Share

Chapter 2. Di Mana Cincin Tunangan Kita?

"Maksudmu apa? Kamu gila! Bagaimana mungkin kamu menyuruhku menikahi tunanganmu? Azriel Albiru adalah pemilik PT. Albiru Falah? Dia punya uang dan kekuasaan! Jika dia marah, kehidupan keluarga kita akan hancur seketika." Shafiqa dengan bibir bergetar menanyakan hal itu pada kakak kembarnya itu.

 

"Yup … kamu memang cerdas, Sayang. Kamu sudah bertemu dengannya kemarin, kan? Bagaimana? Kulihat, dia memang sangat mengagumimu. Jadi, tenang saja adikku sayang," papar  Shafira dengan yakin jika Shafiqa memang mengenal pria yang dia maksudkan. 

 

“Itu karena dia mengira aku adalah kamu,” sergah Shafiqa cepat. Namun, Shafira hanya tersenyum penuh arti.

 

“Ziel tidak tau kalau aku memiliki saudara kembar. Jadi, kuharap kamu bisa tutup mulut sampai pernikahan itu dilaksanakan.”

 

‘Seandainya saja kamu tahu hal yang sebenarnya, Shafiqa. Justru, Azriel berhubungan denganku karena mengira aku adalah kamu,’ batin Shafira dalam hati.

 

"Aku tidak bisa! Kenapa tidak kamu saja yang menikah dengannya!" tampik Shafiqa seketika.

 

Jujur saja, Azriel memang cukup tampan. Pria itu memiliki daya tarik tersendiri bagi setiap wanita. Namun, tidak bagi Shafiqa. Pria itu ibarat artis yang memiliki banyak idola. Shafiqa tidak berharap dia bersaing memperebutkan perhatian Azriel dengan para pengagumnya. 

 

Mereka pernah bertemu sekali di kantor milik Tuan Ammar—tempat Shafiqa bekerja. Bahkan, pria itu menyatakan terus-terang jika dirinya menyukainya. Namun, tiba-tiba, Azriel bertunangan dengan Shafira, saudara kembarnya. Bukankah, pria itu bukanlah pria baik-baik?

 

"Kamu mau tahu alasanku kenapa?"  Shafira menghampiri  Shafiqa yang masih merenung.

 

"Lelaki itu sama saja. Ketika susah, dia mencari kita. Namun, ketika sukses dengan seenaknya mereka mencampakkan kita. Aku tidak mau nasibku sama dengan Mama," cetus Shafira dengan tatapan begitu dingin.

 

"Jika kamu saja ketakutan, mengapa kamu menyuruhku menikah?"  Shafiqa pun tak kalah, dia mendebat keputusan Shafira.

 

"Ah sudahlah … susah ngomong sama kamu. Pokoknya, sekarang kamu harus mulai menggantikanku bertemu dengan Ziel. Dimulai dari malam ini! Kamu harus dandan yang cantik dan jangan mengecewakanku. Terutama, Mama kita," desis Shafira sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.

 

Gadis itu hanya bisa berdecak kesal lalu meluapkan kekesalannya pada wajan penggorengan. Camila-ibunya datang menghampiri gadis itu.

 

Shafiqa kini menghambur dalam pelukan Camila. Tangisnya tumpah di dada wanita yang melahirkannya tersebut.

 

"Jangan lupa … berhiaslah secantik mungkin. Aku sudah membelikan gaun untukmu! Pakailah agar dirimu tidak terlihat memalukan!" Shafira kembali menghampiri mengingatkan adiknya tersebut. 

 

“Satu lagi, bersikaplah seolah-olah kamu adalah aku!” titah Shafira sambil menghempaskan paper bag yang dibawanya.

 

Saat Shafira masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya untuk beristirahat, Shafiqa dan Camila hanya bisa saling melempar pandangan. Keduanya menatap punggung Shafira dengan sekelumit kebingungan.

 

 *****

Sesuai perkataan Shafira, malamnya, Azriel datang bertamu di kediaman mereka. Camila menyambut dengan ramah, meskipun sedikit canggung. Setelah berbasa-basi, Camila pun menanyakan maksud kedatangan Azriel.

 

“Benar Anda ingin menikahi putriku, Nak Azriel?” Camila melontarkan pertanyaan kepada Azriel.

 

"Kurasa niat baik harus segera disegerakan, Ibu Camila. Saya takut setan ada bersama kami jika sedang berduaan. Toh, kami juga sudah bertunangan meskipun tanpa sepengetahuan Anda. Shafi … yang meminta saya menyembunyikan dari Anda sekeluarga,” terang Ziel meyakinkan. 

 

Berbeda dengan Mila yang terkejut ketika mendengar hal tersebut. Raut wajah wanita berusia 45 tahun itu sulit ditebak. 

