Pukul delapan pagi dan Cherry sudah tiba di gedung tempatnya bekerja. Bukan hal yang aneh bagi gadis itu karena memang ia suka. Menunggu lift yang akan mengantarnya ke lantai perusahaannya beralamat, Cherry melirik penampilannya di cermin. Walaupun pakaian yang ia kenakan adalah bekas semalam, Cherry masih tetap memesona. Itu berkat riasan wajah yang ia pastikan menonjolkan kelebihan-kelebihannya.
Seorang laki-laki tersenyum kepadanya seraya mengambil posisi di samping Cherry. Gadis itu melirik, lalu tidak mengindahkannya. Mata pria itu mengingatkannya kepada Dika. Lengkapnya Dika Irandi, pria ke-13 yang berkasih-kasihan dengannya. Laki-laki yang ditinggalnya tadi merupakan harapan Cherry akan suatu hubungan asmara yang membara. Rupanya, gagal.
Sama seperti pria-pria yang pernah dekat dengan Cherry sebelumnya, Dika tidak mampu memberikan hubungan yang panas dan menghanyutkan. Apaan tuh dikit-dikit bertanya, ‘Suka nggak dibeginikan?’ atau ‘Siap-siap, ya’, Cherry menggeleng-gelengkan kepala. Padahal, usia Dika tiga tahun lebih muda darinya. Harusnya, pria seumuran Dika memiliki libido yang luar biasa. Tapi mengapa Cherry tidak kunjung mendapatkan apa yang ia damba; gelora percintaan yang menggelegar seperti petir. Bersama Dika, tidak ada spontanitas. Semuanya selalu terencana. Tidak ada keliaran dan ini yang paling penting, tidak ada orgasme.
Kalian boleh menganggap hal ini tidak penting. Tapi, bagi seorang wanita modern seperti Cherry, hal ini sama pentingnya dengan memilih cowok berkulit cerah atau yang gelap eksotik. Bahkan, kepuasan hasrat adalah salah satu kriterianya dalam memilih jodoh. Laki-laki, umurnya boleh lebih muda maksimal 4 tahun atau lebih tua maksimal 8 tahun. Berpenampilan rapi, memiliki penghasilan lebih tinggi dari Cherry, memperlakukannya seperti seorang putri, dan harus bisa memuaskannya di tempat tidur. Dan, Dika gagal dalam urusan penghasilan dan urusan tempat tidur.
Mengapa susah sekali ya mencari pria dengan kualitas seperti yang Cherry mau? Cherry mengingat-ingat lagi pengalaman bercintanya. Pertama dengan Rio. Saat itu yang pertama juga buat Rio jadi ia tidak merasakan enaknya bercinta karena mereka berdua sama-sama gugup.
Kedua, ada Sofyan. Laki-laki itu termasuk golongan pria dengan nafsu besar tapi tenaga kurang. Setiap bercinta dengan Sofyan, Cherry selalu mengalah membiarkan laki-laki itu puas duluan. Masalahnya, ketika Sofyan sudah merasa puas, laki-laki itu langsung jatuh tertidur.
Ada lagi Surya. Sebenarnya dari segi fisik, mantan pacarnya ini paling memenuhi syarat ideal yang didambakan Cherry. Tinggi, atletis, mukanya sungguh bersinar tanpa jerawat, dan bertutur kata lembut. Tapi, lama-kelamaan bersama dengannya, Cherry baru mengetahui bahwa Surya tidak berminat dengan perempuan dan lebih tertarik dengan pria. Wah, jangan-jangan karena hubungan percintaan mereka yang mengecewakan makanya Surya mengubah haluan dengan lebih memilih jenis kelamin yang sama dengan laki-laki itu, pikir Cherry asal-asalan.
Setelah itu masih ada Ian, Adeo, dan beberapa laki-laki yang muncul sekilas saja dalam hidupnya. Meskipun banyak pria, semuanya sama saja. Belum ada yang bisa membuatnya terhanyut dalam menikmati hubungan penuh keintiman. Belum ada seorang pria yang memenuhi semua persyaratan yang ia mau. The whole package!
Telepon seluler Cherry bernyanyi bersamaan dengan dentang lift yang terbuka. Ia kaget bukan kepalang karena dering teleponnya sangat kencang. Ini pasti karena tadi malam, ia menghadiri kelab malam sehingga merasa perlu menaikkan volume perangkat komunikasinya. Perhatian Cherry terbagi antara telepon dan keharusan menaiki lift.
“Ikut, Mbak?” tanya pria yang tadi berdiri di sampingnya.
Bunyi telepon genggam Cherry belum mereda sehingga gadis itu menggelengkan kepala. Menyingkir dari antrian lift dan mengangkat teleponnya.
