"Mbak Kayla, dipanggil Bu Nurma." Kayla yang baru saja keluar dari kamar mandi mendadak cemas saat mendengar nama Bu Nurma. Manajer restoran yang sejak kemarin mengancam akan memecatnya. "Iya, Mbak," sahutnya pada salah satu pelayan di restoran itu. Kayla melangkah ragu menuju ruang Bu Nurma yang terletak di belakang restoran ini, tepatnya di samping musholla. Apakah ia akan dipecat hari ini ? Apa dia akan dimarahi karena kemarin sempat hampir terjatuh hingga membuat suasana restoran jadi panik? Kayla hanya bisa menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya sesaat lagi. Perlahan ia mengetuk pintu ruangan Bu Nurma dengan gemetar. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Perlahan Kayla membuka pintu. Nampak.wanita bertubuh gemuk itu sedang menatapnya dengan intenst. "Selamat pagi, Bu!" Kayla mengangguk hormat pada manajer restoran itu. "Duduk!" Kayla perlahan duduk pada kursi yang berada tepat di depan wanita bertubuh gemuk itu. "Tolong jawab dengan jujur! Apa kamu sedang hamil?
"Bu Shinta. Terimakasih. Saya pikir, Saya akan langsung dipecat lagi setelah Ibu tau kalau Saya hamil." Kayla masih terus meneteskan air mata. Ia masih terkagum-kagum pada kebaikan wanita cantik di hadapannya. "Saya juga tidak menyangka, ternyata Ibu adalah pemilik perusahaan ini. Betapa ibu sangat baik dan bijaksana." lanjut Kayla yang tak sanggup menyimpa rasa haru, kagum dan bahagia melebur menjadi satu Maira yang sejak tadi menatap Kayla tak berkedip, tanpa dia sadari ikut meneteskan air mata. Ia dapat merasakan kesulitan wanita di hadapannya. Merasa sendirian, dikelilingi oleh orang-orang yang membencinya, dibentak, dimarahi serta dimaki setiap hari. Maira pernah merasakan hal itu dulu, dan ia tak pernah lupa sampai kapanpun. Bukan berarti dia dendam. Namun, ia bisa merasakan sakitnya saat itu, hingga ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan melakukan hal yang sama pada siapapun.."Kay..., maaf ya. Suami kamu ... dimana?" Dengan sangat hati-hati Maira bertanya sambil meng
"Sendirian? Mau ditemani?" Seorang wanita cantik bertubuh sintal mendekati pria yang sejak tadi hanya termenung di sebuah meja yang berada di sudut night club. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan pertanyaan wanita seksi yang kini telah duduk di sampingnya. "Kok diam aja. Lagi bete ya, Om? Ke atas, yuk!" Wanita berpakaian serba terbuka itu mengedipkan sebelah matanya. Jemari lentiknya mulai meraba-raba bagian dari tubuh kekar pria disebelahnya. "Maaf, Saya sedang tidak berminat!" gumam Raka seraya beringsut menjauh dari tubuh wanita itu. Entah kenapa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sentuhan dan godaan wanita muda yang sangat seksi itu. "Huh sombong banget. Bilang aja lagi bokek!" Suara wanita itu berubah ketus. Ia melirik penampilan Raka dari atas ke bawah. Di meja pun sama sekali tidak ada minuman yang terhidang. "Heh, kalau lagi bokek jangan ke sini! Miskin bangetlu! Minuman aja nggak sanggup beli!" Dengan kesal wanita itu bangkit berdiri dan beranjak dari meja Ra
"Rein ..., mau kemana?" Maira yang baru saja selesai salat subuh berjamaah dengan suaminya, terheran melihat Rein membuka kembali baju koko dan sarungnya. Maira pikir Rein akan berganti pakaian. "Tidak ke mana-mana. Karena hari libur, aku mau kelonan lagi sama istriku yang seksi ini." Rein memeluk Maira yang masih memakai mukena. Maira tersenyum, ternyata setelah membuka baju kokonya, Rein hanya memakai kaos tipis berupa dalaman dan boxer saja. Jelas terlihat otot-otot tubuhnya yang kekar. Hingga membuat Maira menelan salivanya. Rein membantu Maira membuka mukena. Kini ia yang tersenyum melihat istrinya yang sangat seksi dengan pakaian kesukaannya jika di dalam kamar. Seperti biasa, Maira mengenakan kaos sangat pendek dan menggantung di atas perut, serta celana soft jeans yang sangat pendek. Rambut panjangnya yang hitam dan lebat dibiarkan terurai bebas. "Aku serasa lagi pacaran sama abege tiap liat kamu berpenampilan kayak gini," gumam Rein. Matanya menatap kagum pada kaki jenja
"Sudah siap, Bro?" Raka baru saja tiba di rumah Paul. Pria bule pemilik rumah minimalis itu tampak sudah rapi dengan pakaian casualnya. Paul terlihat semakin tampan hingga Raka sedikit minder berada di dekatnya. Dulu, Raka begitu percaya diri setiap berada di manapun. Namun kini, sejak ia tak lagi bekerja, kepercayaan dirinya hilang begitu saja. Ia juga sudah tak mempedulikan lagi bagaimana penampilannya sekarang. Beban pikiran yang memenuhi kepalanya membuatnya tak lagi peduli dengan hal itu. "Kita sarapan dulu!" ajak Paul. Raka menggeleng. "Tidak. Terimakasih. Aku di sini saja." Raka mendudukkan tubuhnya di kursi teras. "Serius nggak mau sarapan? Lihat, tubuhmu semakin kurus, Bos!" Paul sedikit memaksa. Ia tau Raka pasti belum makan. Sekali lagi Raka menggeleng. Ia enggan masuk ke dalam rumah Paul. Ada Aina dan Maminya di sana. Dirinya yang kini sudah bangkrut merasa tak berharga berada di antara kedua wanita yang merupakan mantan istri dan mertuanya. "Ya sudah kalau begitu.