 

"Saya sudah siap, Zi—Ziel…."  Shafiqa muncul tiba-tiba di antara keduanya.

 

Malam ini, dia begitu cantik dan terlihat anggun. Gaun panjang itu melekat sempurna di tubuh rampingnya. Rambutnya hanya dikuncir kuda. Memperlihatkan keindahan jenjang lehernya. Lagi-lagi membuat Azriel menelan salivanya.

 

Camila mengamati putrinya dengan decakan kagum. Tak beda dengan Azriel yang berada di sana. Netra biru sapphire itu tak lepas dari wajah Shafiqa. Hal itu sampai membuat kikuk si pemilik wajah cantik tersebut. 

 

"Ibu … saya izin membawa putri Anda menemui keluarga saya. Tak sampai larut, saya akan membawanya kembali."

 

"Pergilah, hati-hati di jalan," pesan Camila sambil mengiringi langkah mereka dari belakang.

 

Keduanya meninggalkan kediaman Iskandar menuju kediaman keluarga Albiru. Selama dalam perjalanan, keduanya hanya saling berdiam. Azriel melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

 

"Aku sudah menyuruh orangku mengurus semua. Seminggu lagi, kita akan menikah. Kuharap sampai tiba waktunya, kamu tidak berubah pikiran, Shafi!" 

 

"Panggil saya Shafiqa," tukas gadis itu cepat. Tatapannya sejenak mengarah ke Azriel yang kebetulan tengah menatapnya. Kemudian kembali lagi ke arah jalanan. Pipinya merona merah, untung saja Azriel tidak menyadari hal itu.

 

Azriel tidak mengerti mengapa perempuan yang biasanya hanya ingin dipanggil Shafi itu meminta dipanggil dengan nama lengkapnya. Namun, tidak apa-apa asalkan gadisnya itu senang. Pria tampan itu lalu langsung menarik jemari Shafiqa dalam genggamannya.

Shafiqa sempat terperanjat, tetapi berusaha bersikap biasa saja.

 

"Hai … ada apa denganmu? Mengapa kamu sepertinya kaget? Bukankah, kemarin malam kamu malah enggan berlalu dari pelukanku?" tanya Azriel dengan heran.

 

"Eh … maaf. Saya hanya …."

 

Tanpa diduga, Azriel mengecup pipinya singkat. Membuat Shafiqa kembali dibuat kaget. Sementara Azriel merasa ada yang janggal. Bau parfum itu, beda dengan parfum yang dia cium semalam.

 

Namun, Azriel menyikapinya dengan biasa saja. Sempat pria tampan itu berpikir, mungkin Shafiqa memang menyukai berbagai aneka parfum yang berbeda-beda.

 

Azriel masih menggenggam jemari gadis itu, membelai dan mengusap halus di sela-selanya.

 

"Mengapa kamu tidak memakai cincin yang kuberikan tadi?" celetuknya tiba-tiba.

 

Shafiqa yang kaget menarik jemarinya dari pria itu. Dia bingung akan beralasan apa. Mengapa kakaknya tidak berkata apa pun perihal cincin tersebut? Wajah gadis itu kini sudah pucat pasi.

 

'Mengapa kamu selalu menyusahkanku!' rutuk Shafiqa dalam hati.

 

"Hai … jangan ketakutan seperti itu. Aku hanya bertanya saja. Toh, itu cincin murah. Aku sudah memesan berlian untukmu." Azriel menenangkan gadis di hadapannya.

 

"Maaf … saya tidak sengaja meng-hilangkannya," jawab  Shafiqa dengan terbata. 

 

"Bersikaplah biasa saja. Aku tidak ingin wajah tegangmu itu merusak kecantikanmu," bujuk Azriel sambil mengecup jari gadis itu.

 

Sebenarnya Azriel masih merasa bingung. Mengapa gadis itu terlihat begitu canggung di hadapannya malam ini. Bahkan, terkesan begitu formal membahasakan dirinya. Namun, rasa bahagianya membuat Azriel memilih untuk mengabaikan hal itu.

 

Tak lama, mobil tersebut memasuki hunian yang cukup berkelas. Seperti hunian mewah lainnya, town house ini juga ada penjagaannya.

 

Sebuah bangunan bercat krem berdiri megah di hadapan mereka. Tiangnya yang berwarna tembaga memberi kesan mewahnya. Bangunan itu hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang masih kerabat Azriel. Pria tampan itu, memang sudah yatim-piatu semenjak kecil.

 

Sosoknya yang pekerja keras membuat dia berhasil membeli hunian megah untuk ditinggali oleh Om dan Tantenya yang mengasuh Azriel dari kecil. 

Saat mereka masuk, Om dan Tantenya sudah menyambut mereka.

"Jadi ini calon istrimu? Apa tidak salah?" Pertanyaan itu membuat Shafiqa seketika takut setengah mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status