"Ada apa ini?" Shinta baru saja menapakkan kaki di lantai lobby. Ia melihat sedikit keributan di meja resepsionis. Seorang pria berperawakan asing dengan rambut kecoklatan sedang berdebat dengan resepsionis kantor dan beberapa security. "M-maaf Bu Shinta. Bapak ini memaksa ingin bertemu dengan Pak Raka," jelas resepsionis itu gugup. Shinta melihat wajah resepsionis itu cemas dan ketakutan. "Mas Raka pasti mengancam mereka," pikirnya. "Silakan hubungi saja ponselnya!" ucap Shinta. Sebenarnya ia tak ingin ikut campur. Namun pria bule itu sudah menyebabkan keributan di kantornya di pagi hari. Pria bertubuh tinggi besar itu tampak sangat bingung dan khawatir. "Sejak kemarin rumah sakit juga mencoba menghubungi ponselnya. Tapi tidak bisa." "Rumah sakit?" Shinta mengerutkan keningnya. "Iy-iyaaa, dokter memerlukan persetujuan Raka untuk melakukan tindakan pada Aina." Shinta tersentak mendengar Aina sedang di rumah sakit. Ya, rasa sakit karena dikhianati itu masih terasa, walau kin
"Kenapa kamu terlalu peduli pada Aina? Atau jangan-jangan anak itu memang benar anakmu?" Raka tersenyum sinis pada Paul.yang masih berdiri di hadapannya.. "Aku memang mencintai Aina sejak dulu, tapi yang ada di hatinya cuma kamu, dan janin di dalam perutnya itu bukan anakku!" Napas Paul naik turun dan semakin tersengal karena menahan amarah yang nyaris tak terbendung. Mendengar pengakuan cinta dari Paul, pria yang masih berstatus suami Aina itu tersenyum miring seakan meremehkan. "Apa lagi yang kamu tunggu? Apa.kamu memang menginginkan Aina mati?" Paul terus bicara sambil mengumpat dalam hati. Kedua tangannya sudah gatal ingin menyeret tubuh Raka dan membawanya masuk ke mobilnya. "Kau urus saja kekasihmu itu. Aku sudah tak peduli lagi padanya. Mau mati atau mau hidup terserah dia," ucap Raka santai, lalu menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. "Brengsek! Dasar laki-laki pengecut! Istri dan anakmu sedang mempertaruhkan nyawa, kamu tau itu?" Paul sudah tidak dapat lagi membend
"Aku akan menemanimu hari ini," ujar Shinta tanpa menoleh. Ia masih belum sanggup membalas tatapan Rein yang mendebarkan. Rein yang sudah lepas infus, sengaja menutup sebagian tirai di dekat ranjangnya. "Tapi aku mau kamu menemaniku selamanya," lirih Rein membuat Shinta semakin salah tingkah. "Mungkin kita harus lebih bersabar, Rein!!" Rein menghela napas panjang. "Baiklah. Minggu depan. Tidak bisa ditawar lagi. Minggu depan aku akan melamarmu pada Bapak Pratama." Shinta berpikir sejenak. Ia pun tak ingin menunda-nunda. Ia sudah sangat yakin dengan keputusannya. "Rein, bagaimana jika Ayah tidak merestui?" lirih Shinta lemah. Ada rasa khawatir yang begitu besar tersirat dari ucapannya. "Kita terus berjuang. Aku minta kamu jangan pernah menyerah. Kita sudah berjanji akan berjuang bersama-sama." Rein meraih jemari Shinta dan mengenggamnya erat. Pria tampan berhidung mancung itu mengecup jemari lentik Shinta cukup lama. Napas Shinta seakan berhenti saat merasakan sentuhan bibir
"Shinta ... kamu cantik. Sejak dulu kamu memang cantik." Rein terus membelai lembut kepala Shinta yang tertutup hijab. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Shinta merasakan hangatnya hembusan napas Rein pada wajahnya. Debaran pada dadanya semakin berdetak. Rein semakin mendekat. "Kamu mau apa?" Shinta ingin sekali bangkit untuk menghindari pria di hadapannya. Namun tubuhnya seakan tak sanggup untuk berdiri. Rein tersenyum dan menggeleng. "Aku hanya ingin memandang wajahmu. Setiap malam wajah ini menemaniku sebelum tidur. Bertahun-tahun lamanya. Kamu mungkin tidak tau seperti apa rasanya mencintai seseorang yang sangat sulit untuk diraih. Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar gila jika tak segera menikahimu." Rein masih terus membelai kepala Shinta dengan lembut. Ya, hanya sebatas itu. Tak lebih. Shinta tak menyangka begitu dalamnya cinta Rein padanya. Mungkin cintanya tak sebesar itu pada Rein. Entahlah. Shinta memberanikan diri meraih tangan Rein yang masih memb
