"Hai, Kay! Kamu kemana aja kemarin? Dicariin Bu Shinta, tuh!" Kayla menghentikan langkahnya saat Dewi memanggilnya. "A-aku kemarin nggak enak badan, Mbak Dewi. Maaf kemarin lupa ngabarin juga. Seharian Aku tiduran aja." Kayla nampak gugup "Kay, sini deh! Aku mau tanya sesuatu." Kayla mendekat pada Dewi yang memanggil dari mejanya. "Kay, memangnya benar kemarin kamu naik mobilnya Pak Raka di tepi jalan?" "Mbak Dewi tau dari mana?" sontak Kayla menjadi lebih gugup. "Jadi beneran kamu digodain sama Pak Raka?" Mata Dewi membulat tak percaya."Nggak, Mbak. Pak Raka cuma ajak Aku bareng sampai depan aja," jawabnya terpaksa berbohong. Andai saja Raka mengakuinya sebagai istri pada semua orang, tentunya ia tak akan berbohong saat ini."Awas hati-hati sama Pak Raka itu, loh Kay! Dia itu suka selingkuh. Bu Shinta dulu bercerai dengan Pak Raka gara-gara mantan suaminya itu selingkuh." Kayla hampir terlonjak mendengar perkataan Dewi. Mantan suami?"Pak Raka itu mantan suaminya Bu Shinta?
"Ada apa dengan Maira? Setahuku dia baik-baik saja," Rein berkata tenang. Ia melihat wajah Raka yang tak suka padanya. Pria itu sudah duduk di ruang tamu menunggu Laura. "Kamu membiarkan Maira bekerja sendiri. Bahkan urusan perusahaanmu pun dia yang tangani. Sedangkan kamu enak-enakan santai di sini!" Raka berkata sambil memandang sinis pada pria bule itu.. "Loh dari mana kamu tahu kalau Maira bekerja sendiri? Kami masing-masing punya asisten." Emosi Rein mulai.terpancing. Raka tertawa meremehkan. "Apapun tentang Maira Aku tahu. Walaupun dia sudah bukan istfiku lagi. Tapi dia tidak pernah lepas dari pantauanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya." Rein tersenyum miring mendengar ucapan pria klimis mantan suami Maira itu. "Maira dan Aku bekerjasama dalam mengelola perusahaan kami," ungkap Rein tegas. "Halaah, Aku tau kamu itu hanya ingin memanfaatkan Maira, bukan!" Lagi-lagi Raka tersenyum sinis.. "Cukup, Raka! Kamu ke sini mau ketemu Bu Laura, kan? Jadi tolong ja
"Paul, kamu jadi ke Jakarta hari ini untuk menjemput kekasihmu?" Laura baru saja hendak sarapan pagi bersama kedua anak kembarnya. "Iya, jadi, Ma." sahut Paul yang mulai memoleskan selai pada dua potong roti tawar di piringnya.. Rein menoleh pada saudara kembarnya. Wajah Paul tampak sangat yakin." Laura pun terlihat berseri-seri. Sejak semalam ia menolak untuk memakai kursi roda. Semangatnya menjadi berlipat-lipat ketika mendengar Paul akan menikahi wanita cantik dan cerdas, seperti yang paul katakan padanya. "Apa Maira juga akan ke sini, Josh? Kapan kamu akan jemput Maira?" Kali ini Laura menoleh dan menatap penuh tanya pada Rein. "Maira akan ke sini dengan supir kami, Mah. Kalau kami semua ke Jakarta, siapa yang akan temani Mama di sini?" sahut Rein yang memilih sarapan nasi goreng pagi ini. "Kalian itu terlalu berlebihan. Mama sudah sehat. Asisten rumah tangga di sini ada tiga. Kalian tidak perlu khawatir!" protes Laura, walaupun jauh di lubuk hatinya ia sangat merasa bahagi
"Kak Paul ..." Paul menoleh pada arah suara yang sangat ia rindukan. Seorang gadis cantik dengan rambut tergerai indah duduk di atas kursi roda, baru saja keluar dari satu-satunya kamar di rumah itu. Paul bangkit dan menghampiri gadis yang belakangan ini bayangannya selalu mengisi hari-harinya. "Apa kabar, Syaa ...?" Sapa Paul lembut. Pria bule itu berjongkok di depan Syafa hingga kini tinggi mereka sejajar. Paul meraih jemari lentik dan putih milik Syafa, kemudian menciumnya cukup lama dalam mata terpejam. "Aku rindu ...," lirihnya. Syafa tersenyum haru. Ada tetesan embun yang menggantung di kedua pelupuk matanya. Ia pun merasakan hal yang sama. Rindu. Sangat rindu. Rindu dalam kegelisahan yang tak menentu dalam beberapa hari ini. Tidak ada kabar dari Paul sejak ia pulang dari rumah sakit. Ia gelisah karena takut tidak akan melihat pria itu lagi. Namun tiba-tiba pria itu saat ini sudah berada di depannya. Bahagia yang terkira ia rasakan kini. Paul kembali membuka matanya dan
