“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara.
“Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya.
Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.”
“Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, langsung kirimkan ke ruangan.” Sedikit pun tidak juga dia pedulikan pandangan kagum dari beberapa karyawan di kantor.
“I-itu siapa? Artis baru?” tanya salah seorang karyawan kepada teman kerjanya. “Ganteng banget!”
Salah seorang karyawan senior cepat-cepat mendesis, “Sstt! Jangan gede-gede suaranya. Itu CEO kita! Pak Adam Dean!”
Penjelasan sang senior membuat karyawan junior itu terperangah. “Hah, iya!? Ya ampun, nggak cuma kaya dan punya posisi, gantengnya juga luar biasa! Udah punya pacar? Istri mungkin?”
“Istri dari mana? Pacar aja nggak ada. Rumor sih banyak, tapi semuanya hoax,” jawab seorang karyawan lain. “Sampai sekarang, belum pernah sih dengar Pak Adam benar-benar dekat sama perempuan. Kalau iya pun, biasanya klien atau rekan bisnis aja.”
Info tersebut membuat sang karyawan junior mengerutkan kening. Dia berbisik, “Pak Adam nggak … melenceng, ‘kan?”
Serentak, para karyawan di sekitar yang mendengar ucapannya langsung berucap, “Hush!”
Mendengar komentar-komentar di sekelilingnya, Adam tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia dengan dingin melangkah masuk ke dalam lift bersama asistennya dan menekan tombol lantai paling atas, tempat kantornya berada.
Di dalam lift, Adam pun berkata, “Kirimkan pesan ke manajer HRD untuk memperingatkan para karyawan, mereka yang menyebarkan rumor secara sembarangan akan langsung dipecat di tempat.”
Julian menganggukkan kepalanya dan membalas, “Baik, Pak.”
Dalam hatinya, Julian menghela napas. Tidaklah heran apabila rumor tidak sedap mulai tersebar tentang atasannya. Wajah, kekayaan, dan kekuasaan, tiga hal itu sudah cukup untuk menarik perhatian sebagian besar wanita di dunia ini. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil bersanding dengan Adam.
Karena status Adam yang masih lajang, begitu banyak klien berusaha untuk menawarkan putri mereka kepada Adam. Beberapa bahkan mengira pria itu lebih senang hubungan semalam saja, jadi banyak pula yang mengirimkan wanita penghibur untuk menyenangkan hati Adam.
Tentunya, semua hal itu berakhir ditolak.
‘Ah, kecuali satu malam itu,’ batin Julian, teringat pada gadis Nusantara yang berhasil menghabiskan satu malam dengan sang atasan. ‘Yah, walau akhirnya dia menghilang seperti Upik Abu.’
Tak lama, lift pun terbuka. Julian dan Adam mengangkat pandangan mereka. Ketika melihat sosok salah satu dari dua wanita di hadapannya, kedua alis Adam langsung menajam. ‘Wanita itu ….’
“S-sore Pak Adam, Pak Julian!” sapa Rena sembari dengan cepat membungkuk di hadapan Adam dan Julian.
‘Bagaimana bisa?’ batin Evelyn dengan sekujur tubuh yang mulai bergetar dan wajah memucat.
Menyadari Evelyn masih mematung di tempat, Rena langsung menarik tangan wanita itu. “B-Bu, itu Pak Adam Dean, CEO!”
Peringatan Rena membuat Evelyn langsung membungkuk, berusaha menutupi wajahnya. “Pak Adam, Pak Julian.” Dia berdoa dalam hati bahwa kedua pria itu akan mengabaikan mereka dan melanjutkan perjalanan mereka ke lantai tujuan.
Ketika Evelyn membungkuk, indera penciuman Adam kembali tergelitik. ‘Wangi ini lagi …,’ batinnya.
Melihat kedua wanita itu, Julian hanya terdiam. Semua orang tahu bahwa Adam tidak menyukai keramaian, dan itu juga alasan para karyawan tidak akan masuk ke dalam lift yang sama dengan pria tersebut.
Namun, siapa yang menyangka bahwa Adam akan secara mendadak berkata, “Cepat masuk.”
Bukan hanya Evelyn dan Rena, tapi Julian pun terkejut dengan ucapan pria tersebut. Tidak berani menolak, kedua wanita itu pun melangkah masuk ke dalam lift.
Dari lantai 20, lift mulai beranjak ke lantai 45, lantai tujuan Rena dan juga Evelyn. Keheningan mematikan menyelimuti tempat tersebut, ditambah tekanan menyesakkan akibat keberadaan pria bernama Adam Dean itu.
Evelyn yang berada di antara Adam dan juga Rena tertunduk, berharap bahwa dirinya bisa menghilang saat itu juga. Dirinya tidak pernah menyangka bahwa pria yang tidak ingin dia temui lagi seumur hidupnya ternyata merupakan pemilik perusahaan tempatnya bekerja!
‘Tuhan, semoga dia tidak mengenaliku,’ pinta Evelyn dalam hati.
