"Kenapa Aku sangat merindukan gadis itu? Ada apa denganku? Kenapa tidak ada lagi getaran yang kurasakan saat bersama dengan Aina? Secepat inikah hatiku berpaling?" Paul menyetir dengan kecepatan tinggi. Ia sangat bersemangat walaupun tujuannya kali ini sangat jauh dari lokasi clubnya yang berada di wilayah Jakarta Utara. Sementara rumah sakit tempat Syafa dirawat adalah di kota Bogor. Jika saja mobilnya ini bisa terbang, Ia rela membayar mahal agar bisa secepatnya tiba di sana. Senyuman manis Syafa terus membayanginya. "Astaga! Apakah ini yang dikatakan cinta pada pandangan pertama?" Paul tak habis pikir dengan dirinya Fisik Aina jelas-jelas jauh lebih sempurna dari pada Syafa. Namun ia melihat ketulusan dari hati Syafa yang masih sangat polos. Tak terasa, mobil yang dikendarai Paul telah memasuki jalan tol menuju Bogor. Saat di perjalanan ia menyempatkan diri berhenti di sebuah rest area untuk membeli sesuatu. Paul masuk ke dalam sebuah mall yang berada di rest area cibubur. M
"Bapak, Ibu ... Kenapa marah-marah dengan Kak Rein?" protes Syafa. "Kamu diam aja, Sya! Laki-laki ini sudah melanggar kesepakatan. Kita sepakat tidak akan membawa masalah ini ke jalur hukum, asalkan dia mau bertanggung jawab atas biaya pengobatanmu hingga sembuh total dan datang setiap dua hari sekali menemanimu di sini. Jika tidak, dia harus mau menikah denganmu. Sekarang kamu sudah lumpuh, pria mana yang mau denganmu? Bisa-bisa dia juga akan kabur ninggalin kamu!" Rita bicara panjang lebar dengan berapi-api. Napasnya naik turun karena emosi. "Aku nggak mau. Lagian, Kak Rein sudah menikah, Bu. Aku juga nggak cinta dengan Kak Rein. Biar aku berobat saja, Bu! Kak Rein pasti tanggung jawab? Iya, kan, Kak Rein?" Rein mengangguk pasti. "Tidak! Kamu harus menikah dulu. Jadi istri kedua pun tidak apa. Yang penting dia tidak bisa pergi ninggalin kamu," sanggah Rita dengan emosi. "Astaghfirullah, ibu, Bapak! Tega sekali kalian bicara seperti ini. Saya adalah istri Rein. Saya juga tida
"Maaf, kalau saya ikut campur. Kalau diizinkan, Saya ingin menemani Syafa fisioterapi mulai besok." Paul tiba-tiba saja bicara. Ia mengangguk sopan pada Akbar dan Rita. Kedua orang tua Syafa itu sempat terkejut mendengar permintaan pria bule itu. Mereka memandang Paul dengan tatapan bingung. "Saya Paul. Saya teman dari Rein dan Maira. Sejak beberapa hari ini Saya sudah mengenal putri Bapak dan Ibu," lanjut pria tampan berwajah bule itu. Sejak tadi Akbar dan Rita memang melihat keberadaan Paul di sana. Namun mereka tidak menyadari kalau sebenarnya putri mereka beberapa kali saling mencuri pandang dengan pria itu. Sebuah senyum bahagia namun malu-malu terbit dari wajah gadis cantik berhidung mancung itu. Pipi chubynya tampak semakin menggemaskan saat ia tersenyum. "Bagaimana, Sya? Kamu mau ditemani oleh Dia?tanya Akbar. Syafa mengangguk malu-malu. Maira dan Rein saling melirik dan mengulum senyum mereka. "Kalau Syafa mau, kami tidak mungkin melarang. Yang penting saat ini adala
Deru mesin mobil memasuki halaman terdengar dari dalam. Aina yang sejak tadi belum tidur segera bangkit dari ranjang, lalu melangkahkan kakinya hendak keluar membukakan pintu untuk Paul. "Hai, kamu baru pulang?" Paul terkejut saat pintu rumahnya terbuka. Aina tersenyum menyambutnya. Wanita itu memakai pakaian yang sangat minim. "Kamu belum tidur?" Paul balik bertanya sambil melangkah masuk melewati Aina yang masih berdiri di ambang pintu. Aina merasa sedikit kesal karena Paul mengabaikannya. Padahal ia sudah memakai pakaian tidur yang sangat tipis. Biasanya, Paul tidak akan pernah tahan melihatnya seperti itu. "Paul, tunggu!" Aina mengikuti Paul hingga ke kamarnya. "Ada apa? Aku lelah. Aku ingin istirahat." Paul membuka kaosnya lalu melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Lalu melorotkan celana panjangnya hingga meninggalkan sehelai boxer hitam, satu-satunya kain yang melekat di tubuhnya kini. Aina menelan salivanya melihat kejantanan Paul yang tercetak jelas dari ba
"Mbak Kayla, dipanggil Bu Nurma." Kayla yang baru saja keluar dari kamar mandi mendadak cemas saat mendengar nama Bu Nurma. Manajer restoran yang sejak kemarin mengancam akan memecatnya. "Iya, Mbak," sahutnya pada salah satu pelayan di restoran itu. Kayla melangkah ragu menuju ruang Bu Nurma yang terletak di belakang restoran ini, tepatnya di samping musholla. Apakah ia akan dipecat hari ini ? Apa dia akan dimarahi karena kemarin sempat hampir terjatuh hingga membuat suasana restoran jadi panik? Kayla hanya bisa menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya sesaat lagi. Perlahan ia mengetuk pintu ruangan Bu Nurma dengan gemetar. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Perlahan Kayla membuka pintu. Nampak.wanita bertubuh gemuk itu sedang menatapnya dengan intenst. "Selamat pagi, Bu!" Kayla mengangguk hormat pada manajer restoran itu. "Duduk!" Kayla perlahan duduk pada kursi yang berada tepat di depan wanita bertubuh gemuk itu. "Tolong jawab dengan jujur! Apa kamu sedang hamil?
