‘Bagaimana mungkin aku salah kamar?!’ teriak Evelyn dalam hati.
Menyadari bahwa dirinya telah melakukan hal gila karena alasan bodoh, Evelyn pun berbalik dan berniat untuk berlari pergi meninggalkan tempat tersebut. Dia berdoa bahwa tidak ada yang akan pernah tahu tentang hal ini, terutama karena dirinya telah memiliki status sebagai tunangan orang!
Akan tetapi, sayangnya … takdir berkata lain.
“Evelyn?”
Baru saja Evelyn berbalik dan ingin mulai berlari, seorang pria berwajah tampan memasang ekspresi kebingungan dan kecewa. Manik pria itu terarah pada kamar nomor 1010, lalu kembali pada sosok Evelyn yang berantakan.
“Andre …,” panggil Evelyn dengan suara parau.
Andre Diwangkara, putra satu-satunya keluarga pebisnis terkaya Nusantara, merupakan tunangan Evelyn atas dasar perjodohan. Walau dijodohkan, tapi Andre sungguh mencintai Evelyn, dan Evelyn pun mencintai pria tersebut.
Mata Andre mengarah pada sejumlah bekas merah pada leher dan dada Evelyn yang tidak tertutup oleh gaun. Hal tersebut membuat hati pria itu terasa begitu sakit, dan napasnya menjadi sesak. Andre tidak bodoh, dan dia pun tahu perihal apa yang terjadi di dalam kamar jahanam itu beberapa saat yang lalu.
“Andre, aku bisa jelasin!” ucap Evelyn ketika melihat Andre mendadak berbalik dan berjalan menjauhinya dengan cepat.
Andre mengabaikan Evelyn, tidak mampu menerima kenyataan bahwa sang tunangan telah mengkhianatinya. Dalam sekejap, gadis yang dia cintai itu berubah menjadi begitu menjijikkan untuknya.
Melihat hal itu, Evelyn langsung mengejar Andre. Beruntung dirinya sempat mencengkeram lengan pria itu ketika memasuki lorong lift. “Tunggu!” teriak Evelyn. Namun, tidak gadis itu sangka bahwa tunangannya tersebut akan dengan tega mendorongnya hingga terjatuh hanya untuk membebaskan tangannya. “Ah!”
Sekilas, ekspresi Andre terlihat khawatir. Namun, di saat pintu lift terbuka, hal itu dengan cepat tergantikan oleh ekspresi terluka dan juga benci. “Keluarga Diwangkara tidak menerima seorang pelacur.” Dan, pria itu pun melangkah masuk ke dalam lift.
“Andre! Urgh—” Evelyn berniat untuk kembali mengejar Andre. Akan tetapi, kakinya terkilir karena terjatuh keras akibat dorongan mantan tunangannya itu. Dengan air mata yang mengalir menuruni wajahnya, Evelyn hanya bisa melihat pintu lift mulai tertutup di hadapannya. “Andre!”
Evelyn kembali berusaha untuk berdiri dan mengejar tunangannya dengan kaki terpincang. Akan tetapi, sakit yang berlebih membuatnya berakhir terjatuh ke lantai dengan keras. Kejatuhan itu membuatnya melihat sosok Andre yang mengalihkan pandangan, tak sedikit pun meliriknya.
Merasa tidak berdaya, Evelyn mengepalkan tangannya. ‘Kenapa? Kenapa semua jadi begini?!’ Hatinya merasa sangat hancur.
Bukan keinginan Evelyn untuk berakhir menghabiskan sebuah malam dengan seorang pria asing. Hanya saja, tubuhnya seperti berada di luar kendali. Sebagai pewaris utama keluarga Aditama dan juga tunangan penerus keluarga Diwangkara, Evelyn sadar jelas betapa besar tanggung jawabnya. Demikian, tidaklah masuk akal dirinya akan secara sukarela melakukan hal yang hanya akan merugikan dirinya!
Entah berapa lama Evelyn terduduk tak berdaya di depan lift hotel selagi meratapi nasibnya, tapi dirinya kemudian disadarkan dengan sebuah dering panggilan dari ponselnya. Ketika pandangannya mendarat pada layer, nama sang ayah muncul di layar ponsel tersebut, membuat Evelyn tak memiliki pilihan selain mengangkatnya.
“Hal—”
Tak menunggu sambutan Evelyn, suara teriakan kencang terdengar dari ponsel, “Pulang kamu! Sekarang!”
***
Suara dering ponsel yang nyaring terdengar bergema di sebuah kamar hotel mewah. Lantunan nada panggilan itu membuat sosok pria yang terbaring di tempat tidur membuka matanya perlahan, memamerkan permata biru yang tersimpan di balik kelopaknya.
