"Kaisaar!" "Reiin, Kaisar jatuh!!" Maira dan Rein berteriak panik. Suara tangis melengking dari putra mereka membuat Maira dan Rein semakin panik. Mobil CRV milik Rein menghantam trotoar cukup keras hingga menimbulkan suara yang cukup kencang. Suara decitan rem mobil yang berhenti mendadak terdengar bersamaan dengan suara sebuah mobil yang menghantam mobil Rein dari belakang. Rein dan Maira segera melepas sabuk pengamannya dan melompat keluar dari mobil. Dengan gerak cepat Rein membuka pintu belakang dan meraih Kaisar yang terguling ke bawah jok. Wajahnya nampak panik melihat darah yang mengalir di kepala bocah berumur dua tahun itu. "Ambulan ... tolong panggil ambulan!"Rein berteriak-teriak bagai kesetanan sambil mendekap Kaisar yang masih menangis. "Kaisar, Kaisar !" Maira membantu Nina keluar dari mobil, namun ia terus menyebut nama Kaisar karena panik. Dalam waktu singkat jalanan langsung menjadi macet. Beberapa orang sibuk berlarian dan menelpon. Ada juga yang sibuk merekam
"Bajingan! Ternyata Kamu orangnya!" Pria gondrong dengan rambut diikat itu menunduk ketakutan. Ia tak berani bertatapan muka dengan Rein. Tubuhnya gemetar berhadapan dengan Rein yang dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Wajah Rein menggelap. Napasnya naik turun menahan emosi. Kedua tangannya telah mengepal erat. Emosinya sungguh tak tertahankan. "Kamu hampir membunuh anakku, bangsaat!" Rein mencengkeram kaos lusuh pria itu lalu menghempaskan tubuh kurus itu ke dinding. "Pak Rein, Pak Rein, tahan Pak! Tahan emosi Bapak. Ini bisa membahayakan Bapak sendiri nantinya!"Peter berusaha mencegah Rein untuk berbuat lebih jauh lagi. "Aaahk!" Rein berteriak. Satu tangannya memukul dinding ruangan itu dengan cukup keras. Susah payah pria bule berbadan kekar itu menahan emosi. Ia menarik napas dalam. Berharap dapat meredam emosinya yang kian memuncak. Bayangan Kaisar menangis dan terguling di bawah jok membuatnya ingin membunuh Alif saat itu juga. "Pak Rein. Sebaiknya anda tenangkan
"Daddy ... Daddy ...!" Kaisar memberontak membuang badannya ke arah Rein. Rein mendekat hendak meraih Kaisar. Namun Raka yang sudah dipengaruhi emosi mencoba untuk mempertahankan putranya dalam dekapannya. Untuk sementara Rein mengikuti kemauan Raka. Ia khawatir keselamatan Kaisar akan terancam. "Mas, Kemarikan Kaisar! Kasihan dia sedang terluka!" Tiba-tiba Maira keluar dari kamar dan menghampiri Kaisar. "Tidak! Kaisar anakku. Aku yang berhak atas dirinya. Kalian berdua tidak becus menjaganya sampai dia terluka seperti ini." Raka mendekap Kaisar erat, anak itu masih menangis dan memberontak karena kesulitan bergerak. Rein semakin geram. Ia seakan berhenti bernapas menahan rasa ibanya pada Kaisar yang tak henti-hentinya menangis. "Berikan Kaisar padaku! Atau aku akan menghajarmu!" Rein susah payah menahan diri untuk tidak mengumpat dan tidak berbuat kasar di depan Kaisar. Sebisa mungkin ia meredam emosinya. Rumah besar itu menjadi gaduh dan berisik karena tangisan Kaisar yang sem
"Maa ..., Mama ...!" Dengan sigap, Paul meraih tubuh Laura yang tiba-tiba luruh ke lantai. "Mama .... Mama sadar, Ma!" Paul segera membaringkan tubuh Laura di sofa ruang tamu. Mendengar teriakan majikannya, para asisten rumah tangga Paul berhamburan mendekat karena panik. "Bu ...ya Allah, Bu!". ""Ibu kenapa? Ibu Kenapa?" " Bu Laura, sadaar Bu!" Laura yang hampir tidak pernah sakit dan aelalu tampak ceria, tiba-tiba saja tak sadarkan diri, membuat semua penghuni rumah mewah itu panik dan khawatir. "Tolong siapkan mobil! Saya mau bawa Mama ke rumah sakit!" Paul perintahkan salah satu security rumahnya. "Baik, Tuan!" Security itu langsung berlari keluar. Sejak Maira dan Rein pulang kemarin, kesehatan Laura sempat drop. Wanita paruh baya yang selalu terlihat ceria dan energik itu, tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam dan sering melamun. Laura tidak selera makan dan lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Paul yang hari ini hendak kembali ke Jakarta, menbatalkan rencananya. Ia
