"Sudah siap, Bro?" Raka baru saja tiba di rumah Paul. Pria bule pemilik rumah minimalis itu tampak sudah rapi dengan pakaian casualnya. Paul terlihat semakin tampan hingga Raka sedikit minder berada di dekatnya. Dulu, Raka begitu percaya diri setiap berada di manapun. Namun kini, sejak ia tak lagi bekerja, kepercayaan dirinya hilang begitu saja. Ia juga sudah tak mempedulikan lagi bagaimana penampilannya sekarang. Beban pikiran yang memenuhi kepalanya membuatnya tak lagi peduli dengan hal itu. "Kita sarapan dulu!" ajak Paul. Raka menggeleng. "Tidak. Terimakasih. Aku di sini saja." Raka mendudukkan tubuhnya di kursi teras. "Serius nggak mau sarapan? Lihat, tubuhmu semakin kurus, Bos!" Paul sedikit memaksa. Ia tau Raka pasti belum makan. Sekali lagi Raka menggeleng. Ia enggan masuk ke dalam rumah Paul. Ada Aina dan Maminya di sana. Dirinya yang kini sudah bangkrut merasa tak berharga berada di antara kedua wanita yang merupakan mantan istri dan mertuanya. "Ya sudah kalau begitu.
"Maafin Papa, Sayang!" Raka menggendong tubuh montok Kaisar dan mendekapnya erat. Aroma khas bedak bayi tubuh Kaisar membuatnya teringat kembali saat Kaisar masih merah. "Kaisar mau kan maafin Papa?" Raka mengurai pelukan dan menatap wajah anaknya dengan penuh penyesalan. Seakan mengerti, Kaisar mengangguk mendengar permintaan Raka. Raka kembali mendekap putra satu-satunya itu. Kaisar menatap wajah papanya yang sudah basah. Tangan mungil itu terulur dan mengusap lembut pipi Raka. "Papa kok nangis?" tanyanya dengan wajah polos. "Papa menyesal pernah marahin Kaisar waktu itu. Papa Sayang dan rindu dengan Kaisar." Bocah tampan dan lucu itu tersenyum. "Kata Daddy, jagoan tidak boleh cengeng!" Kaisar memperlihatkan telunjuknya pada Raka. Sontak semua yang ada di ruangan itu tersenyum. Maira melirik suaminya penuh cinta. Rein telah banyak memberikan pengaruh baik pada putranya. Siang itu Raka sangat bahagia kembali bisa dekat dengan Kaisar. Mereka makan siang bersama. Walaupun Kais
"Lagi cari apa, Shinta?" Maira terlonjak saat mendengar suara Paul menyapanya. Sontak wanita itu bergeser dari tangga yang entah menuju kemana. Tangga itu terkesan tersembunyi dan gelap karena tidak diberi penerangan di atasnya. "Ini, Aku nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan aja ke taman belakang. Lewat jalan mana, ya? Rumah Bu Laura ini besar dan banyak ruangannya. Aku jadi bingung. Hahaha ..." Maira bicara untuk mengalihkan perhatian Paul. Ia celingak-celinguk seolah-olah sedang mencari pintu keluar. "Mau ke taman? Yuk Aku antar. Sekalian kita keliling rumah ini! Kebetulan Aku juga sedang tidak sibuk," ajak Paul sambil melangkah ke arah taman. Sementara Maira terpaksa mengikuti langkah lebar pria bule itu. Paul melambatkan langkahnya melihat Maira yang kesulitan mengimbanginya. Ia menjelaskan satu persatu ruangan apa saja yang sedang mereka lalui itu. Sesekali Maira menoleh pada Paul. Kenapa ia baru menyadari sekarang kalau postur tubuh dan bentuk wajah Paul sedikit mirip d
"Maaf, Bu Laura, ini foto siapa?" Maira memberanikan diri bertanya saat mereka berhenti di depan tangga kecil dan melingkar. Paul pun tak kalah terkejut. Ia seolah melihat dirinya sendiri saat memandang foto itu. "Nanti Aku akan jelaskan," jawab Laura. Wanita itu menekan saklar lampu yang berada di balik foto besar itu. Setelah lampu menyala. Dia melangkah naik menyusuri tangga. Maira mengikuti langkah Laura. Pandangannya tak lepas dari foto yang sepertinya berusia puluhan tahun yang lalu. Rein pun demikian. Rasa penasaran yang membuncah membuatnya tak sabar ingjn mengetahui fakta yang akan dikatakan oleh Laura. Berkali-kali netranya melirik foto pria bule yang berada di dinding tangga ini. Laura membuka pintu sebuah ruangan yang berada persis di depan tangga di lantai dua ini.Sebuah ruangan mirip ruang kerja dengan beberapa rak buku dan lemari berisi dokumen dan album foto tersusun rapi di dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu. "Kalian duduklah!" Laura meminta semuanya
