"Rein ...!" Raka terlonjak melihat kehadiran Rein di dekatnya. Pria bertubuh tinggi besar itu menghampiri Shinta dengan antusias. Sementara itu, Raka melihat istrinya menyambut Rein dengan senyum mengembang. "Ada hububungan mereka?" geramnya dalam hati. "Rein, bisa bicara sebentar?" Rein dan Shinta menatap heran pada Raka. Dengan memberi kode menggunakan tangannya Raka mengajak Rein sedikit menjauh dari Shinta. "Apa lagi yang ingin Kamu bicarakan?" tanya Rein malas. "Kamu pasti sengaja mendekati Shinta lewat proyek ini. Ingat! Dia itu istriku!' Rein terkekeh melihat kepanikan di wajah Raka. "Tenang saja. Aku bukan bajingan sepertimu!" bisik Rein tepat di telinga Raka, kemudian kembali melangkah tenang menghampiri Shinta. Wajah Raka merah padam. Kedua tangannya mengepal ketat. Berusaha keras untuk memahan emosi yang kian memuncak. Namun saat ini ia tak mungkin meluapkan kemarahannya pada Rein, pria yang terang-terangan mencintai istrinya. Namun Rein juga yang telah mengetahui
"Hai, Sayang!" Jantung Raka seakan hendak melompat melihat siapa yang datang ke kantornya. Ternyata bukan Tedi yang datang. Melainkan seseorang yang sama sekali tidak diharapkan. "Aina ...!" Mata Raka melotot melihat istri simpanannya berada di kantornya saat ini. "Sungguh nekad sekali kamu Aina!" "Kenapa? Kamu keberatan Aku datang ke sini? Salah sendiri. Kenapa mengabaikanku?" Tiba-tiba dua orang security tergopoh-gopoh masuk ke ruangan Raka. "Pak Raka, Pak Raka! Maaf Pak, Saya tadi sudah mencegahnya untuk masuk. Tapi dia memaksa untuk ..." "Sudah, sudah! Biarkan dia di sini. Silakan kalian kembali ke pos!" sanggah Raka seraya mengibaskan tangannya pada dua security itu.. Aina tersenyum sinis, merasa menang dari para security yang mengusirnya tadi. .Kedua security itu diam menatap heran pada Raka. Semua security di sana tau bahwa Aina pernah membuat kekacauan di kantor ini. Mencoba untuk bunuh diri dan mengancam Shinta. Kejadian itu masih segar di ingatan mereka. Namun kena
"M-maaf, Pak! Mulai sekarang setiap pengeluaran uang perusahaan, harus persetujuan Ibu Shinta." Tedi tertunduk tak berani memandang wajah Raka yang memerah. Raka panik. Jika dia tak segera mengiirm uang pada Aina, wanita itu pasti akan berbuat nekad lagi. Bisa-bisa lebih nekad dari pada tadi. "Kamu kan tau Shinta sedang ada di luar kota?" "Iyy-iyaa, Pak." Kali ini terpaksa Raka sedikit keras pada Tedi. Padahal selama ini Raka terkenal sebagai atasan yang jarang sekali membentak, apalagi marah-marah. "Selama Shinta tidak ada di kantor, Aku yang pegang kendali!' tegasnya lagi. Namun Tedi bergeming. Dia masih berdiri mematung di hadapan Raka. Ucapan Shinta waktu itu masih segar diingatannya. "Stop aliran dana perusahaan ke rekening suamiku. Katakan padanya, setiap pengeluaran uang harus melalui persetujuanku." Pernyataan Shinta saat itu cukup tegas. Tedi tidak berani membantah. Dia tau kedudukan Shinta di perusahaan ini. Akan fatal akibatnya jika dia berani membantah pemilik tun
"Sini, biar Aku yang bawa barang-barangmu." Rein mengambil alih koper dari tangan Shinta, lalu menaikkannya ke atas trolli. Pesawat yang membawa Rein dan Shinta telah mendarat setengah jam yang lalu. Kini mereka sedang berjalan menuju lobby penjemputan. Selama di kota padang Shinta telah mempersiapkan salah satu karyawan kantor cabang Sumatera untuk antar dan jemput selama dia dan Rein berada di sana. Dalam hatinya Rein tak henti-hentinya memuji keanggunan Shinta. Dia sangat bersyukur, dengan adanya perjalanan bisnis ini, ia bisa lebih dekat dengan wanita pujaan hatinya. Dalam hatinya Rein bertekad akan selalu menjaga dan membuat Shinta bahagia, walaupun saat ini Ia tak bisa memilikinya. "Selamat siang Bu Shinta. Kita langsung ke Hotel atau ...." "Ke Hotel dulu. Setelah makan siang, baru kita menuju ke lokasi," sahut Shinta pada Arman, salah satu manager di kantor cabang Palembang. Arman sengaja datang ke kota Padang untuk membantu Shinta mengawasi proyek wisata dan penginapan ya