Dengan geraman rendah, pria tersebut melirik layar selama sesaat sebelum akhirnya mengangkat panggilan, “Ada apa?”
“Selamat pagi, Pak Adam. Mohon maaf mengganggu pagi Bapak. Saya hanya ingin menginfokan bahwa tersisa satu jam lagi sebelum meeting terakhir Bapak di kantor cabang.”
Mendengar celotehan dari ponsel, mata pria yang dipanggil Adam itu segera membesar. Dia langsung mendudukkan diri dan mengecek jam di ponsel.
Sungguh jam delapan pagi.
Tanpa berpikir panjang lagi, Adam membalas, “Lima belas menit,” dan dia pun mematikan panggilan untuk bergegas turun dari tempat tidur.
Tepat ketika Adam menyibakkan selimut, aroma mawar samar tercium olehnya. Sekejap, dia mengingat aksi panasnya di malam yang lalu, juga dengan sosok menggoda bak siluman yang beradu dengannya.
Tersadar bahwa wanita yang menemani di malam sebelumnya menghilang tanpa mengatakan apa pun, Adam merasa sedikit bingung dan kesal. ‘Dia pergi tanpa menerima tips?’ ujar pria tersebut. Namun, dengan cepat Adam mengesampingkan pikiran itu selagi berjalan ke kamar mandi.
Adam melangkah ke dalam kamar mandi dan melihat pantulan dirinya di cermin. Bekas merah pada leher dan cakaran di beberapa sisi tubuhnya membuat pria itu mendengus.
‘Kucing kecil yang nakal.’
Ini baru pertama kalinya Adam melihat seorang penghibur yang bersikap begitu kasar dan tidak sopan kepada tamunya. Bukan hanya berusaha mendominasi, tapi juga telah melukai dirinya. Kalau bukan karena efek alkohol yang menguasai diri, Adam pastinya akan menolak kedatangan 'wanita kiriman' seperti biasa.
Selesai mempersiapkan diri untuk meninggalkan hotel, Adam meraih ponsel yang ditinggalkannya di atas tempat tidur. Di saat tersebut, mata pria itu terarah pada bercak merah yang membekas di tempat tidur.
‘Darah?’ batin Adam dengan alis menekuk tajam, hatinya merasa dijerat sejuta pertanyaan. ‘Wanita penghibur macam apa yang berdarah seperti—!’
Suara ketukan pintu membuat Adam terkejut. Dia pun mengesampingkan lamunannya dan berjalan cepat untuk membuka pintu.
“Pak, sudah waktunya berangkat,” ujar seorang pria berkaca mata, pria yang sama dengan orang yang mengganggu tidur nyenyak Adam—asistennya.
Adam mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar. Beberapa langkah menjauhi kamar, pria itu berkata dengan suara tegas, “Julian, cari tahu siapa wanita yang menemaniku tadi malam.”
Mendengar perintah Adam, asisten di sisinya itu terkejut, seakan tak menyangka sang majikan telah menghabiskan malamnya dengan seorang wanita. Akan tetapi, asisten tersebut tak berkata banyak dan hanya membalas dengan satu kata, “Baik.”
Waduh duh duh, Evelyn dikira wanita penghibur dong .... gimana nih, guys?! Kira-kira apa yang menunggu Evelyn di rumah, dan apakah Adam akan menemukan info tentang Evelyn!? Leave a comment down below!