"Maaf, ya. Ke Bandungnya tertunda beberapa jam!" Paul meraih jemari Syafa. "Iya, Kak. Nggak apa-apa. Aku juga sudah lama banget nggak jalan-,jalan ke Jakarta." Paul tersenyum mendengar jawaban Syafa. Ia lega gadis itu tidak protes. Cinta Pria bule itu semakin bertambah pada Syafa, karena sikap lembut dan penurutnya. Paul berjanji dalam hati, bahwa ia akan menjaga gadis itu seutuhnya hingga tiba waktunya nanti. Setelah melalui perjalanan kurang lebih satu jam, mereka tiba di depan nigth club yang masih tutup. Syafa tercengang melihat gedung tiga lantai yang cukup besar milik paul. "Ayo Aku bantu turun, Syaa!" Syafa menggeleng. "Kenapa?"."Aku di sini aja, Kak." Syafa tertunduk. ia malu dengan kondisinya. "Tidak! Kamu harus ikut denganku! Paul membantu membuka sabuk pengaman Syafa hingga Pria tampan berwajah bule itu merasakan hembusan napas Syafa serta detak jantung gadis itu yang terdengar lebih cepat olehnya. Mereka bertatapan sesaat. Ada aura kegelisahan yang nampak di waja
"Lusa Saya akan kembali lagi. Aku harap masalahnya sudah selesai saat Aku kembali!" Syafa buru-buru menghapus air matanya saat mendengar suara Paul mendekat. Gadis itu memastikan agar tak ada sedikitpun sisa air mata di wajahnya. Ia berusaha untuk menahan rasa sesak dan nyeri di dada. Ingin rasanya untuk tidak percaya akan kata-kata wanita yang bernama Aina tadi. Namun hati kecil Syafa justru sulit untuk melupakan kata-kata tajam yang keluar dari mulut Aina tadi. "Syaa, yuk Kita berangkat!" Paul langsung mendorong kursi roda Syafa menuju mobil. Ia menggendong tubuh gadis itu untuk masuk ke mobil. Paul sempat mengusap kepala Syafa dengan penuh kasih sayang sebelum ia beranjak dan menutup pintu mobil. Kemudian Paul melipatkursi roda itu dan memasukkannya kembali ke dalam bagasi. Setelahnya, pria bule itu masuk ke dalam mobi, lalu mulai melajukannya. Dari kejauhan Aina melihat semua itu dengan rasa marah yang meletup-letup. "Apa sih yang diharapkan Paul dari gadis cacat itu? Lihat
"Mama ..., Rein." Laura sontak berdiri. Ia memandang Paul yang mendorong kursi roda Syafa dengan tatapan dingin. "Maaa, kenalkan ini Syafa!" Paul mendekatkan kursi roda Syafa ke hadapan mamanya. Namun Laura malah spontan melangkah mundur. Tatapannya tak berpindah pada Syafa yang terus menunduk. Sedetik kemudian Syafa mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum gugup. "Maa, ini Syafa. Belum lama ini Syafa mengalami kecelakaan." Rein menyentuh bahu Laura, berharap agar mamanya itu mau menerima tangan Syafa yang sudah terulur.. Sementara Paul menahan rasa sesak yang begitu menghimpit dadanya saat ini, melihat sikap dingin mamanya yang jelas terlihat oleh Syafa. Mamanya itu memang sejak dulu tak pernah bisa menyembunyikan sikap dan berpura-pura di depan siapapun. "Kecelakaan?" Laura mengulang kata-kata Rein. Melihat itu Rein hendak bicara menjelaskan kejadian sebenarnya pada Laura, namun Paul memberi kode agar Rein tidak melakukan itu. "Iya, Ma, dan dokter bilan
"'Syafa, ini kamarmu. Kamarku di sebelah. Jika ada apa-apa kamu telpon Aku aja!" Syafa ternganga melihat kamar yang begitu besar. Mungkin ukurannya lima kali lipat dari besar kamarnya. Ada ranjang berukuran kingsize serta barang-barang mewah lainnya. "Kalau mau ke kamar mandi, nanti aku minta salah satu asisten rumah tangga di sini yang membantu," lanjut Paul yang masih menatap gadis itu dengan intens. Ia gemas melihat wajah Syafa yang terkagum-kagum dengan kamar tamu yang ia tempati. "Kamarnya besar sekali Kak. Bagus." Paul tersenyum. Ia bahagia melihat wajah Syafa yang mulai ceria, pria bule itu mendorong kursi roda Syafa ke kamar mandi. Lalu ia membuka pintu kamar mandi itu. "Kamar mandinya aman dan muat jika kamu membawa kursi roda ini ke dalamnya." Syafa kembali tercengang. Karena kamar mandi itu jauh lebih bagus dari pada ruang tamu rumahnya di bogor. Lantai keramik yang kering serta kaca besar membuat kamar mandi itu nampak lebih luas. "Kak, kamar mandi ini bagus bange