Mata shinta membelalak melihat pemandangan yang menjijikan. Sepasang manusia sedang tertidur pulas tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh mereka. Yang lebih menyakitkan hati, pria yang sedang memeluk wanita itu adalah suaminya sendiri. Sebuah teriakan spontan keluar dari mulut Shinta, membangunkan dua manusia yang baru saja mereguk nikmatnya surga dunia. Aina dan Raka kocar-kacir menutupi tubuh mereka dengan selimut, sambil memunguti satu -persatu pakaian mereka yang tercecer. .Bulir bening begitu deras seketika lolos dari kedua pelupuk mata wanita berhijab itu. Tubuhnya gemetar yang sejak tadi menahan rasa pusing, kini bertambah lemas karena melihat pemandangan yang begitu menyakitkan. Raka buru-buru memakai kemeja dan celana panjangnya. Wajahnya terlihat sangat panik. Sesekali matanya menoleh pada Shinta dengan raut wajah sangat cemas. Sementara Aina terlihat lebih tenang. Rencananya berhasil. Wanita itu sudah tidak sabar ingin memiliki Raka seutuhnya. Rasa cintanya pada Rak
Raka duduk memandang wajah Shinta yang terpejam. Shinta tertidur setelah diberi obat pereda nyeri oleh dokter tadi. Selang infus sudah terpasang di tangan kanan istrinya itu. Rasa menyesal yang menggunung menggerogoti jiwanya. Kini dia semakin khawatir Shinta akan meninggalkannya. Apalagi setelah kejadian tadi. Andai saja janin itu masih ada, tentu akan menjadi pertimbangan yang besar, agar dia tetap masih bersama dengan Shinta. "Maira .... maafkan Aku! Aku memang bodoh. Aku pria lemah yang mudah tergoda. Aku mohon tolong maafkan Aku!" suara serak Raka terdengar diantara isak tangisnya. Raka terus memandang wajah cantik istrinya. Wajah itu tampak pucat. Lagi-lagi dia merutuki dirinya sendiri. Ponsel di saku celana Raka terus bergetar sejak tadi. Pria itu beranjak keluar untuk menerima panggilan. Raka berdecak kesal melihat puluhan panggilan dari Aina. Seperti biasa, wanita itu tidak akan berhenti menghubunginya sebelum Raka menerima panggilannya. Raka memutuskan menekan tombol mer
"Ayah ...!" lirih Shinta saat terjaga. Pratama mengangguk lemah. Berusaha untik tersenyum. Walau sebenarnya ia pun ikut merasakan kesedihan kehilangan calon cucu keduanya. Dengan lembut, diusapnya kepala Shinta yang masih tertutup hijab. "Kamu yang sabar, kalian masih muda. Masih banyak kesempatan untuk.bisa punya anak lagi." Tangis Shinta semakin pecah. Yang ada dipikirannya bukan itu. Namun penghianatan Raka kembali terlintas di kepalanya. Dengan matanya sendiri, dia menyaksikan suaminya baru saja selesai mereguk kenikmatan di ranjang itu bersama wanita lain. Pratama semakin tak tega mendengar tangisan Shinta yang menyayat hati. Pratama merasa sedikit aneh dengan tangisan itu. "Maira, ada apa sebenarnya? Ceritakan saja pada kami!" ujar Hafiz yang sudah menduga ada yang tidak beres. Shinta hanya menggeleng. Belakangan ia tau ayahnya punya penyakit jantung. Ia khawatir jika ia ceritakan sekarang, Pratama akan kena serangan. Sementara Raka yang berdiri di belakang Pratama dan H
"Buat apa perempuan itu kemari?" gerutu Hafiz, kakinya melangkah hendak menghampiri wanita yang ternyata adalah Aina. "Biarkan! Kita tunggu apa yang akan terjadi! Kita tetap di sini!" Rein menghentikan langkah Hafiz. Lalu mengawasi gerak-gerik Aina dari jauh. Tak lama kemudian, nampak Raka keluar dari kamar Shinta, pria itu terkejut melihat kedatangan Aina. Raka menahan Aina agar jangan masuk, lalu memaksa Aina untuk menjauh. Nampak keributan diantara mereka. Sesekali Raka menyisir pandangannya ke sekeliling, khawatir ada yang melihatnya. Dia tak menyadari ada dua pasang mata yang memantaunya dari kejauhan. Sementara di dalam ruang rawat, Shinta sudah mulai membaik. "Ayah, besok aku ikut Ayah pulang ke Jakarta." "Baiklah. Biar Raka yang melanjutkan pekerjaanmu di sini," sahut Pratama. "Pekerjaanku di sini sudah selesai. Tapi kalau Mas Raka masih mau di sini, biarin aja." Diam-diam Shinta mengetik pesan di ponselmya untuk Hafiz. [Kak, carikan aku pengacara. Aku mau pisah dari Ma