"Dasar bodoh, kenapa kamu balik ke sini lagi? Aku sudah menyuruhmu menginap di sana! Malam ini kita harus bisa menjebak bule sialan itu!" Alif menatap geram penuh emosi pada Ayu. Perempuan itu gemetar setelah dibentak kasar oleh pria gondrong yang membayarnya beberapa waktu lalu. "Ingat! Kamu sudah menerima uang dariku! Bagaimana kalau rencana kita gagal? Bisa habis kita!" Alif meremas rambutnya frustasi. Raka sudah memberinya uang cukup banyak. Namun sampai saat ini ia belum juga berhasil menghabisi Rein. Ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Dia pikir dengan pengalamannya selama dipenjara akan mudah menyingkirkan Rein. "Bu-bukan begitu, Tuan. S-saya diminta pulang oleh Tuan Rein.Tapi saya sudah memasukkan obat perangsang itu ke dalam minumannya. Saya akan kembali lagi malam ini. S-saya akan pura-pura nggak bisa pulang." Alif menyeringai. Diam-diam dia memuji ide gadis itu. "Baiklah. Ayo saya antar sekarang juga ke sana. Pastikan si bule bodoh itu sudah meminum obat perangsang
"Ya Tuhan. Apa yang sudah kamu lalukan pada Ayu, Rein? K-kamu--" "Non Shinta ..., tolong lepasin Saya. Tuan Rein hampir saja memperkosa saya. Huhuhu ...!" Ayu menangis meraung-raung. Dia terus berteriak seolah- olah dialah korbannya. Rein geleng-geleng kepala mendengar ucapan Ayu yang dia anggap bodoh. Wajah Shinta semakin terkejut. Namun beberapa saat dia berpikir. Jika Rein yang ingin memperkosanya, kenapa Rein justru membawanya keluar dalam keadaan seperti itu? Shinta mencoba untuk tenang dan meredam emosinya. Ia harus berpikir jernih saat ini. Perlahan wanita cantik itu melangkah mendekati Ayu. Ia sungguh risih dengan pakaian Ayu yang terbuka. "Kancing bajumu!" ujar Shinta datar. "T-tangan Saya diikat oleh Tuan Rein, Non," lirih Ayu. Ia menunduk. Shinta semakin yakin dengan pendapat yang ada di pikirannya. Dengan cepat ia memasang kembali kancing kemeja Ayu yang terbuka. Rein terus menatap wajah kekasihnya dengan cemas. Ia masih belum tau apa yang ada dalam pikiran Shinta.
"Aku dimana? Raka ..., Raka ..." Aina membuka matanya perlahan. Awalnya semua terlihat samar. Sesaat kemudian dia tersadar bahwa sedang berada di rumah sakit. "Aina, kamu sudah sadar?" Aina menoleh pada pria bule yang menghampirinya. Pria itu tampak kusut sekali masih dengan pakaian terakhir kali Aina melihatnya. Kenapa Paul yang ada disampingnya? Kenapa bukan Raka?, pikirnya. "Paul, dimana suamiku?" Paul terdiam menahan sesak mendengar pertanyaan Aina. Apa yang harus dia katakan? "Istirahatlah, Aina. Kamu baru saja sadar setelah menjalankan operasi sore tadi. Kondisimu masih lemah." Pria mancung dengan rambut kecoklatan itu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan."Apa? Operasi?" Seketika Aina panik dan meraba perutnya yang memang belum.membesar. "Paul, operasi apa? Aku kenapa?" cecar Aina dengan wajah sangat panik. "Sial! Kenapa jadi aku yang harus menjelaskan ini semua pada Aina? Kemana laki-laki keparat itu?" umpat Paul dalam hati. "Paul, kenapa diam?"lirih Aina dengan suar
"Kurang ajar! Kalian sudah tidak bisa mengelak lagi. Tertangkap basah kalian sekarang!" Aina buru-buru melepaskan diri dari pagutan Paul. Wanita itu sontak duduk dan menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Paul. "Hebat permainan kalian!" Raka menatap keduanya dengan mata berkilat-kilat. Langkah kakinya semakin mendekat. Paul melihat ketakutan dari wajah Aina. Ia menatap wanita itu tak tega. "Raka ..." lirih Aina putus asa. Dia merutuki dirinya yang sudah dua kali tertangkap.basah oleh suaminya sendiri. Tak bisa ia pungkiri. Ia sangat menikmati ciuman tadi. Namun ia hanya menganggap itu adalah bentuk perhatian yang diberikan oleh Paul padanya. Dan saat ini ia sangat membutuhkan itu. "Kenapa? Kamu mencintainya? Atau kamu memang mengumbar cintamu ke semua pria?" Sorot mata Raka begitu tajam hingga menembus iris mata hitam milik Aina. Wajah Aina yang masih pucat semakin memutih. "Dasar perempuan murahan!" "Cukup, Raka! Jangan menghina Aina. Dia istrimu!" Paul geram dengan sikap kasa