‘Pria ini!’
Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali.
“Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya.
Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut.
Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya.
Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—"
“Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam.
“Julian, aku sedang—"
Tersadar akan kegilaan yang hampir saja dia lakukan, Evelyn pun tidak menunggu Adam dan berkata, “Sekali lagi, saya minta maaf. Permisi.” Dia pun berbalik dan bergegas pergi.
Melihat betapa tergesa-gesanya wanita itu, Adam sedikit terkejut. Namun, dengan cepat dia mengalihkan pandangan seraya berkata, “Kita pergi.”
***
“Masih sakit, Sayang?” tanya Evelyn kepada Lili yang terduduk di sofa, gadis itu hanya mengangguk kecil. “Makanya, lain kali kamu harus lebih hati-hati waktu main,” tegur Evelyn seraya terus meniup lutut putri kecilnya yang baru saja diobati.
Di sebelah Lili, Liam terlihat sedang menggenggam tangan adiknya. “Liam yang salah, Ma. Liam yang ajak main Lili. Mama jangan marahin Lili, marahin Liam aja.”
Selesai menutup luka Lili dengan perban, Evelyn tersenyum lembut. “Mama tidak marah, Liam. Mama cuma mau kalian lebih hati-hati lain kali agar tidak terluka lagi seperti ini,” tegas Evelyn. “Kalau kalian sakit, nanti Mama sedih. Paham, ‘kan?” tanya wanita itu seraya mengusap kepala kedua anaknya dengan lembut.
“Paham, Ma,” balas keduanya secara serempak.
“Ya sudah, sekarang kalian nonton dulu di sini, ya. Mama beres-beres dulu sebelum kita pergi beli es krim.”
Mendengar kata “es krim”, mata Lili yang tadi sendu kembali berbinar. “Es krim!” teriak gadis itu membuat Evelyn terkekeh.
Sekarang, Evelyn telah berada di apartemennya di tengah kota. Sebuah apartemen yang dia beli dengan uang dari hasil kerjanya di luar negeri, bukan dari keluarga Aditama.
Walau kembali ke Nusantara, tapi Evelyn tidak menghubungi keluarganya sedikit pun. Delapan tahun dia dibuang ke luar negeri tanpa kontak dengan sang ayah maupun adik, hanya media dan orang lain yang menjadi sumber pengetahuannya perihal kabar keduanya. Sekarang, dia pun lebih memilih untuk tidak mengontak keluarga Aditama lagi.
Ketika sedang membereskan pakaiannya, benak Evelyn kembali ke saat dirinya bertemu kembali dengan pria bermata biru itu. ‘Semua karena malam itu,’ batin wanita itu. ‘Andai tidak ada dirinya, maka … mungkin aku tidak akan berada dalam posisi ini.’
Kehidupan Evelyn di luar negeri tidaklah mudah, terlebih karena dirinya tengah mengandung tanpa suami yang mendampinginya. Tak hanya itu, selain bantuan dana di awal dari sang ayah, sejak pernikahan Risa dan Andre, tidak ada lagi bantuan dari Reyhan untuk Evelyn yang telah dianggap putri tak berguna. Kalau bukan karena kemampuan dan tekadnya, mungkin saja dia tidak akan bisa bertahan sampai saat ini.
Mengingat masa-masa di Calpa, pandangan Evelyn sedikit menggelap. Namun, dia dengan cepat mengalihkan pikirannya sendiri.
Bertemu dengan Adam menguak semua kenangan pahit akibat kecelakaan di malam itu, dan hal tersebut membuat hati Evelyn gusar. ‘Apa kembali ke Nusantara merupakan keputusan yang salah?’ batinnya.
Tiba-tiba, suara dering ponsel bisa terdengar. Evelyn meraih ponselnya di atas ranjang dan menjawab, “Halo?”
Dari ujung panggilan yang lain, sebuah suara terdengar berkata, “Evelyn, ini Anita. Kamu sudah sampai di apartemen, bukan?”
Mendengar suara teman sekaligus mantan bosnya di luar negeri itu, Evelyn pun tersenyum. “Hai! Sudah, sesuai jadwal. Ada apa?”
“Aku hanya ingin memberi tahu bahwa besok kamu bisa langsung ke alamat yang baru saja aku kirim untuk wawancara.” Anita melanjutkan dengan nada semangat, “Tadi temanku memberikan info. Karena besok memang ada jadwal interview besar di kantornya, jadi dia menginginkanmu untuk sekalian datang agar tidak ada rumor dirimu masuk karena koneksi. Dari cara bicaranya, dia jujur tertarik dengan kemampuanmu."
