"Maira, boleh Ayah bicara sebentar?" Pratama duduk tak jauh dari putrinya itu. Saat ini mereka masih berada di ruang keluarga bersama Bu Nuri dan Kaisar. "Ada apa, Yah?" Seorang babysitter meraih Kaisar dari pangkuan Shinta dan membawanya ke dalam. Bu Nuri yang tidak ingin ikut campur dalam perbincangan yang sepertinya serius, pamit hendak membantu menyiapkan makan siang mereka yang telah tertunda. "Tadi di bandara Ayah melihat Reinhard-putra Robert berjalan tak jauh di depan kalian. Apa kalian satu pesawat?" Tenggorokan Shinta seakan tercekat. Apa yang harus dia katakan? Apakah sang Ayah akan murka jika dia berterus terang? "Maira ..., kenapa diam?" Shinta mendesah cemas. "Iy-iya, Ayah. Rein adalah relasi bisnisku sekarang ini." Shinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Apaa? Relasi bisnis? Kamu tidak salah?" Kepanikan mulai merasuki Pratama. Dia menganggap Rein dapat mengancam keselamatan putri satu-satunya itu. "Rein kini mengelola sebuah perusahaan. Aku yakin,
"Makan yang banyak bumil, biar kuat!" Hafiz menambahkan sesendok tumisan capcai ke piring Shinta. Sontak membuat adik tirinya itu melotot melihat isi piringnya semakin penuh. "Kuat ngapain? Kamu pikir aku mau melahirkan sekarang?" sanggah Shinta. "Agar kamu kuat menghadapi kenyataan hidup nantinya!" sahut Hafiz santai, namun sukses membuat Raka tersedak minuman yang sedang diteguknya. "Kamu kenapa, Mas?" Shinta menoleh pada wajah Raka yang memerah. "Nggak, nggak apa-apa. Hanya tersedak," jawab Raka sedikit gugup. Makan siang kali ini cukup hangat karena kehadiran Pratama bersama Bu Nuri dan Hafiz.Shinta memiliki kesempatan bermanja-manja dengan Ayahnya. Sementara Hafiz beberapa kali menggoda adik tirinya. "Lusa Aku mau ke Bandung. Rencananya Aku dan para managerku akan mengadakan meeting di sana selama tiga hari." Hafiz mulai berbicara serius. "Oh ya, Aku dengar Raka memiliki beberapa hotel mewah di sana. Bisa rekomendasikan padaku, hotel mana saja dan fasilitasnya?"lanjut Ha
"Telpon dari siapa, Mas? Dari Aina?" Wajah Raka memucat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa kali ini dia jujur saja pada istrinya itu? "Loh, kamu sudah bangun, Sayang?" Raka segera berusaha menguasai diri dari kegugupan dan mencoba untuk mengalihkan perhatian Shinta. "Jawab aku dulu, Mas! Apa itu dari Aina?" Tatapan tajam Shinta menghunus tepat pada manik mata Raka. Suami Shinta itu menghela napas panjang sebelum memjawab. "Iy-iyaaa. Aina mengabarkan ada sedikit masalah di salah satu hotelku." "Benarkah?" selidik Shinta tanpa memindahkan tatapannya, hingga membuat Raka semakin gugup dan gelisah "Iy-iyaa. Benar." "Harus di kamar mandi terima telponnya?" cecar Shinta lagi. "Maira, tadi itu aku memang sakit perut. Lagian aku nggak mau kamu berpikir yang tidak-tidak jika tau panggilan ini dari Aina. Aku takut kandunganmu kenapa-kenapa." "Huh, alasan!" bathin Shinta. Wanita itu mendengkus kesal. Emosinya selalu tersulut setiap mendengar nama Aina. "Kenapa kamu memilih bekerja
"Selamat pagi, Tuan Rein!" Rein yang belum lama terjaga dari tidurnya tersentak melihat seorang gadis berdiri di dapurnya ."Siapa kamu?" tanya Rein seraya mengernyitkan dahinya "Saya Ayu, anaknya Mbok Sum, Tuan." sahut gadis belia itu tertunduk saat melihat wajah Rein. Dia tak menyangka majikan ibunya adalah pria yang sangat tampan. Bahkan dia belum pernah bertemu pria setampan ini sebelumnya. "Memangnya Mbok Sum kemana?" tanya Rein kembali seraya duduk di depan televisi dan mengutak-atik remot mencari saluran yang pas untuknya. "Ibu sedang pulang kampung. Nenek saya sakit. Untuk sebulan ke depan saya yang menggantikannya beres-beres di sini." "Ya. Ibu kamu sudah menjelaskan apa saja pekerjaanmu di sini?" tanya Rein lagi tanpa menoleh sedikitpun pada gadis bernama Ayu itu. "Sudah, Tuan." Rein mengangguk. "Buatkan aku sarapan. Aku akan berangkat ke kantor pagi ini." Rein berkata seraya masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap. Pagi ini Rein berencana hendak langsung menemui Shin