“Cherryyy,” panggil suara di ujung telepon.
Cherry memelototi teleponnya tidak percaya. Memang tidak ada wajah penelepon di layarnya. Tapi, dari suaranya, Cherry tahu identitas orang yang menghubunginya itu. “Hello, Nay,” pekiknya gembira. “Apa kabar kamu?”
“Baik… eh, gue nggak bisa lama-lama. Gue lagi di bandara.”
Suara lawan bicaranya begitu pelan. Cherry menempelkan ponselnya lebih dekat ke telinga. “Eh, Nay?” tanyanya memastikan kalau apa yang ia dengar tadi benar.
“Nggak bisa lama-lama, Cherry,” ulang Nay. “Gue segera ke Jakarta hari ini juga. Gue nginap di rumah lo, boleh ya?”
“Eh, tunggu.” Nay ke Jakarta. Sahabat kuliahnya yang pernah mengatakan kalau dirinya haram menjejakkan kaki di kota penuh polisi dan gudang kapitalisme, datang ke Jakarta?
“Sampai di bandara sekitar jam sebelas. Jemput, ya?”
“Nay, Nay… cerita dulu dong. Flight-mu juga masih lama, kan? Kamu apa kabar? Terus, ini nomor telepon barumu?”
“Udah, deh nanti aja ceritanya. Ini HP penumpang lain yang gue pinjam. Jadi, lo harus jemput gue, Cher.”
“Terus, gimana caranya –
“Tunggu di kedatangan, tempat tunggu taksi,” jawab Nay seraya menyebutkan nomor penerbangannya. Setelah itu, telepon ditutup.
Wow, Nay datang ke Jakarta. Itu sudah pasti kejutan yang tak terduga. Bagaimana tidak? Sahabatnya sejak SMA itu punya prinsip tidak akan menginjakkan kaki di Jakarta meski ia sekarat dan tujuannya ke kota ini hanya karena harus dirawat di rumah sakit sekalipun. Dahulu, jelas-jelas ia sudah bilang memilih mati daripada tinggal di Jakarta. Bagi Nay, Jakarta adalah wujud neraka dengan kemacetan, kondisi kota yang awut-awutan, dan tingkah laku penduduknya yang sudah sangat individualistis.
Tentu saja, kerelaannya datang ke Jakarta, membuat Cherry bertanya-tanya.
***
Suasana kantor Melody masih sepi. Beberapa set meja kerja yang dipisahkan dengan kubikel belum terisi oleh para karyawan. Ini hal yang wajar. Sebagai pekerja di bidang media, tepatnya sebuah penerbitan majalah musik, para reporter memiliki jam kerja yang fleksibel. Maklum, mereka lebih sering melakukan peliputan sore dan malam hari. Jadi, pihak kantor pun tidak pernah memaksakan karyawannya, -terutama di bagian redaksi -, untuk absen di pagi hari.
“Weiss, seperti biasa Cherry si morning person.”
Cherry mengatur tas dan dokumen-dokumennya di meja. “Mas Dewan, hari ini jadi meeting?” tanyanya.
Pria yang Cherry panggil itu adalah atasannya, Redaktur Pelaksana. Mas Dewan yang mengatur tugas mereka serta menjalankan kegiatan operasional sehari-hari. Setiap minggu, mereka rutin menjalankan rapat koordinasi, dan pagi itu adalah jadwalnya.
“Diundur, Cher. Bagian marketing minta ikut. Jam dua siang.”
Cherry mengernyitkan dahi. Kadang-kadang, jadwal sefleksibel yang dianut oleh Melody menjadi bumerang. Pasalnya, ia sudah rela bangun terkantuk-kantuk dan menyetir jauh-jauh dari rumahnya di bilangan pinggiran Jakarta, hanya untuk mengetahui bahwa seharusnya Cherry bisa tidur lebih lama. Mendadak, sosok Dika Irandi melayang di pikirannya yang membuat gadis itu cemberut. Tidak, tidak, takdirnya memang harus datang lebih pagi hari ini.
“Aman, Cher?”
Cherry meringis. Ia boleh datang awal pagi ini. Tapi, ia baru saja teringat akan telepon Nay yang meminta untuk menjemputnya di bandara. Cherry mencari-cari sesuatu yang dapat menjadi alasannya untuk mangkir dari rapat. Ia memeriksa undangan peliputan di mejanya. “Ehm, ini ada undangan interview dari label,” katanya mengangsurkan kertas kepada Mas Dewan.
Atasannya itu meneliti dan mengangguk-angguk. “Ya, sudah. Kamu nggak perlu ikut meeting –
Cherry mengepalkan tangan pertanda senang dengan keputusan atasannya itu.
