"Selamat pagi, Sayang." Shinta terkejut, pagi-pagi sekali Raka sudah datang ke rumahnya. Shinta memang tidak pernah melarang Raka untuk masuk ke rumahnya, selama untuk kepentingan Kaisar. "Ada apa pagi-pagi udah ke sini? Kaisar belum bangun." Shinta yang sedang memotong tanaman bunga di teras tidak mempersilakan Raka masuk. "Ini hari sabtu. Aku ingin mengajakmu dan Kaisar jalan-jalan," sahut Raka bersemangat. "Kalau mau ketemu Kaisar di sini aja. Enggak usah kemana-mana!" sahut Shinta dingin. "Sekali-kali nggak apa-apa dong kita kasih perhatian sama Kaisar. Mau, ya?" Shinta menggeleng. "Kalau mau ketemu Kaisar, di sini aja," sahut Shinta tanpa menoleh. Raka menghempas napas kasar seraya menjatuhkan tubuhnya di kursi teras. Memandang mantan istrinya yang sedang sibuk dengan beberapa tanaman. "Tidak seperti biasanya Maira seperti ini. Apa dia sedang kesepian?" gumam Raka pelan. Seorang pelayan meletakkan segelas minuman untuk Raka. "Silakan diminum, Tuan." "Makasih." Raka
"Sialan kau, Raka! Begini rupanya kelakuanmu selama aku ke Bandung." Aina menatap geram ponselnya, setelah berhasil melacak keberadaan Raka melalui salah satu aplikasi. "Apa saja yang kamu lakukan di rumah perempuan kampungan itu seharian." Wajah Aina memerah menahan emosi. Napasnya memburu naik turun. Seketika ia meraih kunci mobilnya dan melangkah keluar. "Aina, mau ke mana kamu?" Bu Yulia bergegas menyusul anak semata wayangnya. "Ke Jakarta, Mi. Nggak beres kalau Raka aku tinggal sendirian lama-lama.". "Terus bagaimana dengan Mami, Aina? Papimu betingkah terus. Lagi sakit masih aja main perempuan." Aina mengacak rambutnya frustasi. "Aku juga pusing sama suamiku, Mi!" teriaknya seraya melangkah masuk ke dalam mobil. "Aina, Aina ..., jangan pergi dulu. Bantu Mami urus papimu yang sedang sakit!" Bu Yulia berteriak sekencang mungkin. Namun Aina tidak peduli. Wanita itu langsung tancap gas menuju jakarta. Dengan kecepatan tinggi Aina membawa mobilnya ke Jakarta. Emosi dan ce
[ Temui aku di night club malam ini ] Alif menyeringai membaca pesan dari Raka. Ia baru saja merebahkan diri di kasur empuknya. Ia tak menyangka akan kembali pulang ke rumahnya setelah keluar dari penjara. Menurut ibunya, Shinta telah menebusnya pada para penjahat itu. Sayangnya, rasa bencinya pada Shinta dan Rein tidak berkurang sedikitpun. Andai saja dulu Alif tidak bertemu dua orang itu, tentu hidupnya tidak akan susah seperti sekarang ini. "Alif, makanlah dulu. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu!" "Nanti saja, Bu!" sahutnya malas. "Halaah, keenakan sekali dia dimanja, Bu. Bikin susah aja. Coba dulu kamu nggak usah nikah sama di Mela, kita nggak akan susah begini!" Sejak pulangnya Alif, May tak henti-hentinya menggerutu menyalahkan Alif. Alif hanya diam dan tak peduli. Sejak dia mendengar Mela selingkuh ketika ia di penjara, Ia semakin menyesal telah menikahi wanita yang gila harta itu. "Lebih baik kamu pulang ke rumah istrimu saja sana, Lif!" ketus May.lagi. Ia merasa muak
Raka baru saja memarkir mobinya di samping night club. Malam ini cukup ramai. Area parkir mobil hampir saja penuh. Raka masuk dan memesan minuman. Matanya berkeliaran memandang para wanita seksi yang sedang asik melantai meliuk-liukkan tubuhnya. Dirinya cukup terhibur disaat banyaknya masalah yang ia hadapi kini. "Butuh teman?" Raka tersenyum ketika Kayla menghampirinya. Kayla duduk di sebelah Raka. ia pun memesan minuman untuknya. "Aku sedang menunggu seseorang." Raka membuka percakapan. "Oh, apa Aku mengganggu?" Raka menggeleng. "Tidak. Duduk saja di sini. Malam ini kamu harus temani aku, Maira!" Kayla terkikik mendengar Raka memanggilnya Maira. Itu artinya Raka sedang rindu dengan wanita bernama Maira itu, dan ia akan masuk ke dalam imajinasi Raka yang menganggapnya Maira. Tak berselang lama, Alif datang menghampirinya. "Malam, Bos. Ada apa memanggilku?" Pria giondrong dengan jambang lebat itu menjatuhkan tubuhnya di sofa yang berada di hadapan Raka. Sesekali matanya meli