Suara tamparan keras menggema di ruang tamu Keluarga Aditama. “Anak nggak tahu malu!” maki seorang pria paruh baya dengan emosi yang menggebu-gebu. Di tempatnya, Evelyn hanya bisa membeku, masih begitu terkejut akibat tamparan yang diterimanya begitu melewati pintu masuk ruang tamu kediaman. “Dari mana kamu tadi malam, hah? Sama siapa kamu?!” sembur Reyhan dengan tatapan nyalang. Bayangan gelap di bawah mata pria itu menunjukkan bahwa dirinya tidak tidur dengan nyenyak. Evelyn menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. “Aku ….” Evelyn mengepalkan tangannya. “Aku di—” Seorang gadis dengan wajah ayu bergegas menahan tangan sang ayah. Wajahnya menatap Evelyn dengan pandangan prihatin. “Pa! Jangan kasar dengan Kak Evelyn! Dengerin penjelasan Kak Evelyn dulu!” “Diam, Risa! Asal kamu tahu, kakakmu ini tadi malam berlaga layaknya seorang wanita penghibur!” teriak Reyhan dengan emosi menggebu-gebu. Kemudian, pria paruh baya itu menunjukkan sebuah rekaman ke hadapan Risa dan Eve
“Gugurin kandungan itu!” seru Reyhan dengan dingin sebagai balasan atas pernyataan Evelyn. “Kita gugurin kandungan itu hari ini!” Mendengar ucapan sang ayah, Evelyn menautkan alisnya. “Tapi Pa ….” Pandangan gadis itu turun menatap perutnya, satu tangan mengusapnya lembut. “Bayi ini nggak bersalah.” Balasan Evelyn membuat Reyhan menaikkan alisnya, pria itu pun bertanya, “Terus kenapa?” Perasaannya sedikit tidak enak, merasa bahwa putri sulungnya memiliki ide bodoh. “Bayi itu memang nggak salah, tapi kamu yang salah! Karena itu, menggugurkan bayi itu adalah pilihan terbaik untuk membenarkan kesalahan kamu!” Evelyn menutup matanya, tahu bahwa di hadapan sang ayah dirinya akan selalu salah. Dia tidak mengelak, kelalaian karena telah bermalam dengan pria asing jelas merupakan kesalahannya. Namun, setelah merenungkan keseluruhan situasinya selama beberapa minggu membuatnya yakin akan satu hal; Dirinya telah dijebak seseorang. “Kesalahanku akan kutanggung sendiri, tapi bukan dengan
“Mama, Mama! Aku mau itu!” seru seorang gadis kecil berkisar tujuh tahun sembari menunjuk ke arah gambar es krim sebuah restoran. Mata bulat gadis itu terlihat menggemaskan, juga memesona akibat maniknya yang berwarna biru terang. Mendadak, sebuah tangan mungil menggenggam tangan gadis kecil itu untuk menahannya. “Lili, jangan ngerepotin Mama. Kita bisa beli itu nanti, ya,” balas seorang bocah laki-laki dengan wajah yang hampir sama persis dengan sang gadis kecil. Sikap sang bocah kecil yang begitu tenang membuat beberapa orang yang memperhatikan mengira bocah itu lebih tua dari penampilannya. Di antara kedua kembar menggemaskan tersebut, seorang wanita cantik berpakaian elegan menggandeng keduanya sembari tersenyum. Wanita itu berjongkok di hadapan kedua putra-putrinya dan berkata, “Liam memang paling pengertian,” pujinya. Kemudian, dia beralih kepada sang gadis kecil dan mengusap kepalanya lembut. “Lili sabar dulu ya, Sayang. Setelah kita sampai apartemen dan selesai berberes, Ma
‘Pria ini!’ Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali. “Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya. Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut. Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya. Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—" “Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam. “Julian,
“Selamat, Evelyn. Kamu sudah dinyatakan diterima sebagai sekretaris direktur bisnis. Pak Direktur pun sudah berpesan kalau kamu akan mulai bekerja besok,” ucap seorang pria berusia sekitar tiga puluhan sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Evelyn. Evelyn membalas uluran tangan tersebut dengan mantap dan membungkuk hormat sedikit. “Terima kasih, Pak Handi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik agar tidak mengecewakan ekspektasi Bapak,” balas Evelyn dengan sopan. Handi—manajer personalia dan juga teman Anita—menganggukkan kepala. “Rena,” panggil pria itu yang kemudian diikuti dengan kemunculan seorang gadis muda di sisinya. “Kamu antar Evelyn keliling kantor dulu agar besok dia nggak canggung dengan situasi kantor.” Gadis bernama Rena itu menyapa Evelyn dengan sopan, tahu bahwa posisi Evelyn tidak bisa didapatkan sembarang orang, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, saya Rena, staf departemen personalia.” Perkenalannya ditanggapi Evelyn dengan sebuah senyuman dan jabata
“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara. “Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya. Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.” “Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, la
Mendengar ucapan Adam, Evelyn langsung membeku di tempat. Dia memutar benaknya, menyadari bahwa parfum yang digunakan olehnya tak pernah berubah. Namun, tidak mungkin pria itu mengenali dirinya dari aroma parfum yang dia gunakan, bukan?! 'Apa dia seekor anj*ng?' maki Evelyn dalam hati. Evelyn perlahan menaikkan pandangannya, membiarkan manik hitamnya memantulkan sepasang permata biru milik pria menawan di hadapannya. “M-maaf?” Suaranya terdengar sedikit mencicit, kentara takut dengan sosok Adam yang menatapnya tajam. Entah kenapa, pandangan ketakutan yang ditunjukkan oleh Evelyn membuat sesuatu dalam diri Adam merasa tertantang. “Aroma parfummu, aku pernah menciumnya di suatu tempat,” ulangnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya lagi, bermaksud untuk mengindikasikan bahwa wangi ini tak pernah dia temui selain satu kali itu. Hanya saja, Adam tak mampu menentukan satu kali di mana? Pertanyaan Adam membuat Evelyn terdiam, bingung harus mengatakan apa. Hatinya bertanya-tanya, apakah pr
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term