"Maafin Papa, Sayang!" Raka menggendong tubuh montok Kaisar dan mendekapnya erat. Aroma khas bedak bayi tubuh Kaisar membuatnya teringat kembali saat Kaisar masih merah. "Kaisar mau kan maafin Papa?" Raka mengurai pelukan dan menatap wajah anaknya dengan penuh penyesalan. Seakan mengerti, Kaisar mengangguk mendengar permintaan Raka. Raka kembali mendekap putra satu-satunya itu. Kaisar menatap wajah papanya yang sudah basah. Tangan mungil itu terulur dan mengusap lembut pipi Raka. "Papa kok nangis?" tanyanya dengan wajah polos. "Papa menyesal pernah marahin Kaisar waktu itu. Papa Sayang dan rindu dengan Kaisar." Bocah tampan dan lucu itu tersenyum. "Kata Daddy, jagoan tidak boleh cengeng!" Kaisar memperlihatkan telunjuknya pada Raka. Sontak semua yang ada di ruangan itu tersenyum. Maira melirik suaminya penuh cinta. Rein telah banyak memberikan pengaruh baik pada putranya. Siang itu Raka sangat bahagia kembali bisa dekat dengan Kaisar. Mereka makan siang bersama. Walaupun Kais
"Lagi cari apa, Shinta?" Maira terlonjak saat mendengar suara Paul menyapanya. Sontak wanita itu bergeser dari tangga yang entah menuju kemana. Tangga itu terkesan tersembunyi dan gelap karena tidak diberi penerangan di atasnya. "Ini, Aku nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan aja ke taman belakang. Lewat jalan mana, ya? Rumah Bu Laura ini besar dan banyak ruangannya. Aku jadi bingung. Hahaha ..." Maira bicara untuk mengalihkan perhatian Paul. Ia celingak-celinguk seolah-olah sedang mencari pintu keluar. "Mau ke taman? Yuk Aku antar. Sekalian kita keliling rumah ini! Kebetulan Aku juga sedang tidak sibuk," ajak Paul sambil melangkah ke arah taman. Sementara Maira terpaksa mengikuti langkah lebar pria bule itu. Paul melambatkan langkahnya melihat Maira yang kesulitan mengimbanginya. Ia menjelaskan satu persatu ruangan apa saja yang sedang mereka lalui itu. Sesekali Maira menoleh pada Paul. Kenapa ia baru menyadari sekarang kalau postur tubuh dan bentuk wajah Paul sedikit mirip d
"Maaf, Bu Laura, ini foto siapa?" Maira memberanikan diri bertanya saat mereka berhenti di depan tangga kecil dan melingkar. Paul pun tak kalah terkejut. Ia seolah melihat dirinya sendiri saat memandang foto itu. "Nanti Aku akan jelaskan," jawab Laura. Wanita itu menekan saklar lampu yang berada di balik foto besar itu. Setelah lampu menyala. Dia melangkah naik menyusuri tangga. Maira mengikuti langkah Laura. Pandangannya tak lepas dari foto yang sepertinya berusia puluhan tahun yang lalu. Rein pun demikian. Rasa penasaran yang membuncah membuatnya tak sabar ingjn mengetahui fakta yang akan dikatakan oleh Laura. Berkali-kali netranya melirik foto pria bule yang berada di dinding tangga ini. Laura membuka pintu sebuah ruangan yang berada persis di depan tangga di lantai dua ini.Sebuah ruangan mirip ruang kerja dengan beberapa rak buku dan lemari berisi dokumen dan album foto tersusun rapi di dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu. "Kalian duduklah!" Laura meminta semuanya