"Kalau sudah selesai, silakan kembali ke ruanganmu, Mas!" Shinta buru-buru meraih ponselnya. Jangan sampai Raka melihat wajah Rein masih terlihat jelas di sana. Dia tak ingin ada salah paham lagi. Dirinya tadi hanya membahas masalah pekerjaan dengan Rein. Namun pembicaraan mereka memang tidak terlalu serius. Raka meninggalkan ruangan Shinta masih dengan emosi yang tertahan. Sepeninggal Raka, Shinta kembali menatap layar ponselnya. "Seharusnya tadi kamu matikan ponselnya," sesal Shinta seraya melotot pada Rein. "Seharusnya tadi kamu jawab saja terus terang pada Raka, tentang perasaanmu padaku. 'Apa sih, ngaco aja!" sanggah Shinta melotot Rein terkekeh karena berhasil menggoda Shinta. Kemudian mereka menutup panggilannya, sebelum ada yang melihat dan terjadi salah paham. ------- Mobil yang dikendarai Pak Pardi melaju memasuki tol jagorawi menuju kota Bogor. Di dalamnya Raka dan Shinta tak banyak bicara. Keduanya bicara hanya seperlunya saja. "Sayang. Aku masih berharap kamu menc
"Talak Aku, Mas!' Raka terhenyak. Permintaan Shinta bagaikan belati tajam yang menancap di dadanya. Tatapan memohon dari Shinta menghujam lubuk hatinya yang paling dalam. Betapa ia telah menorehkan luka yang menganga di hati sang istri. "Tidak. Aku tidak bisa. Aku sangat mencintaimu, Maira." Suara Raka bergetar. "Tidak, kamu tidak pernah mencintaiku, Mas. Sejak Awal hanya perempuan itu yang ada dihatimu." "Aku akui, Aku salah. Tapi cinta itu mulai tumbuh sejak pertama kali kamu pulang ke rumah. Kamu adalah separuh jiwaku, Sayang.' Raka mulai meneteskan bulir bening di sudut matanya. Ia paham, kesalahannya sangat sulit dimaafkan. Namun betapa beratnya jika harus melepas Shinta saat ini. "Raka, tolong bebaskan putriku. Aku tak sudi jika kamu menyakitinya lebih dalam. Mempertahankan rumah tangga ini, hanya akan menambah luka untuknya." Kali ini Pratama ikut berbicara. "Tenang saja, kami tidak akan pernah melupakan jasa-jasamu untuk PT Ramajaya yang kamu kelola sejak dulu. Untuk i
"Selamat malam Bos Raka!" Raka mengangguk. Sudah dua tahun ia tidak mendatangi tempat itu. Langkah kakinya memasuki ruangan dengan cahaya lampu yang tak begitu terang. Suara dentuman musik terdengar memekakkan telinga. Namun para pengunjung night club yang berada di kota jakarta bagian utara itu tak peduli. Para pria dan wanita di sana justru menikmati alunan suara musik itu dengan ditemani aroma alkohol yang menyengat. Raka hendak menaiki lift yang berada di sudut ruangan, menuju lantai dua. Namun seorang pria berbadan besar menghentikan langkahnya. "Selamat malam, Bos. Ada yang bisa saya bantu?" "Aku ingin bertemu dengan Paul. Katakan, Aku ada pekerjaan untuknya," ujar Raka dingin. "Silakan tunggu di sini.!" Pria besar itu meminta Raka untuk duduk di salah satu kursi, sebelum ia melangkah masuk ke dalam lift. Raka berdecak kesal. Dulu, ia bebas keluar masuk ke ruangan Paul yang ada di lantai atas. Kenapa kini semua dipersulit. Pria berbadan besar itu kembali turun dan mengh
Raka terjaga dari tidurnya. Ia terkejut saat melihat seorang wanita berada di sebelahnya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. "Maira ...," desisnya.. Yang diingat Raka hanyalah Maira. Semalam ia bermimpi menghabiskan malam bersama Maira. Namun siapa wanita yang sekarang berada di sebelahnya? Raka menoleh pada wanita yang kini tertidur membelakanginya. Punggung mulus itu menjelaskan bahwa wanita itu tak memakai sehelai benangpun. Raka bisa menebak apa yang telah terjadi padanya dan wanita itu semalam. "Maira ... Maira ... Aku tak bisa jauh darimu, Sayang." Raka memegang kepalanya yang pusing. Meremas kasar rambutnya dengan frustasi. Semakin ia jauh dari mantan istrinya itu, semakin tak bisa ia melupakan. Raka bangkit. Ia harus ke kantor hari ini. Meraih pakaian yang tercecer, kemudian masuk ke kamar mandi bergegas membersihkan diri. Saat keluar dari kamar mandi, wanita itu masih tertidur. Raka segera memakai pakaiannya. ia meletakkan sejumlah uang di nakas sebelum beran