“Tapiii,” sela Mas Dewan agar Cherry tidak terlalu bersemangat, “Saya mau proposal untuk pitching dari kamu sudah ada di email saya sebelum lunch.”
***
Mendengar dering telepon, Maria mengangkatnya dan langsung berkata, “Delia, Yazid, and Partners. May I help you?” Ternyata atasannya, Delia yang menelepon. Maria mendengarkan sambil menuliskan perintah-perintah yang dilontarkan bosnya tersebut di secarik kertas. Tidak terdengar kata apa pun selain kata, “Iya” dan gumaman “He eh” dari Maria. Sesekali, wajahnya berkernyit tanda tidak nyaman berkomunikasi dengan Delia. Ketika akhirnya Maria meletakkan gagang telepon di tempatnya semula, ia langsung menghembuskan napas lega. Seraya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 WIB, ia membaca daftar tugas yang harus ia kerjakan hari ini. - Ambil baju di laundry. - Tulis surat perjanjian kerjasama dengan Mr. Gordy. - Telepon Pak Yazid dan atur ulang rapat. - Sepulang kerja nanti tolong belikan pensil 2B untuk Nazmi. Huft, baru membaca empat daftar tersebut, Maria sudah kehilangan semangat bekerja. Padahal masih ada sepuluh perintah lagi yang harus segera ia kerjakan. Ia melirik ja
Cherry memandang penyanyi perempuan yang duduk di depannya. Inilah akibatnya mengambil undangan permintaan wawancara secara sembarangan. Cherry terpaksa harus mendengarkan celoteh penyanyi baru yang ada di hadapannya saat itu.Ruangan tempat Cherry melaksanakan tugasnya merupakan ruang khusus yang disediakan pihak perusahaan musik untuk melakukan sesi wawancara dengan artis-artis orbitan mereka. Di sana ada sofa dua dudukan, satu kursi, dan seperangkat alat musik akustik. Pada dindingnya, dipajang poster beberapa musisi terkenal. Cherry mengenali semua penyanyi yang ada di sana.Sang penyanyi yang diwawancara oleh Cherry mengenakan crop top yang menurutnya tampak kedodoran. Ia yakin baju itu adalah pinjaman. Dalam industri musik, penyanyi baru tidak memiliki anggaran khusus untuk penampilan, sehingga wajar kalau mereka tidak tampak glamor.Pihak label musik tadi menyatakan kalau jatah untuk wawancara dan sesi foto untuk Melody adalah sebanyak satu jam. Ini baru berjalan sepuluh menit,
Cherry menyesap air mineral yang ia pesan dan merasakan dingin menukik ke ubun-ubun kepalanya. Sepertinya harus mengurangi minum minuman dingin-dingin, nih, pikir Cherry. Di sebelahnya ada Nay yang duduk sambil menyelupkan roti ke dalam sup makaroni yang tersaji. Sahabatnya itu tampak ogah-ogahan menikmati menu yang ia pesan tadi dari Kafe Starlite.“Lo belum cerita kok bisa ya tiba-tiba ke Jakarta?” tanya Cherry. Begitulah ia. Sebaik rasa penasaran hinggap di kepala, ia tidak akan bisa melepaskannya dari usaha mencari tahu.“Bukannya datang ke Jakarta itu biasa? Apalagi lo, Dewi, dan Maria kan sudah tinggal di sini?”Cherry mengamati temannya itu lekat-lekat. “Believe me, Nay! Untuk ukuran lo yang anti sama Jakarta, itu bikin kita takjub.” Ia duduk lebih dekat dengan Nay dan membisikkan, “Nay, lo cuma bawa ransel.”Nay terdiam dan menjatuhkan roti ke dalam sup makaroninya. Cherry meneliti air muka
Cherry ingin menertawakan pertanyaan Maria itu. Tapi, ia batal tertawa. Pasalnya, kalau ia pikir-pikir, ia sendiri tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk itu. “Kalau panduannya majalah metropolitan, yang bisa bikin kita merasakan the big O.” “Lo pernah dong, Cher?” Nay bertanya. Nah, ini kenapa ia tidak tahu jawabannya. Ia bukanlah wanita kuno yang tidak pernah bercinta dengan pacar-pacarnya. Tapi, apa tepatnya orgasme yang digembar-gemborkan oleh berbagai media itu, ia tidak tahu. “Kayak gimana, sih? Yang rasanya berdenyut-denyut itu bukan, sih?” katanya asal-asalan. “Katanya sih, saat merasakannya, aliran napas dan jantung kita berhenti sepersekian detik,” sambung Nay. “Rasanya aliran darah mengalir naik terus ke kepala sementara badan kita seperti dialiri aliran listrik ringan yang membuat jantung kita menyerap perasaan bahagia?” Semua orang memandang Maria yang setelah berdiam diri cukup lama jika mereka membicarakan topik
