Share

2. Bakti Pada Suami

Dewi menengok jam dinding. Jika ia memusatkan perhatiannya pada Odetta, bisa dipastikan Dewi akan terlambat masuk kantor. Kalau sudah begitu, gajinya bisa terkena potongan. Jangan sampai, pikirnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengabaikan saja rengekan anak pertamanya itu.

Rupanya Odetta tidak menyerah karena sekarang anak perempuannya itu menarik-narik ujung kimononya.

“Mama harus kerja, Odet!” tegur Dewi.

Bukannya mengerti situasi Dewi yang sedang terburu-buru, Odetta semakin mengguncang-guncang tubuhnya. Tidak cukup sampai di situ, anak pertamanya itu kemudian berteriak memanggil-manggilnya tanpa henti.

Teriakan itu rupanya membangunkan Romeo. Anak laki-laki Dewi pun ikut-ikutan merengek seperti kakaknya. Lama-lama pelan, tetapi beberapa detik kemudian bertambah keras.

“Mamaaaa,” panggil Odetta dengan nada suara yang terseret-seret.

Dewi kehilangan sabar, “Odetta!” hentaknya. “Mama sudah bilang Mama harus kerja! Biar dapat duit. Sekolah itu perlu duit. Kalau nggak ada, kamu malah nggak bisa sekolah! Kamu terpaksa ngamen di jalan! Mau begitu?”

Suasana hening. Dewi juga membatu. Perasaan bersalah lalu mengalir di sekujur tubuhnya. Ini yang pertama kali Dewi membentak anaknya. Ia buru-buru membungkukkan badan dan berhadap-hadapan dengan Odetta. Dewi yakin, anaknya itu pun tidak menyangka akan dimarahi seperti tadi. Mata Odetta berkaca-kaca. Sudah ada setetes air mata yang siap bergulir di pipi anak perempuannya itu. Hati Dewi ikut merasa perih. Ia ingin merengkuh anaknya itu dalam pelukan.

Namun, mendadak jeritan tangis menggema di kamar tidur mereka. Air mata sudah mengalir deras di pipi Odetta. Suara tangisannya berganti-ganti antara isakan dan raungan. Mulut anak perempuan itu menganga lebar menciptakan jerit tangis yang semakin membahana. Tangis pada bayi ternyata menular. Selain Odetta, Romeo pun tidak mau kalah menunjukkan aksinya mengeluarkan tangis yang meraung-raung. Oleh sebab bingung harus mengurus anaknya yang mana terlebih dahulu, Dewi urung memeluk Odetta.

Dewi menoleh ke arah tempat tidur. Dengan segala kenyaringan yang dapat menulikan telinga pendengarnya itu, Anton tetap terlelap. Dewi mendesah dan mendaratkan bokongnya di lantai. Ia benar-benar mati akal.

***

Tidak berapa kemudian, pintu kamar mereka terbuka. Dewi menengok sosok yang melangkahkan kaki menghampirinya. Ia terkesiap. Namun, kakinya terlalu berat untuk bangkit dan berdiri.

“Oalah, ini kenapa ramai betul?”

Ibu Mertua. Dewi menundukkan kepalanya. Ia menyesali drama pagi ini harus melibatkan ibu dari suaminya itu. Ia juga menyayangkan kenapa Odetta malah memperbesar volume tangisnya demi menarik perhatian Sang Nenek. Romeo pun tidak mau berbaik hatinya dengan ikut-ikutan menangis sekencang mungkin. Dewi semakin membungkukkan badan mencoba bersembunyi dari pandangan menghakimi Ibu Mertua.

Ibu Mertua meraih jemari Odetta dan menggendongnya. “Kenapa Neng Geulis? Euleuh euleuh,” hibur nenek dari anak-anaknya itu.

Tangis Odetta mereda karena mendapatkan simpati dari Sang Nenek. Sekarang, hanya isak saja yang terdengar dari mulut anak perempuannya itu.

“Sini sama Oma. Siapa yang bikin eneng cantik ini menangis? Euleuh euleuh.” Ibu Mertua menggoyang-goyangkan Odetta yang menempel dalam gendongannya.

“Aku nggak bisa gendong dua-duanya,” kata Ibu Mertua dengan nada sinis yang Dewi yakin ditujukan untuk dirinya.

Dewi hanya mendongak dan menatap Ibu Mertua.

“Gendong Romeo biar nggak nangis! Kamu belum kasih susu?”

Cepat-cepat Dewi berdiri.

“Odetta juga belum makan, kan?” tanya Ibu Mertua sambil melirik tajam ke arahnya.

Dewi tahu kalimat-kalimat yang dilontarkan Ibu Mertua itu sebagai sindiran untuk menyalahkan ketidakbecusan Dewi sebagai ibu. Ia ingin membantah tapi bibirnya terasa kelu.

“Kamu ini sudah jadi ibu, bukannya berbakti pada suami, lah kok anak sendiri nggak diurus,” celoteh Ibu Mertua sambil melangkahkan kaki ke luar kamar. Ketika Ibu Mertua benar-benar berlalu dari pandangan, barulah Dewi dapat bebas bernapas. Cepat-cepat ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Kemudian, ia mendekati boks bayi dan menatap bayi mungilnya. Tangis Romeo belum juga reda. Tapi untungnya, sekarang tidak semengerikan tadi.