[Bagaimana dengan tawaranku?] Setelah seminggu menunggu, akhirnya Raka kembali mengirim pesan pada Paul. [ Maaf, Aku enggak berani, Bos] [ Aku akan datang malam ini. Kamu akan menyesal jika menolak] Raka kembali mengancam. Paul tak lagi membalas pesannya. "Sial!" Raka mengumpat karena kesal. "Tuan Raka, ditunggu Bu Shinta di ruang meeting." Tiba-tiba saja Said masuk. "Shinta datang ke kantor? Bukankah dia sedang menghabiskan masa iddahnya di rumah?" tanya Raka heran. "Saya tidak tau, Bos." Raka sangat rindu pada mantan istrinya itu. Beberapa hari yang lalu Raka sempat datang ke rumah Shinta dengan alasan rindu pada Kaisar. Namun hingga menjelang malam, Shinta tak mau menemuinya. "Selamat pagi, Maira. Bagaimana kabarmu?" Raka hendak memeluk Shinta, namun mantan istrinya itu menolak. Wanita berhijab hijau mint itu sontak memundurkan langkah kakinya. "Maaf, Mas. Aku harap kamu bisa menjaga sikap!" tegas Shinta tak suka. Apalagi di ruangan itu hanya ada mereka berdua. "Aku
"Kapan kamu bebas, Lif?" tanya Raka penasaran. Alif benar-benar berubah. Wajahnya kini penuh brewok, rambutnya panjang tanpa diikat. Tubuhnya lebih kurus, namun tampak lebih berotot dan terkesan kekar. "Dua hari yang lalu," sahut mantan suami Shinta itu dengan wajah datar. "Aku minta maaf tidak bisa membantumu waktu itu. Aku tau kamu hanya disuruh oleh seseorang untuk membunuhku." Raka menepuk ringan punggung Alif. Alif hanya mendengkus, lalu menyeringai. Raka memandang ngeri pada seringai Alif yang berbeda. Teman SMA nya itu telah berubah. "Sepertinya penjara telah merubahmu, Lif." Alif terkekeh. Kini raut wajahnya terlihat angkuh dan sombong. "Kenapa? Apa aku terlihat menakutkan?" tanya Alif dengan senyum sinisnya. "Bukan menakutkan. Tapi kamu lebih berani dari dulu. Apa kamu sudah dapat pekerjaan?"tanya Raka. Alif menggeleng. Sebatang rokok baru saja dia nyalakan. Sementara minuman di depannya sudah tandas tak bersisa. "Apa ada pekerjaan untukku?" tanyanya lagi setelah me
"Rein, itu mobil Rein," gumam Shinta nyaris tak terdengar. Dengan semangat Shinta keluar hendak menghampiri mobil mewah yang sedang parkir di halamannya. Namun langkahnya terhenti karena yang keluar dari mobil itu ternyata bukan pria yang dia rindukan. "Selamat malam, Bu Shinta. Saya Peter, utusan dari Pak Rein. Apa ada masalah di rumah ini?" Seorang pria berbadan tegap dengan jaket kulit hitam menghampiri pemilik rumah mewah itu. Shinta belum sempat menjawab, sudah terrdengar suara teriakan Aina dari dalam. Pria berpakaian preman itu menoleh ke asal suara itu. "Saya dari kepolisian. Pak Rein meminta saya untuk mengamankan keributan di sini." ujarnya seraya memperlihatkan tanda pengenalnya.Shinta mengerutkan keningnya. "Dari mana Rein tau di sini ada keributan?" Pria berambut cepak itu tersenyum. "Sudah beberapa hari ini ada satu anggota saya bertugas berjaga di sekitar rumah ini" Jawaban Peter membuat Shinta tercengang. "Terimakasih, Rein. Ternyata selama ini kamu selal
Tiga tahun yang lalu, di sebuah night club daerah jakarta utara, Aina terus bergoyang mengikuti alunan musik hingar bingar. Wanita yang terbiasa tinggal di luar negri dengan gaya hidup kebarat-baratan, sudah terbiasa menghabiskan waktunya di tempat semacam itu. Rambutnya yang terurai bergelombang hingga sedada, sebagian menutupi belahan yang sengaja ingin dia pertontonkan. Aina merasa sangat tersanjung jika ada pria yang memuji keindahan tubuhnya. Hampir tiap malam wanita berpenampilam sexy itu menghabiskan malamnya di sana. Lalu, pulang ke rumahnya di saat menjelang pagi. Harta yang melimpah dari orang tuanya, menjadikan Aina sebagai wanita yang tak mau dibantah, apa yang dia inginkan harus tercapai. Setelah hampir satu jam melantai, seorang pria tampan pemimpin PT Ramajaya dengan jas berwarna navy menghampiri Aina dan langsung memeluknya. "Aku butuh kamu malam ini!" bisiknya seraya mulai mencumbu mesra. Tak peduli dengan pengunjung sekitar yang sibuk dengan dirinya masing-masing