Berita tersebut membuat Evelyn sedikit terkejut, dia pun tersenyum. “Sungguh?” Dia mengangguk-angguk mendengar arahan Anita perihal wawancara kerja besok. Sembari membaca alamat yang dikirimkan temannya itu, Evelyn berujar, “Kantornya ada di jalan Kota Selatan? Oke, aku mengerti. Thank you, Anita!” ucapnya dengan ekspresi lembut seraya kemudian mematikan panggilan.
Mendadak, pintu kamar Evelyn terbuka, menunjukkan dua wajah mungil dengan mata berbinar. “Mama, masih lama? Lili mau es krim,” ujar Lili dengan suara kecil, khawatir membuat sang ibu kesal.
Melihat kedua putra-putrinya, Evelyn langsung berkata dengan nada bersalah, “Maaf, Sayang. Sudah nunggu lama, ya? Sebentar.” Dia pun memasukkan setumpuk pakaian ke dalam lemari. “Kita pergi sekarang, ya.”
Evelyn memakaikan sepatu untuk Lili, dan Liam memakai sepatunya sendiri, begitu mandiri. Selesai itu, wanita tersebut menggandeng Liam dan Lili untuk keluar dari apartemen.
Dengan pandangan terarah ke kedua anaknya, Evelyn membatin, ‘Kamu harus kuat, Evelyn, terutama demi Liam dan Lili, kamu harus bertahan.’ Dia mengangkat pandangannya ke depan. ‘Lagi pula, kamu tidak akan bertemu dengannya lagi, bukan?’
Mbak Evelyn yakin banget yak nggak ketemu lagi sama si Adam? Menurut kalian, mereka bakalan ketemu lagi nggak guys? (Pertanyaan agak-agak geblek sih, yak ini)
“Selamat, Evelyn. Kamu sudah dinyatakan diterima sebagai sekretaris direktur bisnis. Pak Direktur pun sudah berpesan kalau kamu akan mulai bekerja besok,” ucap seorang pria berusia sekitar tiga puluhan sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Evelyn. Evelyn membalas uluran tangan tersebut dengan mantap dan membungkuk hormat sedikit. “Terima kasih, Pak Handi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik agar tidak mengecewakan ekspektasi Bapak,” balas Evelyn dengan sopan. Handi—manajer personalia dan juga teman Anita—menganggukkan kepala. “Rena,” panggil pria itu yang kemudian diikuti dengan kemunculan seorang gadis muda di sisinya. “Kamu antar Evelyn keliling kantor dulu agar besok dia nggak canggung dengan situasi kantor.” Gadis bernama Rena itu menyapa Evelyn dengan sopan, tahu bahwa posisi Evelyn tidak bisa didapatkan sembarang orang, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, saya Rena, staf departemen personalia.” Perkenalannya ditanggapi Evelyn dengan sebuah senyuman dan jabata
“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara. “Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya. Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.” “Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, la
Mendengar ucapan Adam, Evelyn langsung membeku di tempat. Dia memutar benaknya, menyadari bahwa parfum yang digunakan olehnya tak pernah berubah. Namun, tidak mungkin pria itu mengenali dirinya dari aroma parfum yang dia gunakan, bukan?! 'Apa dia seekor anj*ng?' maki Evelyn dalam hati. Evelyn perlahan menaikkan pandangannya, membiarkan manik hitamnya memantulkan sepasang permata biru milik pria menawan di hadapannya. “M-maaf?” Suaranya terdengar sedikit mencicit, kentara takut dengan sosok Adam yang menatapnya tajam. Entah kenapa, pandangan ketakutan yang ditunjukkan oleh Evelyn membuat sesuatu dalam diri Adam merasa tertantang. “Aroma parfummu, aku pernah menciumnya di suatu tempat,” ulangnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya lagi, bermaksud untuk mengindikasikan bahwa wangi ini tak pernah dia temui selain satu kali itu. Hanya saja, Adam tak mampu menentukan satu kali di mana? Pertanyaan Adam membuat Evelyn terdiam, bingung harus mengatakan apa. Hatinya bertanya-tanya, apakah pr
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term
