Share

TERSESAT DALAM GAIRAH
TERSESAT DALAM GAIRAH
Author: SURIYANA

1. Dewi Pagi Hari

Suara tangisan bayi membangunkan Dewi dari tidur lelapnya. Pukul 06.00 WIB! Tak ada waktu untuk bermalas-malasan! Sekilas ia melihat Anton yang masih terlelap. Dewi menarik selimut yang dipakai suaminya itu dengan sekali hentakan.

Anton terlonjak kaget. Dewi mengeraskan rahang dan menatap tajam suaminya namun tidak berkata apa-apa. Ia sudah bosan menasihati suaminya agar mengurangi sifat malasnya itu. Tapi, apa? Sampai saat ini, tidak ada perubahan apapun dari suaminya itu.

***

Aktivitas pagi harinya selalu sama. Dewi akan menghampiri boks bayi dan mengangkat Romeo ke luar kamar. Sambil menggendong anak keduanya yang masih berusia tujuh bulan itu, ia akan menyiapkan MPASI. Makanan pendamping ASI. Sering kali, ia hanya menyajikan bubur instan karena berpacu dengan waktu.

Betul sekali. Ia wajib cepat-cepat, karena setelah makan, bayinya itu harus dimandikan. Di momen tersebut, Dewi berusaha menciptakan senyum pada wajah jagoan kecilnya itu dengan bersenandung. Prinsipnya, suasana boleh sedang susah, tapi anak-anaknya tidak boleh mengetahuinya.

Senyum yang diberikan Romeo adalah penghiburan baginya. Kebahagiaan yang sejenak dapat membuatnya lupa bahwa hari demi hari harus Dewi lewati dengan perjuangan. Giginya gemeretak mengingat apa penyebab hidupnya begitu menderita seperti sekarang ini. Ralat, bukan apa, melainkan siapa. Tidak lain dan tidak bukan adalah Anton yang sekarang terbaring di tempat tidur mereka.

***

Dewi membungkus tubuh Romeo dengan handuk dan membawanya kembali ke kamar. Mulutnya terkatup rapat karena menyaksikan suaminya masih molor. Benar-benar babi pemalas! Ayah dari anak-anaknya tersebut kembali tidur setelah tadi jatuh dari tempat tidur karena Dewi menarik selimut yang Anton pakai. Samar-samar, Dewi mendengar suara dengkuran dari entah mulut atau hidung suaminya. Sudah tidak mau membantu apa-apa, terus membuat polusi suara pula pagi-pagi begini, gerutu Dewi dalam hati.

Dewi mencoba menguasai emosinya. Secara teratur, ia menarik dan mengembuskan napas untuk merasa rileks. Setelah melakukannya sebanyak empat kali repetisi, ia semampunya berusaha mengabaikan hal-hal yang membuatnya kesal pagi ini. Ia masih memiliki tugas mengurus Romeo.

Pada awal pernikahan mereka, Dewi tidak akan membiarkan kejadian itu begitu saja. Ia menjelma menjadi istri paling cerewet sedunia. Ia memarahi Anton bila tidak bertindak seperti yang ia mau. Tidak mencuci piring setelah makan, Dewi akan meneriakinya. Tidak meletakkan baju kotor di keranjang cucian, Dewi akan memungut dan melemparkan baju kotor itu kembali ke wajah Anton. Jangan coba-coba bersikap manja dan meminta dilayani bak raja! Akibatnya Dewi tidak segan-segan mendaratkan cubitan ganas yang bekasnya tidak akan hilang selama sebulan. Namun, karena itu tidak membuat Anton berubah menjadi lebih baik, Dewi menjadi tidak acuh.

Jika tidak karena kehadiran kedua anaknya; Odetta dan Romeo, Dewi tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap suaminya itu. Ia ingin anak-anaknya tetap merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah. Itu sebabnya ia bertahan dalam pernikahan ini.

Penipu, ujarnya dalam hati. Celetukan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri karena pandai berpura-pura. Tapi kalau Dewi pikir-pikir lagi, semua hal tentang pernikahan ini juga merupakan penipuan.

Mendadak, kamar tidur mereka dipenuhi dengan gema riang dari celoteh seorang anak kecil. Anak perempuan berambut ikal panjang dan berpipi montok menggelayuti kaki sambil sesekali menunjukkan kertas yang ia bawa. Ganjalan hati Dewi tentang suaminya yang mengawang-awang di kepalanya tadi pun terhenti untuk sejenak.

“Mama! Mama!”

Dewi tidak dapat mengangkat anak perempuannya itu karena sedang menggendong bayi laki-lakinya.

“Lihat gambar Odet deh, Ma!” pinta Odetta yang sekarang berdiri di hadapannya sambil melambai-lambaikan kertas lusuh.

