"Siapkan pakaian kantorku, mulai hari ini aku akan aktif kembali ke kantor!" Pagi-pagi sekali Shinta sudah sibuk mempersiapkan diri untuk kembali aktif bekerja, setelah tiga bulan berada di rumah. Selama itu pula dirinya tidak bertemu dengan Raka atau pun Rein. Raka sesekali.datang untuk bermain dengan Kaisar. Akan tetapi Shinta enggan untuk menemuinya. Rein mulai berani mengirim pesan mesra pada Shinta. Pria dingin dan terkesan kaku itu perlahan mulai berubah. Hidupnya kini seakan lebih berwarna dengan status Shinta yang kembali sendiri. [Aku jemput kamu] Sebuah pesan singkat dari Rein ketika Shinta sedang menikmati sarapannya. Wanita berhijab motif bunga-bunga yang berwarna senada dengan outer silvernya itu hanya tersenyum tanpa membalas, setelah membaca pesan dari Rein. Sejujurnya Shinta pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan pria berdarah campuran eropa itu. Shinta sungguh tak habis pikir, bisa secepat ini hatinya berpaling. Namun begitu, ia mati-matian berusaha menyembu
"Maira, Kamu dan Rein ..., kenapa kalian sedekat ini?" Wajah Raka menggelap, seakan tak terima melihat kedekatan Rein dan Shinta. Sorot matanya memandang tajam pada pria berjambang itu. "Aku memang sedang dekat dengan Shinta. Ada masalah?" tanya Rein tenang. Ia meraih tangan Shinta, kemudian membawanya keluar dari lift. Setelah melangkah keluar, Rein kembali melepaskannya. Ia tau Shinta pasti tidak nyaman jika mereka berpegangan tangan. Raka memperhatikan mereka dengan gemuruh di dada. Rein dan Shinta berjalan berdampingan menuju ruang masing-masing. Namun Shinta terheran melihat Rein yang terus mengikutinya. "Ruangan kamu di sana Tuan Rein. Apa kamu lupa?" Shinta mencoba mengingatkan dengan gurauan. Ia yakin Rein tidak lupa. Atau mungkin ada yang ingin dia bicarakan? "Apa bisa jika ruanganku pindah ke sini aja, Bu Shinta?" gurau Rein seraya duduk di hadapan Shinta yang baru saja menjatuhkan tubuhnya di kursi kebesaran. Shinta terkekeh mendengar ucapan Rein yang dianggapnya ngel
"Maaf aku enggak bisa bantu kamu untuk meyakinkan ayah." Hafiz tidak tega melihat Shinta bersedih. Akan tetapi ia juga tidak bisa ikut campur terlalu dalam masalah ini. "Aku mau pulang aja, Kak. Enggak bisa kerja kalau pikiranku kacau begini. Ayah di mana?" Hafiz menghempas napas kasar. "Ya, sebaiknya kamu pulang tenangkan pikiranmu. Ayah ada diruangan Raka.." "Apaa? Di ruangan Raka?" Shinta mengerutkan dahinya. "Untuk apa Ayah di sana? Apa semua ini karena Mas Raka?" pikir Shinta. Berbagai prasangka buruk ia tujukan pada mantan suaminya itu. Shinta gegas berdiri dan beranjak hendak pulang. "Aku pulang, Kak. Pamitkan aku pada Ayah! " Hafiz mengangguk, lalu memandang Shinta yang berjalan lesu menuju lift. "Kasian dia. Tapi aku memahami perasaan Ayah. Kesalahan Robert pada keluarga Shinta sudah sangat fatal." ----- Selama perjalanan Shinta hanya diam. Mencoba menyelami perasaannya pada Rein. Kenapa bisa secepat ini hatinya berpaling. Atau mungkin perasaan ini sudah ad
"Selamat pagi, Sayang." Shinta terkejut, pagi-pagi sekali Raka sudah datang ke rumahnya. Shinta memang tidak pernah melarang Raka untuk masuk ke rumahnya, selama untuk kepentingan Kaisar. "Ada apa pagi-pagi udah ke sini? Kaisar belum bangun." Shinta yang sedang memotong tanaman bunga di teras tidak mempersilakan Raka masuk. "Ini hari sabtu. Aku ingin mengajakmu dan Kaisar jalan-jalan," sahut Raka bersemangat. "Kalau mau ketemu Kaisar di sini aja. Enggak usah kemana-mana!" sahut Shinta dingin. "Sekali-kali nggak apa-apa dong kita kasih perhatian sama Kaisar. Mau, ya?" Shinta menggeleng. "Kalau mau ketemu Kaisar, di sini aja," sahut Shinta tanpa menoleh. Raka menghempas napas kasar seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi teras. Memandang mantan istrinya yang sedang sibuk dengan beberapa tanaman. "Tidak seperti biasanya Maira seperti ini. Apa dia sedang kesepian?" gumam Raka pelan. Seorang pelayan meletakkan segelas minuman untuk Raka. "Silakan diminum, Tuan." "Makasih." Raka