"Reiin ..." "Ya, Sayang!" "Bangun, yuk! Udah siang banget." Bukannya bangkit, Rein justru semakin mempererat pelukannya pada Maira. Mereka baru terjaga setelah lelah menghadapi Raka pagi tadi. "Aku masih mau peluk kamu, Sayang. Gimana, dong?"sahut Rein dengan suara serak khas suara orang bangun tidur. Aroma maskulin dari tubuhnya membuat Maira semakin nyaman berada dalam dekapan tubuh kekar itu. Entah berapa lama mereka berpelukan sejak tadi. Sepasang suami istri itu seakan tak pernah ingin berjauhan. "Kamu nggak laper, Rein? Tadi pagi kamu nggak sarapan di rumah." Maira mengingatkan. Semalam suaminya itu pergi terburu-buru dan pulang ketika sudah pagi. Karena lelah dan mengantuk, Rein langsung tidur hingga siang.. "Aku maunya makan kamu," desis Rein sambil menciumi leher jenjang Maira yang selalu wangi. Aroma tubuh Maira begitu memabukkan bagi Rein. Ia selalu rindu dengan wangi tubuh istrinya, hingga membuatnya candu. "Reiin ..., aah .. itu ..itu ada Kaisar di kamar ini. Kamu
"Astaga kenapa macet begini?" Rein mengumpat dalam hati karena hampir semua jalan di Jakarta mengalami kemacetan. Rein terus berusaha mencari jalan alternatif lain agar segera bisa masuk ke jalan tol menuju Bandung. Entah kenapa Pria bule itu sangat ingin segera tiba menemui Laura. Hati dan perasaannya tiba-tiba berubah setelah mendengar ucapan Maira. Sepanjang jalan Rein mencoba kilas balik tentang kehidupannya di masa lalu. Dia hanya bisa mengingat kenangan sejak mulai sekolah di Sekolah Dasar. Orang-orang mengira Rein berasal dari luar negeri. Robert memang berperawakan sedikit kebarat-baratan. Karena ada campuran darah Amerika dalam tubuhnya. Jadi siapapun tidak heran jika melihat Rein juga seperti anak bule. Namun dia tidak pernah merasakan kasih sayang seutuhnya dari Ayah dan Ibunya. Mereka sibuk mengurus dirinya masing-masing. Bisa dikatakan keluarga mereka sangat tidak harmmonis sejak dulu.. Sejak kecil Rein tidak ada yang mengajak berbincang, hingga dia tumbuh menjadi
"Bu Shinta, hari ini kita ada jadwal rapat seluruh pemegang saham. Apa Pak Raka akan diundang?" Dewi sejak tadi berada di dalam ruangan Maira untuk mempersiapkan semua berkas meeting dengan semua pemegamg saham seluruh anak perusahaan Eternal Group. "Iya, undang saja! Semua kita undang tanpa kecuali. Saham Raka juga masih ada di beberapa anak perusahaan kita." "Baik, Bu Shinta. Setelah ini Saya akan hubungi Pak Raka dan memintanya untuk datang," sahut Dewi "Jangan lupa katakan pada Kayla agar hari ini membantu si Kanti di bagian pantry untuk menyiapkan minuman dan cemilan bagi para peserta meeting. Pesan saja di Toko Roti di mall depan. Minumannya juga pesan yang praktis saja. Hari ini peserta meeting kita cukup banyak " "Baik Bu Shinta," Dewi menyimak dengan baik setiap perkataan Maira. "Satu lagi, tolong beritahu Said agar segera ke ruanganku. Aku ingin nanti dia yang bicara. Rein masih berada di Bandung, ada urusan keluarga." "Baik, Bu Shinta. Apa ada lagi yang harus saya
"Kayla, kamu kenapa? Kamu habis nangis?" Dewi baru saja masuk ke toilet wanita, terkejut melihat Kayla sedang mengusap matanya yang memerah. Kayla menggeleng. "Mataku kelilipan, Mbak Dewi. Aku duluan, ya!" "Eeeh, ntar dulu! Kamu pasti bohong, kan?" Dewi menghalangi Kayla untuk keluar dari toilet. Wanita itu penasaran dengan apa yang terjadi pada wanita cantik berhijab itu. Dewi menyipitkan matanya memandang wajah Kayla yang terlihat sedih. Sementara Kayla yang tadi sudah membuka maskernya, berusaha menutupi wajahnya. "Kay ..., kalau ada apa-apa, cerita aja. Siapa tau aku bisa bantu." Kayla mengangguk cepat. Ia ingin segera keluar dari sana. "Makasih, Mbak Dewi. Aku nggak apa-apa, kok. Aku keluar dulu." Kali ini Dewi membiarkan Kayla keluar dari toilet itu. Ia sangat yakin Kayla berbohong. Waktunya jam makan siang karyawan. Dengan langkah cepat Kayla berjalan keluar kantor menuju warung nasi yang berada di pinggiran jalan, cukup jauh dari Eternal Group. Karena hendak berhema