Cherry terbelalak melihat siapa yang ada di luar yang menuntutnya membuka jendela. Dika Irandi. Cowok yang tadi pagi ia tinggalkan diam-diam. Cowok yang rencananya akan ia putuskan satu atau dua hari ke depan. Cowok yang tidak mampu memuaskannya di tempat tidur. “Buka saja, Cher! Nggak enak kalau tetangga sampai ke luar melihat ribut-ribut gini,” suruh Nay. Cherry menurut. Ia menurunkan kaca jendela. Hanya setengahnya saja. Ia menghindari kemungkinan laki-laki bertindak nekad dengan mencekik lehernya. “Cherry, kenapa?” Gadis itu memalingkan wajah. Inilah salah satu kesulitan dalam berkomitmen. Waktu hubungan itu harus berakhir. Cherry tidak piawai menyusun kata-kata perpisahan sehingga cara yang terbaik menurutnya adalah dengan pergi saja dan mengabaikan yang lainnya. Rupanya, lajang nomor tiga belas di sampingnya itu tidak dapat membaca petunjuk yang ia layangkan tadi pagi. “Aku tadi telepon kamu berulang kali. Tapi nggak diangkat.” “
Seraya mendesah, Dewi menatap Odetta dengan permohonan maaf. Dewi mengangkat bayi Romeo dari boks bayi. Untungnya ketika digendong sebentar, bayi Romeo langsung menghentikan tangisnya. Jika tidak, Ibu Mertua pasti akan segera menghambur ke kamar mereka dan seperti biasa mengomelinya tentang ketidakbecusan Dewi sebagai seorang ibu. Setelah menggantikan popok basah bayinya, Dewi langsung menyerahkan Romeo kepada Anton. Ia tidak mau berlama-lama lagi di rumah ini. Hari ini, sepulang bekerja, ia berencana mencari rumah kontrakan agar bisa segera pergi dari rumah ini. Bisa terbebas dari Anton yang tidak bisa memberinya apa-apa kecuali kemiskinan. Ia mencari Odetta yang duduk meringkuk di sofa di ruang tamu. Ia menunduk dan memeluk Odetta tanpa berkata-kata. Ia berharap putrinya mengerti. Ia akan menjemput mereka saat keadaan sudah membaik. Ia janji! “Dewi….” Anton menggenggam tangan istrinya tersebut. Dewi menepisnya. Setelah mengecup kening Romeo sekilas,
Awalnya, Maria diajak tinggal bersama di rumah ini karena mereka bersimpati dengan penderitaannya dianiaya oleh kakak-kakaknya. Maria tentu saja berpikir kebaikan Keluarga Delia akan membuatnya selamat dari kejamnya dunia. Ternyata, ini sih namanya keluar dari mulut singa, malah masuk mulut buaya! Sama-sama berakhir dengan mati! Maria adalah bungsu dari empat bersaudara. Kakak-kakaknya bukan orang yang berkecukupan. Oleh sebab itu, ketika Maria menumpang hidup di salah satu rumah kakaknya, mereka merasa keberatan. Sampai sekarang Maria heran mengapa kakak-kakaknya bersikap tidak peduli sejak kedua orangtua mereka meninggal? Padahal sebagai anak bungsu sudah sepantasnya Maria mendapat sedikit bantuan dari mereka. Setelah berkelana dengan banyak pekerjaan paruh-waktu yang tidak begitu memuaskan dari segi pendapatan, Delia kemudian memberikan pekerjaan yang bernama keren. Pekerjaan itu adalah sekretaris di kantor hukum Delia, Yazid, and Partners. Akan tetapi, dengan tug
“Meeting proyeksi hanya kita berlima?” tanyanya seraya meletakkan tas kantornya di meja. Rapat proyeksi yang disebut-sebut oleh Mas Dewan tadi adalah pertemuan antara anggota redaksi untuk mengetahui perkembangan artikel yang sudah selesai diatur tata letaknya. Semua artikel tersebut akan dipajang dan akan ketahuan, mana saja yang belum selesai agar segera dicarikan penggantinya. “Iya, kita ngobrol-ngobrol dulu, Cher. Tapi penting.” “Soal apa?” “Ya, seperti yang sekilas sudah saya bicarakan dengan yang lainnya juga, ini masalah kelangsungan majalah kita. Bagian pemasaran dan iklan menyampaikan protes bahwa isi majalah kita ini tidak up to date, sehingga susah dijual. Jadi, di sini kita berlima berusaha melakukan review pada setiap rubrik – “Maaf, Mas Dewan! Saya masih kurang mengerti dengan istilah nggak ‘up to date’ yang dikatakan bagian iklan,” sambar Cherry sembari memainkan nada suaranya mengejek penilaian karya