"Kurang ajar kamu, Paul!'" Sebuah pukulan yang cukup keras menghantam wajah Paul. Wajah putih pria itu mendadak menjadi kemerahan. Ia meringis memegang pipinya yang nyeri. Kemarahan Raka seakan ingin meledak. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Istri dan temannya bermesraan di tempat yang cukup sepi. "Raka, Raka ..! Ini bukan seperti yang kamu lihat. Kami hanya berpelukan sebatas teman.Tidak lebih," sanggah Aina dengan wajah panik dan gusar. Wanita cantik yang sedang berbadan dua itu sangat terkejut. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan Raka. Sialnya, suaminya itu menyaksikan sendiri kemesraannya dengan pria lain. "Haaah ...! Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kalian bohongi! Aku kecewa pada kalian!" Raka memandang keduanya dengan tatapan membunuh. Kedua matanya berkilat-kilat. Dirinya bukan cemburu. Bukan. Namun ia tidak terima karena sudah merasa dibohongi selama ini. Raka merasa harga dirinya telah jatuh dan diinjak-injak. Kini ia merasa lebih mantap untuk m
[Aku rindu. Apa bisa kita ketemu besok?] Rein baru saja mengirim pesan pada Shinta. Dia tak yakin wanita itu akan membalas pesannya. Jarum jam di dindingnya menunjukkan pukul sebelas malam. Saat ini Pria mancung bermata elang itu berbaring di atas ranjang berukuran king size dengan pandangan kosong tertuju pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Rein tak bisa memejamkan matanya. Sejak tadi bayangan wajah cantik Shinta terus bergelayut di benaknya. Rasa rindu itu seakan membunuh jiwa dan raganya. Rein langsung terlonjak saat mendengar ponselnya bergetar. Senyum terbit di wajah yang memiliki jambang halus di sekitar pipi dan dagunya itu. [ Bisa. Dimana? Kirim aja alamatnya!]Balasan pesan dari Shinta membuatnya semakin berdebar. Dengan semangat Rein kembali mengetik pesan. [ Aku jemput saat jam pulang kantor] Rein terus memandangi ponselnya, menunggu balasan.lagi dari Shinta. [Kirim aja alamatnya, Rein. Aku seperti biasa akan datang bersama Pak Pardi.] Rein menghela na
"Ehm ...!" "Astaga, Shinta! Maaf, apa sejak tadi kamu di sana?" Rein terkejut setelah menutup ponselnya. Ternyata Shinta sudah berdiri tak jauh dari saungnya. Wanita itu sangat cantik dengan stelan kulot dan outer model kekinian. Shinta selalu tampil mempesona di mata Rein. Shinta tersenyum. "Aku baru datang, kok." "Yuk duduk sini! Mau pesan apa?" Rein bergeser agar Shinta duduk di sebelahnya. Lalu pria berkemeja putih itu menyodorkan sebuah daftar menu pada Shinta. Wanita berwajah oval itu mulai membukanya dan melihat-lihat masakan apa saja yang ada di restauran itu. "Hmm ... kayaknya aku pengen makan gurame kremes sama sayur asem." Shinta yang memilih duduk di depan Rein mulai memilih menu yang akan dipesan. Rein merasakan detak jantungnya begitu cepat. Netranya menatap bebas wanita yang sangat ia rindukan. Kini Shinta berada tepat di hadapannya. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja pendek berbentuk persegi yang terbuat dari kayu. Rein menahan dirinya untuk tidak memelu
"Shinta, please aku mohon ....!" Rein semakin gelisah melihat Shinta hanya diam saja. Sementara Shinta masih mencoba menyelami perasaannya terhadap pria yang kini sedang menatapnya penuh harap. Sejenak mereka terdiam. Shinta masih menunduk. Ia tak kuasa menatap mata elang yang telah memporak-porandakan hatinya itu. "Maaf, jika aku terlalu memaksamu. Seharusnya aku bisa lebih bersabar menunggu. Ini memang terlalu cepat untukmu. Mungkin lain waktu saja kita bicarakan hal ini." Seketika jemari kokoh milik Rein terulur hendak meraih kembali kotak kecil yang berada tepat di tengah-tengah meja. "Rein, Jangan ...!" Tangan kokoh itu terhenti di udara saat jemari lentik milik Shinta dengan cepat meraih kotak itu lebih dulu. Rein menurunkan tangannya perlahan. Napasnya tertahan sejenak. Pandangannya tak lepas pada Shinta yang mulai membuka kotak berbentuk hati itu.Setetes embun menetes dari kedua sudut netra pria tampan itu. "Teimakasih ..." lirihnya bergetar. Rein merasakan kebahagiaa