"Surat dari pengadilan agama, Pak!" Said meletakkan amplop coklat kedua yang diterima Raka. Sejak menerima surat gugatan cerai siang itu, Raka seakan pasrah. Shinta tak lagi mau mendengar permohonan maafnya. Walaupun mereka masih tinggal satu rumah, tapi mereka berpisah kamar. Makan pun sudah tak satu meja. Setiap hari ke kantor Shinta selalu diantar Pak Pardi. Mereka berangkat sendiri-sendiri. Sungguh situasi yang tidak nyaman. Raka membuka amplop coklat dari Said. Tubuhnya bergetar ketika membaca surat undangan untuk menghadiri sidang pertama perceraiannya dengan Shinta. Sudah tak ada harapan lagi untuk tetap bisa bersama dengan wanita yang sangat dia cintai. Apalagi Shinta telah memiliki.bukti-bukti perselingkuhannya dengan Aina. Sungguh ia menyesal pernah memiliki niat yang tidak baik terhadap Shinta. Siapa yang menduga, hatinya justru bertekuk lutut pada wanita itu. Raka tak menyangka jika ia sampai begitu memuja istrinya. Hingga ia lupa dengan tujuan awalnya bersama Aina.
"Aina, sampai kapan pernikahanmu dan Raka kamu sembunyikan? Mami malu sama teman-teman mami. Mereka bilang kamu ini seperti istri simpanan saja!" Aina berdecak kesal karena lagi-lagi sang Mami membicarakan hal yang sama belakangan ini. Sore itu Aina sedang menikmati cemilan sorenya di taman belakang rumah mewahnya. Rumah yang di beli Raka beberapa bulan yang lalu. "Sabar dong, Mi. Sebentar lagi Raka pasti akan menceraikan istri pertamanya. Akulah yang akan menjadi istri Raka satu-satunya." "Ya, tapi kapan doong? Mami capek dengar gunjiingan teman-teman sosialita Mami." "Nggak akan lama lagi kok, Mi. Percaya sama Aku." Aina senyum-senyum. Dia sangat yakin sebentar lagi Raka akan bercerai dengan Shinta. Aina meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Raka. "Halo, ada apa lagi? Bukankah aku baru saja mengirim banyak uang untukmu? Apa masih kurang?" Raka menjawab panggilan Aina dengan nada dingin dari seberang sana. "Hei, kamu kenapa? Nada ngomongnya nggak enak gitu?" ketus Aina s
"Bawakan koperku ke mobil!" perintah Raka pada salah seorang pelayan. Kemudian pria yang telah siap dengan kemeja kerjanya itu menghampiri Shinta di meja makan. "Pagi, Sayang." "Pagi," sahut Shinta dingin tanpa menoleh. Shinta sedang asik menyuap nasi gorengnya yang sudah tinggal sedikit. "Maira ... " Raka menghela napas panjang saat memanggil istrinya Shinta hanya diam. "Aku ... akan ke Bandung beberapa hari. Aku akan menceraikan Aina. Mungkin wanita itu tidak akan terima aku ceraikan. Dia pasti akan berbuat apapun untuk mengungkapkan kemarahannya." Raka menjeda pembicaraannya. Walau Shinta hanya diam seribu basa, dia yakin wanita itu pasti menyimaknya. "Aku harap kamu lebih hati-hati. Perketat penjagaan. Aku akan minta pak pardi dan para bodyguard untuk selalu mendampingimu."Suara Raka semakin berat. Jelas terlihat kekhawatiran di sana. "Kamu pasti akan terkejut dengan berita terburuk tentang diriku nantinya. Aku sangat yakin, Aina akan nekad berbuat apapun demi menghancurka
"Cukup Aina, stop! Aku sudah muak dengan semuanya. Aku ingin menghentikan semuanya. Termasuk rumah tangga kita!' tegas Raka. "Enggak, Enggak boleh. Aku tidak mau berpisah denganmu, Raka. Enggak boleh! Kamu nggak boleh pergi!" Aina sontak memeluk Raka. Dia terus berteriak dan meracau. "Lepasin aku! Biarkan aku pergi!" Raka melepaskan pelukan Aina dengan kasar. "Maafkan Aku Aina, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini!" Setelah bicara, Raka melangkahkan kakinya keluar. Aina sangat terpukul mendengar ucapan Raka. Wanita itu diam terpaku seraya menatap kepergian Raka. "Raka, mau kemana kamu? Kalian bertengkar lagi?" Bu Yulia-Mami Aina menghampiri Raka di depan pintu. "Aku pergi, Mi." Raka melangkah menghampiri mobilnya. Namun baru saja hendak membuka pintu mobil, terdengar teriakan Bu Yulia dari dalam memanggil namanya. "RAKAAA ...., tolong Aina! Rakaa ... cepat kemari!" Suara Bu Yulia makin kencang. Raka yang tadi sudah memutuskan akan pergi, akhirnya memutar badannya dan ke
"Aku harus kembali ke Jakarta. Besok sidang pertama perceraianku dengan Maira." Aina tersenyum senang. Raka tidak akan mungkin menceraikannya dalam keadaan hamil. Dalam hatinya dia berdoa agar secepatnya Raka bercerai dari Maira. "Baiklah. Setelah bercerai nanti, kamu harus tetap bekerja di eternal group. Kamu harus bisa menguasai eternal group pelan-pelan!" Raka hanya diam. Ia memang masih bisa bekerja di eternal group sesuai ucapan Shinta waktu itu. Namun untuk menguasai Eternal group hingga saat ini belum terpikirkan lagi olehnya. Ia hanya tak ingin Shinta sampai dipersunting oleh pria lain. ------- Shinta memutuskan untuk menyerahkan kuasa pada Elkan untuk menghadiri setiap sidang perceraiannya dengan Raka. Semua bukti sudah dipegang oleh Elkan. Pengacara itu yakin, dengan bukti-bukti yang sudah ada, persidangan ini akan berjalan dengan lancar dan segera dibuat keputusan. Raka terhenyak saat Elkan mengeluarkan bukti video pernikahan sirinya dengan Aina saat sidang berjalan.