"Pakaianmu sudah aku ambil, Sayang. Jadi kita tidak perlu kembali ke hotel lagi," ujar Raka setelah mengemasi pakaian istrinya. Shinta hanya mengangguk tanpa menoleh. Tak ada sedikitpun senyum yang terbit di bibirnya. Ia hanya berbicara seperlunya saja pada Raka. Pratama yang sejak kemarin menemani putrinya, hanya diam memperhatikan mereka. Keributan dalam rumah tangga adalah wajar menurutnya. Mungkin saja sudah terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Apalagi belakangan ini ia beberapa kali melihat Rein di dekat Shinta. Bisa saja Shinta tak terima saat Raka menegurnya agar tak lagi berdekatan dengan Rein. Lalu siapa wanita yang kemarin malam bersama Raka? Apakah menantunya itu juga bermain api di belakangnya? Selama ini Pratama sangat mempercayai Raka. Anak dari sahabatnya itu telah dikenalnya sejak lahir. Namun.hati seseorang siapa yang tahu. Sebagai seorang Ayah, Pratama hanya ingin anak dan menantunya bahagia. "Ayah kenapa melamun?" Pratama terkejut karena tiba-tiba saja Shin
"Bersiaplah, Maira. Sebentar lagi aku akan menjemputmu bertemu dengan Rein. Dia akan memperkenalkan kita dengan temannya yang pengacara itu." Shinta baru saja selesai rapat dengan para staf keuangan, saat ingin beranjak dari ruang meeting, ia menerima sebuah panggilan masuk dari Hafiz pada ponselnya. "Baiklah. Aku tunggu." Setelah menutup panggilan dari Hafiz, Shinta melangkah menuju ruangannya. Sejak kepulangannya dari Bandung, hubungannya dengan Raka semakin jauh. Walau suaminya itu terus berusaha untuk meminta maaf. Namun Shinta tak menghiraukannya..Bahkan sejak malam itu dia tidak lagi tidur di kamar mereka di lantai atas. Shinta lebih memilih tidur di kamarnya dulu di bawah bersama Kaisar. "Dewi, setelah ini apa masih ada meeting atau janji dengan yang lainnya?" Shinta berhenti sejenak di meja Dewi, sebelum ia masuk ke ruangannya. "Tidak ada, Bu." "Baiklah. Sebentar lagi aku akan keluar bersama Pak Hafiz. Jika ada yang bertanya katakan saja ada urusan keluarga. Nanti aku la
"Apa kalian telah menemukan bukti-bukti perselingkuhan mereka?" Pengacara tampan itu mulai bertanya beberapa hal. Rein memang tidak main-main mencarikan pengacara untuk Shinta. Hafiz beberapa kali melihat Elkan di televisi. Pria gagah dan tampan dengan penampilan perlente itu sudah banyak di kenal di kalangan pejabat dan artis papan atas. "Aku siap menjadi saksi perselingkuhan mereka," tegas Shinta dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Luka yang baru saja ditorehkan oleh suaminya itu kembali berdarah. "Shinta ...! Tenangkan dirimu!" Rein mengingatkan Shinta dengan hati-hati. Sungguh dia tak sanggup melihat kesedihan di mata wanita pujaannya. Andai saja bisa, ia akan meraih wajah cantik itu dan mendekapnya ke dalam dadanya. "Elkan, sebenarnya aku punya satu bukti lagi." Shinta sontak menoleh pada Hafiz. "Apa yang kamu ketahui, Kak?" Hafiz dan Rein saling memandang. Mereka tak tega mengatakan hal ini sekarang pada Shinta. Namun mau sekarang atau besok, Shinta akan ta
"Kamu yakin nggak perlu aku antar ke dalam?" "Nggak apa-apa. Kakak langsung pulang aja. Kasian Hikmah." Shinta turun dari mobil Hafiz. Kakak tirinya itu langsung pulang karena Hikmah-istrinya sedang kurang sehat. Sebenarnya Rein menawarkan diri untuk mengantar. Namun sementara ini Shinta memilih untuk menjaga jarak dengan Rein, agar Raka tidak membolak balikkan fakta nantinya. "Dari mana saja kamu seharian ini?" Raka tampak tak suka melihat Shinta baru saja turun dari mobil Hafiz. Suami Shinta itu telah sampai di rumah sejak sore tadi. Ia menatap kesal mobil Toyota Rush keluaran terbaru milik Hafiz yang meluncur keluar pintu gerbang. Shinta tak menghiraukan suaminya. Mencium tangannya seperti biasa pun, tidak. Shinta langsung melangkah menuju kamarnya dan menguncinya dari dalam. Raka yang mengikutinya dari belakang tersentak saat mendengar pintu dikunci. "Maira ... Maira ..., tolong buka pintunya!" Raka yang sedang emosi berusaha meredam amarahnya. Tentu Shinta akan semakin men