“Evelyn?” Suara Andre terdengar bergetar, memperhatikan sosok rupawan yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kamu sungguh Evelyn, ‘kan? tanyanya lagi, seakan tidak menyangka bahwa wanita bernama Evelyn itu akan muncul kembali di hadapannya. Evelyn terdiam lama, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Benaknya mengungkap ingatan indah antara dirinya dengan Andre, bagaimana pria itu dahulu memperlakukannya dengan manis dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, dalam hitungan detik, semua ingatan indah itu tenggelam digantikan memori menyedihkan perihal betapa kejamnya pria itu meninggalkan dirinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Andre telah menikah dengan seseorang yang paling Evelyn benci di hidupnya, wanita itu pun memutuskan untuk mengambil satu tindakan. “Maaf, sepertinya Bapak salah orang,” balas wanita itu dengan datar. Sebelum Andre bisa menelisik perihal dirinya lagi, Evelyn dengan cepat mengalihkan topik, “Saya akan mengganti rugi atas segala kerusakan yang mobil Bapak terima, apa Bap
“Pak Julian?” panggil Evelyn, mengerjapkan mata beberapa kali karena masih sedikit terkejut. Julian tersenyum ketika melihat Evelyn masih mengingat dirinya. “Mbak Evelyn, nggak perlu ladenin orang begini. Mbak lebih baik pergi aja," ucap pria itu menyarankan dengan ramah. Sebenci apa pun Evelyn terhadap Andre, tapi jujur dia merasa kasihan melihat pria itu disalahpahami. Lagi pula, memang awal permasalahan adalah dirinya yang tidak sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Andre. Evelyn pun berusaha menjelaskan, “S-sebenarnya tadi saya yang nabrak mobilnya sih, Pak. Terus dia kira saya kenalan dia, jadi dia mulai emosi pas saya bilang nggak kenal.” Tentu saja dia harus totalitas dalam berbohong menutupi identitasnya. "Agak aneh, tapi memang awalnya saya yang salah." Mulut Julian pun membulat, seakan baru memahami keadaan. Jujur dia tidak ingin ikut campur lebih jauh kalau Evelyn tidak berniat pergi. Akan tetapi, mengingat ada seseorang yang telah menurunkan titah padanya, maka dia ha
“Jadi, gimana hari pertama di sekolah?” suara lembut Evelyn terdengar bertanya kepada dua anaknya yang terduduk di kursi belakang mobil. Dia baru saja menjemput keduanya dari sekolah. Liam yang tadi memasang wajah datar bergegas tersenyum. “Seru!” Bocah tersebut melirik sang adik yang terlihat murung dan menggenggam tangannya pelan. “Ya ‘kan, Lili?!” Berbeda dengan Liam yang tersenyum dengan cerah, senyuman di wajah Lili terlihat sedikit dipaksakan. “Y-ya, seru. Semua teman-teman b-baik,” ujar gadis kecil itu. Mendengar nada senang Lili yang seakan dibuat-dibuat, alis Evelyn pun sedikit tertaut. “Oh, ya? Apa yang kalian lakukan di sekolah?” tanyanya, mencoba untuk menelisik lebih dalam. Liam dengan semangat menjelaskan bagaimana dia diajari mengenai mata uang dan juga belajar bahasa asing yang digunakan di Capitol. Tidak lupa juga bocah tersebut menceritakan mengenai teman-temannya yang begitu ramah. Evelyn tersenyum lembut mendengarkan cerita Liam, dengan sabar menunggu boca
Evelyn menghela napas, lalu menjelaskan singkat pertemuannya dengan Adam. Bagaimana pria itu menatapnya penuh curiga, mengungkit wangi parfum yang familier, serta menanyakan apakah mereka pernah bertemu. Dengan tangan menopang kepala dan ekspresi serius di wajah, Anita mendengarkan cerita Evelyn dengan saksama. “Apa kamu akan minta pertanggungjawabannya?” tanyanya ketika Evelyn mengakhiri ceritanya. “Minta pertanggungjawaban? Kepada siapa? Adam Dean?” Evelyn terkekeh sinis. “Memangnya aku siapa?” balasnya sembari membanting tubuhnya ke sofa. “Dia pasti akan mengira bahwa aku hanyalah seorang wanita yang mengincar hartanya,” imbuh wanita itu lagi. Mengingat-ingat cerita Rena siang tadi, Evelyn mengepalkan tangannya. “Casanova dari Capitol, pria itu sangat terbiasa menghadapi wanita.” “Lalu, kamu akan tetap bekerja di sana?” tanya Anita. Jujur saja, dia merasa sedikit bersalah karena telah mendorong Evelyn untuk kembali ke Nusantara dan masuk ke Eden. “Aku bisa merekomendasikanmu