"Kalau sudah selesai, silakan kembali ke ruanganmu, Mas!" Shinta buru-buru meraih ponselnya. Jangan sampai Raka melihat wajah Rein masih terlihat jelas di sana. Dia tak ingin ada salah paham lagi. Dirinya tadi hanya membahas masalah pekerjaan dengan Rein. Namun pembicaraan mereka memang tidak terlalu serius. Raka meninggalkan ruangan Shinta masih dengan emosi yang tertahan. Sepeninggal Raka, Shinta kembali menatap layar ponselnya. "Seharusnya tadi kamu matikan ponselnya," sesal Shinta seraya melotot pada Rein. "Seharusnya tadi kamu jawab saja terus terang pada Raka, tentang perasaanmu padaku. 'Apa sih, ngaco aja!" sanggah Shinta melotot Rein terkekeh karena berhasil menggoda Shinta. Kemudian mereka menutup panggilannya, sebelum ada yang melihat dan terjadi salah paham. ------- Mobil yang dikendarai Pak Pardi melaju memasuki tol jagorawi menuju kota Bogor. Di dalamnya Raka dan Shinta tak banyak bicara. Keduanya bicara hanya seperlunya saja. "Sayang. Aku masih berharap kamu menc
"Talak Aku, Mas!' Raka terhenyak. Permintaan Shinta bagaikan belati tajam yang menancap di dadanya. Tatapan memohon dari Shinta menghujam lubuk hatinya yang paling dalam. Betapa ia telah menorehkan luka yang menganga di hati sang istri. "Tidak. Aku tidak bisa. Aku sangat mencintaimu, Maira." Suara Raka bergetar. "Tidak, kamu tidak pernah mencintaiku, Mas. Sejak Awal hanya perempuan itu yang ada dihatimu." "Aku akui, Aku salah. Tapi cinta itu mulai tumbuh sejak pertama kali kamu pulang ke rumah. Kamu adalah separuh jiwaku, Sayang.' Raka mulai meneteskan bulir bening di sudut matanya. Ia paham, kesalahannya sangat sulit dimaafkan. Namun betapa beratnya jika harus melepas Shinta saat ini. "Raka, tolong bebaskan putriku. Aku tak sudi jika kamu menyakitinya lebih dalam. Mempertahankan rumah tangga ini, hanya akan menambah luka untuknya." Kali ini Pratama ikut berbicara. "Tenang saja, kami tidak akan pernah melupakan jasa-jasamu untuk PT Ramajaya yang kamu kelola sejak dulu. Untuk i
"Selamat malam Bos Raka!" Raka mengangguk. Sudah dua tahun ia tidak mendatangi tempat itu. Langkah kakinya memasuki ruangan dengan cahaya lampu yang tak begitu terang. Suara dentuman musik terdengar memekakkan telinga. Namun para pengunjung night club yang berada di kota jakarta bagian utara itu tak peduli. Para pria dan wanita di sana justru menikmati alunan suara musik itu dengan ditemani aroma alkohol yang menyengat. Raka hendak menaiki lift yang berada di sudut ruangan, menuju lantai dua. Namun seorang pria berbadan besar menghentikan langkahnya. "Selamat malam, Bos. Ada yang bisa saya bantu?" "Aku ingin bertemu dengan Paul. Katakan, Aku ada pekerjaan untuknya," ujar Raka dingin. "Silakan tunggu di sini.!" Pria besar itu meminta Raka untuk duduk di salah satu kursi, sebelum ia melangkah masuk ke dalam lift. Raka berdecak kesal. Dulu, ia bebas keluar masuk ke ruangan Paul yang ada di lantai atas. Kenapa kini semua dipersulit. Pria berbadan besar itu kembali turun dan mengh