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi berdua saja dengan laki-laki itu, Maira. Aku akan menemanimu." Shinta kesal, lagi-lagi Raka mengikutinya tugas keluar kota. Padahal masih banyak pekerjaan suaminya itu yang belum selesai. Raka sampai membatalkan beberapa janji dengan mitra bisnisnya demi ikut dengan Shinta keluar kota. "Untuk apa kamu mengikutiku seperti ini, Mas. Lagipula Aku dan Rein naik mobil yang berbeda. Kami akan bertemu di sana saat jadwal makan siang nanti." Raka tak menggubris penolakan Istrinya. Sejak Shinta mengatakan hendak melakukan peninjauan keluar kota, pria tampan yang telah menikahi Shinta sejak tiga tahun yang lalu itu langsung mengalihkan segala pekerjaan pada asisten pribadinya. "Shinta berdecak kesal, namun ia pasrah jika Raka memang hendak ikut dengannya. "Sebenarnya kali ini kamu hendak meninjau lokasi ke kota mana? Apa perlu kita membeli tiket pesawat?" tanya Raka seraya sibuk mengetik beberapa pesan di ponselnya. Pria itu sampai lupa menanyakan tujuan
"Ternyata kamu ingin membuat kejutan untukku, Raka. Aku akan segera ke hotel menemuimu sekarang juga." Betapa senangnya Aina, setelah salah seorang karyawan hotel menghubunginya dan mengatakan bahwa Raka saat ini berada di hotel. Tanpa menghubungi Raka lagi lewat ponselnya, Aina bergegas merias dirinya agar tampil lebih cantik di depan suaminya. Setengah jam kemudian, wanita dengan rambut panjang bergelombang itu melajukan mobil barunya menuju hotel Artika, hendak.menemui suami tercinta. Sementara itu Shinta hendak bersiap-siap menemui Rein di restoran hotel yang terletak tidak jauh dari lobby. Hari ini mereka hendak membicarakan agenda pertemuan dengan beberapa orang dari perusahaan Rein yang mengurus pembebasan wilayah yang akan dijadikan tempat wisata. Beberapa hari ke depan mereka berdua akan sangat sibuk. "Mau ke mana, Sayang? Kita baru saja sampai. Aku pesankan makanan, humm?" Raka tiba-tiba memeluk Shinta dari belakang. Sejak mereka berada di kota padang waktu itu, hingga
"Dimana suamiku berada?" "Tuan Raka ada di kamar 117, Bu Aina. Tapi ..." Tanpa mendengarkan karyawan hotel itu menyelesaikan kalimatnya, Aina langsung melangkah menuju kamar 117. Rasa rindunya pada Raka sudah tak terbendung. Dia tak peduli jika Raka tadi datang bersama Shinta. Yang terpenting baginya, kerinduannya pada Raka terobati. Raka mengumpat dalam hati melihat Shinta pergi begitu saja. Hasratnya yang sedang memuncak tak dapat tersalurkan. Raka sangat emosi. Namun dia tak ingin membuat keributan di hotelnya ini. Para Karyawan hotel hanya tau Aina lah satu-satunya istri Raka. Oleh sebab itu para karyawan hotel banyak yang bertanya-tanya saat Raka mengatakan bahwa Shinta adalah istrinya. Raka tersentak saat mendengar suara ketukan pintu di kamarnya. "Akhirnya kamu kembali Shinta. Mari kita lanjutkan permainan kita yang tertunda." Dengan penuh semangat Raka bergegas membuka pintu. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat siapa yang datang? "Aina? K-kamu ... ke sini?" "Iy
Mata shinta membelalak melihat pemandangan yang menjijikan. Sepasang manusia sedang tertidur pulas tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh mereka. Yang lebih menyakitkan hati, pria yang sedang memeluk wanita itu adalah suaminya sendiri. Sebuah teriakan spontan keluar dari mulut Shinta, membangunkan dua manusia yang baru saja mereguk nikmatnya surga dunia. Aina dan Raka kocar-kacir menutupi tubuh mereka dengan selimut, sambil memunguti satu -persatu pakaian mereka yang tercecer. .Bulir bening begitu deras seketika lolos dari kedua pelupuk mata wanita berhijab itu. Tubuhnya gemetar yang sejak tadi menahan rasa pusing, kini bertambah lemas karena melihat pemandangan yang begitu menyakitkan. Raka buru-buru memakai kemeja dan celana panjangnya. Wajahnya terlihat sangat panik. Sesekali matanya menoleh pada Shinta dengan raut wajah sangat cemas. Sementara Aina terlihat lebih tenang. Rencananya berhasil. Wanita itu sudah tidak sabar ingin memiliki Raka seutuhnya. Rasa cintanya pada Rak