Dahulu, Evelyn sempat berpikiran ingin meminta pertanggungjawaban pria yang menghancurkan hidupnya itu. Akan tetapi, keberadaan sang kembar membuat dirinya bertekad untuk berjuang sendiri. Dia sadar bahwa mendapatkan pertanggungjawaban dari seorang pria yang tidak dikenal bisa jadi membuka lembaran masalah baru bagi dirinya.
Sekarang, setelah mengetahui status Adam sebagai pewaris utama keluarga Dean, Evelyn menjadi semakin takut terlibat dengan pria tersebut. Keluarga Dean merupakan keluarga bisnis terkaya di Capitol, bahkan di seluruh dunia. Kalau dirinya meminta pertanggungjawaban Adam dan berakhir dianggap sebagai ancaman, bukankah itu berarti dia dan kedua putra-putrinya bisa disingkirkan kapan saja!?
Di saat Evelyn sedang sibuk dengan benaknya sendiri, Adam yang berada di sebelah Evelyn memperhatikan wanita tersebut. Surai hitam bergelombang membingkai wajah cantik wanita itu, kepalanya yang tertunduk dan ekspresi khawatir yang terpasang membuatnya terlihat begitu rapuh dan lembut.
Hanya saja, wajah cantik dan ekspresi rapuh itu bukanlah hal utama yang menarik perhatian Adam.
Tanpa mempedulikan keberadaan orang lain di dalam lift tersebut, Adam bertanya dengan suara rendah, “Kamu … wangimu begitu familier.”
Bang Adaam!! Yang familier tuh biasanya mukaa, ini masa bau badan moon maap! Anyway, apa yang akan terjadi berikutnya gengs??? Read the next chapter! Jangan lupa follow IG author di @luciferater
Mendengar ucapan Adam, Evelyn langsung membeku di tempat. Dia memutar benaknya, menyadari bahwa parfum yang digunakan olehnya tak pernah berubah. Namun, tidak mungkin pria itu mengenali dirinya dari aroma parfum yang dia gunakan, bukan?! 'Apa dia seekor anj*ng?' maki Evelyn dalam hati. Evelyn perlahan menaikkan pandangannya, membiarkan manik hitamnya memantulkan sepasang permata biru milik pria menawan di hadapannya. “M-maaf?” Suaranya terdengar sedikit mencicit, kentara takut dengan sosok Adam yang menatapnya tajam. Entah kenapa, pandangan ketakutan yang ditunjukkan oleh Evelyn membuat sesuatu dalam diri Adam merasa tertantang. “Aroma parfummu, aku pernah menciumnya di suatu tempat,” ulangnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya lagi, bermaksud untuk mengindikasikan bahwa wangi ini tak pernah dia temui selain satu kali itu. Hanya saja, Adam tak mampu menentukan satu kali di mana? Pertanyaan Adam membuat Evelyn terdiam, bingung harus mengatakan apa. Hatinya bertanya-tanya, apakah pr
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term
“Evelyn?” Suara Andre terdengar bergetar, memperhatikan sosok rupawan yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kamu sungguh Evelyn, ‘kan? tanyanya lagi, seakan tidak menyangka bahwa wanita bernama Evelyn itu akan muncul kembali di hadapannya. Evelyn terdiam lama, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Benaknya mengungkap ingatan indah antara dirinya dengan Andre, bagaimana pria itu dahulu memperlakukannya dengan manis dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, dalam hitungan detik, semua ingatan indah itu tenggelam digantikan memori menyedihkan perihal betapa kejamnya pria itu meninggalkan dirinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Andre telah menikah dengan seseorang yang paling Evelyn benci di hidupnya, wanita itu pun memutuskan untuk mengambil satu tindakan. “Maaf, sepertinya Bapak salah orang,” balas wanita itu dengan datar. Sebelum Andre bisa menelisik perihal dirinya lagi, Evelyn dengan cepat mengalihkan topik, “Saya akan mengganti rugi atas segala kerusakan yang mobil Bapak terima, apa Bap
“Pak Julian?” panggil Evelyn, mengerjapkan mata beberapa kali karena masih sedikit terkejut. Julian tersenyum ketika melihat Evelyn masih mengingat dirinya. “Mbak Evelyn, nggak perlu ladenin orang begini. Mbak lebih baik pergi aja," ucap pria itu menyarankan dengan ramah. Sebenci apa pun Evelyn terhadap Andre, tapi jujur dia merasa kasihan melihat pria itu disalahpahami. Lagi pula, memang awal permasalahan adalah dirinya yang tidak sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Andre. Evelyn pun berusaha menjelaskan, “S-sebenarnya tadi saya yang nabrak mobilnya sih, Pak. Terus dia kira saya kenalan dia, jadi dia mulai emosi pas saya bilang nggak kenal.” Tentu saja dia harus totalitas dalam berbohong menutupi identitasnya. "Agak aneh, tapi memang awalnya saya yang salah." Mulut Julian pun membulat, seakan baru memahami keadaan. Jujur dia tidak ingin ikut campur lebih jauh kalau Evelyn tidak berniat pergi. Akan tetapi, mengingat ada seseorang yang telah menurunkan titah padanya, maka dia ha