"Kaisaar!" "Reiin, Kaisar jatuh!!" Maira dan Rein berteriak panik. Suara tangis melengking dari putra mereka membuat Maira dan Rein semakin panik. Mobil CRV milik Rein menghantam trotoar cukup keras hingga menimbulkan suara yang cukup kencang. Suara decitan rem mobil yang berhenti mendadak terdengar bersamaan dengan suara sebuah mobil yang menghantam mobil Rein dari belakang. Rein dan Maira segera melepas sabuk pengamannya dan melompat keluar dari mobil. Dengan gerak cepat Rein membuka pintu belakang dan meraih Kaisar yang terguling ke bawah jok. Wajahnya nampak panik melihat darah yang mengalir di kepala bocah berumur dua tahun itu. "Ambulan ... tolong panggil ambulan!"Rein berteriak-teriak bagai kesetanan sambil mendekap Kaisar yang masih menangis. "Kaisar, Kaisar !" Maira membantu Nina keluar dari mobil, namun ia terus menyebut nama Kaisar karena panik. Dalam waktu singkat jalanan langsung menjadi macet. Beberapa orang sibuk berlarian dan menelpon. Ada juga yang sibuk merekam
"Bajingan! Ternyata Kamu orangnya!" Pria gondrong dengan rambut diikat itu menunduk ketakutan. Ia tak berani bertatapan muka dengan Rein. Tubuhnya gemetar berhadapan dengan Rein yang dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Wajah Rein menggelap. Napasnya naik turun menahan emosi. Kedua tangannya telah mengepal erat. Emosinya sungguh tak tertahankan. "Kamu hampir membunuh anakku, bangsaat!" Rein mencengkeram kaos lusuh pria itu lalu menghempaskan tubuh kurus itu ke dinding. "Pak Rein, Pak Rein, tahan Pak! Tahan emosi Bapak. Ini bisa membahayakan Bapak sendiri nantinya!"Peter berusaha mencegah Rein untuk berbuat lebih jauh lagi. "Aaahk!" Rein berteriak. Satu tangannya memukul dinding ruangan itu dengan cukup keras. Susah payah pria bule berbadan kekar itu menahan emosi. Ia menarik napas dalam. Berharap dapat meredam emosinya yang kian memuncak. Bayangan Kaisar menangis dan terguling di bawah jok membuatnya ingin membunuh Alif saat itu juga. "Pak Rein. Sebaiknya anda tenangkan
"Daddy ... Daddy ...!" Kaisar memberontak membuang badannya ke arah Rein. Rein mendekat hendak meraih Kaisar. Namun Raka yang sudah dipengaruhi emosi mencoba untuk mempertahankan putranya dalam dekapannya. Untuk sementara Rein mengikuti kemauan Raka. Ia khawatir keselamatan Kaisar akan terancam. "Mas, Kemarikan Kaisar! Kasihan dia sedang terluka!" Tiba-tiba Maira keluar dari kamar dan menghampiri Kaisar. "Tidak! Kaisar anakku. Aku yang berhak atas dirinya. Kalian berdua tidak becus menjaganya sampai dia terluka seperti ini." Raka mendekap Kaisar erat, anak itu masih menangis dan memberontak karena kesulitan bergerak. Rein semakin geram. Ia seakan berhenti bernapas menahan rasa ibanya pada Kaisar yang tak henti-hentinya menangis. "Berikan Kaisar padaku! Atau aku akan menghajarmu!" Rein susah payah menahan diri untuk tidak mengumpat dan tidak berbuat kasar di depan Kaisar. Sebisa mungkin ia meredam emosinya. Rumah besar itu menjadi gaduh dan berisik karena tangisan Kaisar yang sem
"Maa ..., Mama ...!" Dengan sigap, Paul meraih tubuh Laura yang tiba-tiba luruh ke lantai. "Mama .... Mama sadar, Ma!" Paul segera membaringkan tubuh Laura di sofa ruang tamu. Mendengar teriakan majikannya, para asisten rumah tangga Paul berhamburan mendekat karena panik. "Bu ...ya Allah, Bu!". ""Ibu kenapa? Ibu Kenapa?" " Bu Laura, sadaar Bu!" Laura yang hampir tidak pernah sakit dan aelalu tampak ceria, tiba-tiba saja tak sadarkan diri, membuat semua penghuni rumah mewah itu panik dan khawatir. "Tolong siapkan mobil! Saya mau bawa Mama ke rumah sakit!" Paul perintahkan salah satu security rumahnya. "Baik, Tuan!" Security itu langsung berlari keluar. Sejak Maira dan Rein pulang kemarin, kesehatan Laura sempat drop. Wanita paruh baya yang selalu terlihat ceria dan energik itu, tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam dan sering melamun. Laura tidak selera makan dan lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Paul yang hari ini hendak kembali ke Jakarta, menbatalkan rencananya. Ia