Instingnya mengatakan Dewi harus segera menenangkan bayinya itu. Namun, syaraf dalam otaknya masih belum menyambung dengan keinginan hatinya tersebut. Ia pun berganti-gantian melihat Romeo dan Anton sehingga Dewi putuskan untuk membiarkan Romeo. Ia berharap tangisan bayi itu dapat membangunkan si babi pemalas yang masih tidur. Sebentar saja kok, tidak akan lama-lama, batinnya karena terselip kekhawatiran kalau pilihannya itu akan mengganggu kenyamanan Romeo.

Sejujurnya, Dewi khawatir kalau Anton tetap terlelap sampai Romeo kehabisan energi dari tangisnya yang tidak berhenti-henti. Untunglah, jeda tiga menit kemudian, Anton membuka mata. Suaminya itu bangun dari kasur sambil mengucek mata. Dewi memalingkan wajah sewaktu Anton menatapnya tatkala menghampiri boks bayi.

“Anak Papa kenapa?” lembut suara suaminya saat mengangkat dan menggendong Romeo. Dari mulutnya yang Dewi yakin berbau busuk itu, Anton menyanyikan lagu “Nina Bobo”. Ajaib! Tidak butuh waktu lama, mata Romeo tampak berat dan lama-lama tertutup. Dengan hati-hati, Anton meletakkan bayinya kembali ke dalam boks.

Menyaksikan itu, berulang kali Dewi mengutuk kalau dunia ini tidak adil dalam hati. Bagaimana mungkin, Anton yang sedari tadi tidak mengindahkan keributan yang terjadi di kamar itu dengan mata seperti terkena lem UHU, dengan gampangnya dapat mengendalikan situasi dengan baik? Cukup beberapa menit dalam gendongan Anton, Romeo dapat kembali tertidur.

“Mau ke mana?” Anton bertanya.

“Mau nongkrong di kafe,” jawab Dewi sekenanya seraya mencari baju kerjanya di lemari. Ia melepaskan kimononya untuk berganti pakaian. Dewi tidak menyadari kalau mata Anton tidak lepas memperhatikan gerak-geriknya. Mendadak, Dewi merasakan pinggangnya dipeluk dari belakang.

“Nggak buru-buru kan, Ma?”

Semua pasangan suami istri pasti tahu kalau kalimat itu adalah rayuan suami untuk meminta jatah. Dewi tidak ingin meladeni permintaan Anton. Ia sudah mandi dan berdandan. Jadi, akan sangat repot kalau ia harus mengulangi aktivitas itu lagi. Selain itu, ia tidak mau membuang-buang waktu yang dapat mengakibatkan dirinya terlambat masuk kerja.

Dewi menepis tangan Anton, “Harus berangkat!”

Bukannya mengurungkan niat, Anton mengalungkan tangan ke pinggang Dewi dan semakin mempererat pelukannya itu. Suaminya itu menghunjami Dewi dengan kecupan-kecupan singkat di lehernya. Dewi menjauhkan lehernya dari serangan nafsu suaminya itu.

Please,” bujuk Anton lagi. “Bakti pada suami, lho ini.”

Dalam pandangan masyarakat patriarki, istri wajib mematuhi apapun perintah suami. Jika tidak, dianggap tidak berbakti dan secepat itu akan dicap istri durhaka.

Dewi membalikkan badan dan meneliti suaminya. Rambut ikal laki-laki itu kusut masai. Bibir Anton tampak penuh dengan sedikit liur yang menempel. Mata sayu laki-laki itu jauh dari kesan ganteng. Ia menghindari kontak mata dengan suaminya itu. Ah, apa yang ia lihat dari pria ini saat menikahinya dulu?

Anton sejatinya adalah mimpi buruk bagi para wanita yang mendambakan kehidupan pernikahan. Dahulu ia tidak mengerti. Sebagai wanita muda yang romantis, ia tentu mendambakan hubungan asmara yang mulus-mulus saja. Kencan, berpacaran, berjodoh, menikah, memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya. Tidak tahunya, takdir punya selera humor yang tinggi. Perjalanan asmaranya harus berliku-liku tanpa sesuai dengan urutan yang diidam-idamkan tadi. Akhirnya, Dewi pun terjebak dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki itu.

Dewi mencoba mengelak saat tangan Anton memulai aktivitas tempat tidur. Ia tahu betul kalau laki-laki itu berusaha keras membangkitkan hasratnya. Pasalnya, laki-laki itu mengeluarkan bisikan penuh rayu di telinganya. Sentuhan laki-laki itu mengelus-elus bahunya. Rayuan mendayu-dayu yang dilancarkan Anton dirasakan Dewi sebagai romantisisme palsu saja.

Hatinya menolak ketika Anton mencium bibirnya. Huek, rasanya seperti mencium asbak yang penuh puntung dan abu rokok. Suaminya itu baru saja bangun tidur dan sama-sekali belum sikat gigi. Karena Anton seorang perokok, siapa yang bisa mengetahui persis berapa batang rokok yang ia hisap sebelum tidur tadi malam? Menjijikkan!

Jika Dewi menghindari cumbu rayu suaminya, permainan ini akan berlangsung lama. Segala daya upaya akan dilakukan Anton demi mendapatkan keinginannya. Dewi menimbang-nimbang karena ia tidak mau terlambat ke kantor. Tapi, apa ia bersedia melakukannya dengan terpaksa?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status