“Jadi, gimana hari pertama di sekolah?” suara lembut Evelyn terdengar bertanya kepada dua anaknya yang terduduk di kursi belakang mobil. Dia baru saja menjemput keduanya dari sekolah. Liam yang tadi memasang wajah datar bergegas tersenyum. “Seru!” Bocah tersebut melirik sang adik yang terlihat murung dan menggenggam tangannya pelan. “Ya ‘kan, Lili?!” Berbeda dengan Liam yang tersenyum dengan cerah, senyuman di wajah Lili terlihat sedikit dipaksakan. “Y-ya, seru. Semua teman-teman b-baik,” ujar gadis kecil itu. Mendengar nada senang Lili yang seakan dibuat-dibuat, alis Evelyn pun sedikit tertaut. “Oh, ya? Apa yang kalian lakukan di sekolah?” tanyanya, mencoba untuk menelisik lebih dalam. Liam dengan semangat menjelaskan bagaimana dia diajari mengenai mata uang dan juga belajar bahasa asing yang digunakan di Capitol. Tidak lupa juga bocah tersebut menceritakan mengenai teman-temannya yang begitu ramah. Evelyn tersenyum lembut mendengarkan cerita Liam, dengan sabar menunggu boca
Evelyn menghela napas, lalu menjelaskan singkat pertemuannya dengan Adam. Bagaimana pria itu menatapnya penuh curiga, mengungkit wangi parfum yang familier, serta menanyakan apakah mereka pernah bertemu. Dengan tangan menopang kepala dan ekspresi serius di wajah, Anita mendengarkan cerita Evelyn dengan saksama. “Apa kamu akan minta pertanggungjawabannya?” tanyanya ketika Evelyn mengakhiri ceritanya. “Minta pertanggungjawaban? Kepada siapa? Adam Dean?” Evelyn terkekeh sinis. “Memangnya aku siapa?” balasnya sembari membanting tubuhnya ke sofa. “Dia pasti akan mengira bahwa aku hanyalah seorang wanita yang mengincar hartanya,” imbuh wanita itu lagi. Mengingat-ingat cerita Rena siang tadi, Evelyn mengepalkan tangannya. “Casanova dari Capitol, pria itu sangat terbiasa menghadapi wanita.” “Lalu, kamu akan tetap bekerja di sana?” tanya Anita. Jujur saja, dia merasa sedikit bersalah karena telah mendorong Evelyn untuk kembali ke Nusantara dan masuk ke Eden. “Aku bisa merekomendasikanmu
Keesokan paginya, Evelyn tiba di kantor dan langsung mengarah ke lantai kerjanya. Dia mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan hitam yang membuat kaki jenjangnya terlihat semakin panjang. Rambut lurusnya diikat setengah, membingkai wajah panjangnya. Kecantikan wanita itu membuat sejumlah karyawan pria melirik, beberapa saat menikmati pemandangan indah tersebut. Sesampainya di depan ruang kantor seperti yang ditunjukkan Rena di lain hari, Evelyn pun mengetuk dan mendorong pintu. “Permisi,” ujarnya dengan lembut. Dalam ruangan tersebut, terdapat dua meja yang saling berhadapan. Satu meja telah terisi oleh seorang wanita dengan rambut bergelombang yang sedang berdandan. Dia mengenakan atasan putih dengan leher kemeja rendah serta rok pendek ketat, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah dan menggoda. Menyadari kedatangan Evelyn, wanita tersebut menoleh cepat, seakan kesal acara dandannya diganggu oleh tamu tak diundang. Manik cokelat tua wanita tersebut memeriksa penampilan Ev
“Kamu bilang apa?!” Suara melengking Evelyn terdengar bergema di ruang kerjanya. Wajahnya pucat dan dia langsung membereskan barang-barangnya sembari tetap menempelkan ponsel pada telinganya. “Gimana bisa kamu nggak lihat kalau anak-anak pergi?!” bentak wanita itu, menunjukkan sisi lainnya yang mengerikan. Tidak bisa Evelyn sangka bahwa di hari pertamanya kerja, dia akan mendapatkan begitu banyak masalah. Bukan hanya sang pengawas—Linda—mempersulit pekerjaannya, tapi sekarang pengasuh yang dia pekerjakan untuk mengurus anak-anaknya telah lalai. Bagaimana mungkin dia bisa tidak sadar kalau Liam dan Lili mendadak hilang dari pengawasannya!? Sembari berusaha keras untuk berpikir dingin, Evelyn memerintahkan pengasuhnya yang terdengar panik di telepon, “Sekarang kamu laporkan ke manajemen gedung, minta bantuan untuk mengecek CCTV, saya pulang seka—” “Mama!” seruan nyaring dari sisi pintu yang terbuka membungkam Evelyn. Dua buntalan kecil berlari ke arahnya dan langsung memeluk pingga