"Bu Shinta. Terimakasih. Saya pikir, Saya akan langsung dipecat lagi setelah Ibu tau kalau Saya hamil." Kayla masih terus meneteskan air mata. Ia masih terkagum-kagum pada kebaikan wanita cantik di hadapannya. "Saya juga tidak menyangka, ternyata Ibu adalah pemilik perusahaan ini. Betapa ibu sangat baik dan bijaksana." lanjut Kayla yang tak sanggup menyimpa rasa haru, kagum dan bahagia melebur menjadi satu Maira yang sejak tadi menatap Kayla tak berkedip, tanpa dia sadari ikut meneteskan air mata. Ia dapat merasakan kesulitan wanita di hadapannya. Merasa sendirian, dikelilingi oleh orang-orang yang membencinya, dibentak, dimarahi serta dimaki setiap hari. Maira pernah merasakan hal itu dulu, dan ia tak pernah lupa sampai kapanpun. Bukan berarti dia dendam. Namun, ia bisa merasakan sakitnya saat itu, hingga ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan melakukan hal yang sama pada siapapun.."Kay..., maaf ya. Suami kamu ... dimana?" Dengan sangat hati-hati Maira bertanya sambil meng
"Sendirian? Mau ditemani?" Seorang wanita cantik bertubuh sintal mendekati pria yang sejak tadi hanya termenung di sebuah meja yang berada di sudut night club. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan pertanyaan wanita seksi yang kini telah duduk di sampingnya. "Kok diam aja. Lagi bete ya, Om? Ke atas, yuk!" Wanita berpakaian serba terbuka itu mengedipkan sebelah matanya. Jemari lentiknya mulai meraba-raba bagian dari tubuh kekar pria disebelahnya. "Maaf, Saya sedang tidak berminat!" gumam Raka seraya beringsut menjauh dari tubuh wanita itu. Entah kenapa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sentuhan dan godaan wanita muda yang sangat seksi itu. "Huh sombong banget. Bilang aja lagi bokek!" Suara wanita itu berubah ketus. Ia melirik penampilan Raka dari atas ke bawah. Di meja pun sama sekali tidak ada minuman yang terhidang. "Heh, kalau lagi bokek jangan ke sini! Miskin bangetlu! Minuman aja nggak sanggup beli!" Dengan kesal wanita itu bangkit berdiri dan beranjak dari meja Ra
"Rein ..., mau kemana?" Maira yang baru saja selesai salat subuh berjamaah dengan suaminya, terheran melihat Rein membuka kembali baju koko dan sarungnya. Maira pikir Rein akan berganti pakaian. "Tidak ke mana-mana. Karena hari libur, aku mau kelonan lagi sama istriku yang seksi ini." Rein memeluk Maira yang masih memakai mukena. Maira tersenyum, ternyata setelah membuka baju kokonya, Rein hanya memakai kaos tipis berupa dalaman dan boxer saja. Jelas terlihat otot-otot tubuhnya yang kekar. Hingga membuat Maira menelan salivanya. Rein membantu Maira membuka mukena. Kini ia yang tersenyum melihat istrinya yang sangat seksi dengan pakaian kesukaannya jika di dalam kamar. Seperti biasa, Maira mengenakan kaos sangat pendek dan menggantung di atas perut, serta celana soft jeans yang sangat pendek. Rambut panjangnya yang hitam dan lebat dibiarkan terurai bebas. "Aku serasa lagi pacaran sama abege tiap liat kamu berpenampilan kayak gini," gumam Rein. Matanya menatap kagum pada kaki jenja