"Apa kamu dan Maira sedang ada masalah?" Pratama memandang Raka dengan tatapan menyelidik. Raka yang sejak tadi gemetar, merasa tidak tenang saat duduk di salah satu kursi di ruang kerja Shinta yang cukup luas. Ruangan yang dirancang istrinya itu berfungsi tidak hanya sebagai ruang kerja, tapi sekaligus ruang keluarga. Maksudnya, Shinta bisa memantau perusahaannya dari rumah sambil mengawasi Kaisar bermain di dekatnya. Namun kenyataannya selama ini dia hanya mempercayakan pengelolaan perusahaan seratus persen pada suaminya. Raka merasa sangat bersalah, karena tidak bisa menjaga kepercayaan Shinta. Kini dia pun takut Ayah mertuanya mengetahui kesalahan yang dia lakukan. "Raka, jawab pertanyaan Ayah!" "K-kenapa Ayah berpikir seperti itu?" Raka balik bertanya dengan jantung berdebar. Dirinya sejak dulu memang sudah dekat dengan Pratama. Jauh sebelum dia menemukan Shinta kembali. Namun tatapan Pratama yang begitu tajam tetap saja membuatnya gentar. "Kenapa kamu membiarkan Maira
"Kamu kenapa? Sakit?" Rein memandang Shinta penuh rasa khawatir. Sejak makan siang tadi, Shinta banyak murung dan tak banyak bicara "Shinta ..." "Eh, iy-iyaa, kenapa?" sahut Shinta gugup "Kamu sakit?" tatapan Rein semakin lekat, membuat Shinta gelagapan dan merasa salah tingkah. "Ah, tidak. Kata siapa?" tanyanya kembali. "Sejak tadi kamu hanya diam. Wajah kamu murung. Tidak biasanya kamu seperti ini. Apa ada masalah?" Shinta melangkah ke arah rerumputan hijau yang nampak sangat indah. Saat ini mereka sedang meninjau lokasi proyek di salah satu daerah wisata di sumatera barat. Rein mengikuti langkah Shinta menuju sungai kecil tak jauh dari tempat mereka berdiri. Hari sudah sore. Mereka baru saja selesai diskusi dengan beberapa perwakilan dari warga sekitar lokasi dan kontraktor yang akan bekerja sama. Rein menghampiri Shinta yang berdiri membelakanginya. Bahu wanita itu sedikit berguncang. "Kamu menangis lagi, Shinta," gumam Rein nyaris tak terdengar. Perlahan Rein melangka
Rein membuka matanya dan langsung tertuju pada Shinta yang masih terbaring. Jam pada pergelangan tangannya nenunjukkan pukul enam pagi. Perlahan dia bangkit mendekati ranjang. Punggung tangannya yang kokoh ditempelkan pada dahi wanita yang masih memakai hijabnya itu. "Demam ....," gumamnya. Shinta mengerjapkan matanya merasakan sesuatu yang hangat menempel di keningnya. "Rein, tolong antar aku ke kamarku!" lirih Shinta dengan suara yang mulai serak. "Baiklah. Ayo!" Rein membungkuk hendak menggendong Shinta. "Ja-jangan, Aku bisa berjalan!" Shinta menahan kedua tangan Rein yang hendak mengangkat tubuhnya. Akhirnya Rein membantu Shinta untuk berdiri dan memapahnya keluar kamar. Dia mengerti. Shinta pasti tidak akan nyaman berada di kamarnya terus. Debaran demi debaran mereka rasakan saat ini. Tubuh mereka sangat dekat bahkan saling bersentuhan. Tak ada yang sanggup berbicara hingga Shinta sampai ke kamarnya. Mereka sibuk menahan rasa yang tak menentu serta detak jantung yang semak
Rein perlahan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Shinta. Saat ini Raka lebih berhak atas diri Shinta. Dia tak punya hak apapun untuk menjauhkan Shinta dari suaminya. Sementara Raka tersenyum senang melihat Rein tak lagi berdekatan dengan istrinya. Setelah menutup pintu, Raka kembali menghampiri Shinta. "Sayang, Aku akan merawatmu di sini sampai kamu pulih, kemudian kita pulang." Raka merubah rencana untuk segera kembali ke Jakarta. Mungkin beberapa hari berdua saja dengan istrinya itu akan memperbaiki hubungannya kembali. Shinta tak menjawab. Dia masih tak percaya dengan kehamilan keduanya ini. Bagaimana nanti dengan perusahaannya. Apa dia masih bisa terjun mengawasi perusahannya secara langsung? Lalu bagaimana dengan skandal antara suaminya dengan wanita bernama Aina itu? "Sayang, kamu mau makan apa? Biar nanti aku pesankan. Kamu pasti belum sarapan." Raka terus berbicara sambil mengompres istrinya. Sesekali mengecup mesra kening Shinta dan membelainya dengan lembut. "Aku ing