"Sialan kau, Raka! Begini rupanya kelakuanmu selama aku ke Bandung." Aina menatap geram ponselnya, setelah berhasil melacak keberadaan Raka melalui salah satu aplikasi. "Apa saja yang kamu lakukan di rumah perempuan kampungan itu seharian." Wajah Aina memerah menahan emosi. Napasnya memburu naik turun. Seketika ia meraih kunci mobilnya dan melangkah keluar. "Aina, mau ke mana kamu?" Bu Yulia bergegas menyusul anak semata wayangnya. "Ke Jakarta, Mi. Nggak beres kalau Raka aku tinggal sendirian lama-lama.". "Terus bagaimana dengan Mami, Aina? Papimu betingkah terus. Lagi sakit masih aja main perempuan." Aina mengacak rambutnya frustasi. "Aku juga pusing sama suamiku, Mi!" teriaknya seraya melangkah masuk ke dalam mobil. "Aina, Aina ..., jangan pergi dulu. Bantu Mami urus papimu yang sedang sakit!" Bu Yulia berteriak sekencang mungkin. Namun Aina tidak peduli. Wanita itu langsung tancap gas menuju jakarta. Dengan kecepatan tinggi Aina membawa mobilnya ke Jakarta. Emosi dan ce
[ Temui aku di night club malam ini ] Alif menyeringai membaca pesan dari Raka. Ia baru saja merebahkan diri di kasur empuknya. Ia tak menyangka akan kembali pulang ke rumahnya setelah keluar dari penjara. Menurut ibunya, Shinta telah menebusnya pada para penjahat itu. Sayangnya, rasa bencinya pada Shinta dan Rein tidak berkurang sedikitpun. Andai saja dulu Alif tidak bertemu dua orang itu, tentu hidupnya tidak akan susah seperti sekarang ini. "Alif, makanlah dulu. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu!" "Nanti saja, Bu!" sahutnya malas. "Halaah, keenakan sekali dia dimanja, Bu. Bikin susah aja. Coba dulu kamu nggak usah nikah sama di Mela, kita nggak akan susah begini!" Sejak pulangnya Alif, May tak henti-hentinya menggerutu menyalahkan Alif. Alif hanya diam dan tak peduli. Sejak dia mendengar Mela selingkuh ketika ia di penjara, Ia semakin menyesal telah menikahi wanita yang gila harta itu. "Lebih baik kamu pulang ke rumah istrimu saja sana, Lif!" ketus May.lagi. Ia merasa muak
Raka baru saja memarkir mobinya di samping night club. Malam ini cukup ramai. Area parkir mobil hampir saja penuh. Raka masuk dan memesan minuman. Matanya berkeliaran memandang para wanita seksi yang sedang asik melantai meliuk-liukkan tubuhnya. Dirinya cukup terhibur disaat banyaknya masalah yang ia hadapi kini. "Butuh teman?" Raka tersenyum ketika Kayla menghampirinya. Kayla duduk di sebelah Raka. ia pun memesan minuman untuknya. "Aku sedang menunggu seseorang." Raka membuka percakapan. "Oh, apa Aku mengganggu?" Raka menggeleng. "Tidak. Duduk saja di sini. Malam ini kamu harus temani aku, Maira!" Kayla terkikik mendengar Raka memanggilnya Maira. Itu artinya Raka sedang rindu dengan wanita bernama Maira itu, dan ia akan masuk ke dalam imajinasi Raka yang menganggapnya Maira. Tak berselang lama, Alif datang menghampirinya. "Malam, Bos. Ada apa memanggilku?" Pria giondrong dengan jambang lebat itu menjatuhkan tubuhnya di sofa yang berada di hadapan Raka. Sesekali matanya meli
"Kurang ajar kamu, Paul!'" Sebuah pukulan yang cukup keras menghantam wajah Paul. Wajah putih pria itu mendadak menjadi kemerahan. Ia meringis memegang pipinya yang nyeri. Kemarahan Raka seakan ingin meledak. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Istri dan temannya bermesraan di tempat yang cukup sepi. "Raka, Raka ..! Ini bukan seperti yang kamu lihat. Kami hanya berpelukan sebatas teman.Tidak lebih," sanggah Aina dengan wajah panik dan gusar. Wanita cantik yang sedang berbadan dua itu sangat terkejut. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan Raka. Sialnya, suaminya itu menyaksikan sendiri kemesraannya dengan pria lain. "Haaah ...! Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kalian bohongi! Aku kecewa pada kalian!" Raka memandang keduanya dengan tatapan membunuh. Kedua matanya berkilat-kilat. Dirinya bukan cemburu. Bukan. Namun ia tidak terima karena sudah merasa dibohongi selama ini. Raka merasa harga dirinya telah jatuh dan diinjak-injak. Kini ia merasa lebih mantap untuk m