemberut. Berbeda dengan kedua orang tua Mela yang masih terisak, memandangku dengan tatapan memohon.

Sepertinya aku sudah tak sudi menjadi istri Mas Alif lagi. Aku harus mencari pekerjaan dan segera pergi dari sini. Sudah saatnya aku mengakhiri semua penderitaan ini.

"Bagaimana Nak Shinta? Kami mohon Nak Shinta mau merestui pernikahan anak kami!" Dengan tergugu, Ibu Mela memohon padaku.

Aku masih terdiam. Kemudian menarik napas panjang. Semoga keputusanku ini adalah benar.

"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang.

Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi.

Komen (37)
goodnovel comment avatar
Ma E
bagus Shinta kamu perempuan yg cerdas
goodnovel comment avatar
Lina Herlina
betul. mentok di bayar
goodnovel comment avatar
Tia Sujiono
penasaran lanjutan nya,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status