“Wah bagus sekali, sayang!” Dewi memuji sambil lalu. Di kepalanya sama sekali tidak ada imaji gambar yang baru saja ditunjukkan oleh Odetta. Penipu lagi, ujarnya dalam hati.

“Bener, Ma?”

Dewi sedang membaringkan Romeo ke dalam boks bayi sehingga ia hanya mengangguk asal-asalan. Tidak ada sedikit pun usahanya untuk menebak gambar apa yang ditorehkan oleh Odetta di kertas tersebut. Ia malah memikirkan apa saja yang harus dilakukannya hari ini. Yang jelas, sudah waktunya membayar tunggakan tagihan kartu kredit.

Dewi sebenarnya bukan tipe yang senang menggunakan kartu kredit. Tapi, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulannya, wanita itu masih mengandalkan fasilitas utang tersebut. Walaupun pada akhirnya ia sendiri yang akan kelimpungan memikirkan cara untuk membayar cicilannya. Dewi menarik dan mengembuskan napas perlahan-lahan agar emosinya tidak semakin membara.

“Kan bagus, jadi Odet udah bisa masuk sekolah?”

Dewi yang sedang mencari-cari busana kerja menghentikan aksinya. Ia tahu kalau anaknya itu sudah berusia tujuh tahun. Sudah waktunya masuk SD. Ia juga tidak lupa kalau Anton yang berjanji untuk mendaftarkan Odetta. Namun, lihat apa yang terjadi sekarang? Suaminya itu bersuka ria di alam mimpi, cibirnya melirik Anton yang tahu-tahu tersenyum dalam tidurnya.

Salah besar kalau Dewi tetap mengandalkan suaminya itu. Tidak ada apapun yang beres kalau Anton yang ambil kendali. Mau tidak mau, harus Dewi juga yang turun tangan, termasuk urusan pendaftaran sekolah Odetta. Bagaimana ini, ya? Pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Tak mungkin ia bolos hari ini.

Terdengar suara tawa pelan dari suaminya yang cengar-cengir saat tidur. Kembali tenggorokan Dewi terasa seperti dipenuhi batu-batu kerikil yang besar-besar. Kesal luar biasa! Ayah seperti apa yang melupakan urusan pendaftaran sekolah Odetta, putri mereka. Selalu begini! Selalu Dewi yang pontang-panting membereskan keperluan rumah tangga mereka sejak menikah enam tahun yang lalu.

Tidak ada waktu memikirkan itu sekarang! Tidak ada lagi tempat di otaknya untuk masalah yang baru. Nanti saja sepulang kerja! Tidak ada waktu untuk berdiam saja di rumah! Termasuk hari ini, ujar Dewi dalam hati. Ia bergegas ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya laksana bebek yang sedang dikejar-kejar buaya.

***

Sebenarnya, Dewi bersyukur karena kamar mereka dilengkapi kamar mandi sehingga ia dapat mondar-mandir dengan mengenakan kimono saja. Tapi, kebebasannya terenggut total karena semua anggota keluarganya akan berkumpul dalam satu tempat. Jadi, ia tidak lagi heran kalau melihat Odetta menungguinya di pintu toilet.

Dewi sedang terburu-buru sehingga tidak mengindahkan gadis kecilnya itu. Ia harus memoles wajahnya dengan riasan sebelum berangkat ke tempat kerja. Odetta mengekor di belakangnya dan tak lepas memandanginya. Lagi-lagi Dewi mengabaikannya, meskipun ia dapat melihat anak kecilnya itu dari cermin. Ia memoles pemerah pipi.

Dewi sebenarnya tidak suka berdandan. Akan tetapi, pekerjaannya sebagai staf marketing menuntutnya untuk tampil rapi dan menarik. Sekilas, ia mengamati bentuk tubuhnya yang belum kembali langsing setelah melahirkan. Masih ada sedikit lemak di beberapa tempat. Satu alasan kuat lain untuk tidak melewatkan acara dandan demi mengalihkan perhatian orang-orang dari bentuk tubuhnya yang tidak ideal itu.

Dewi beralih ke lemari untuk mengganti kimononya dengan baju kerja. Ia selalu melakukan hal ini di saat yang paling akhir. Bukan apa-apa, keberadaan dua anak yang masih kecil-kecil akan merusak penampilannya. Mungkin saja bajunya kusut atau kecipratan noda bubur. Jadi, lebih aman apabila ia akan mengenakan busana kerja saat benar-benar sudah akan berangkat.

“Mama…” rengek Odetta.

Di tengah kesibukannya yang berpacu dengan waktu, haruskah ia menghentikan aktivitasnya demi mencari tahu dan memenuhi keinginan Odetta?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status