Mau konfirmasi dikit, terkadang gak update bukan berarti karena nggak sempat, tapi lebih kepada nggak puas dengan apa yang sudah ditulis, jadi terus-menerus revisi sebelum diupload. Ini guna untuk menyajikan cerita yang -- harapannya -- bisa membuat pembaca terus puas dan paham ya. Dari sisi author, cuma bisa minta tolong untuk bersabar menunggu kelanjutan ~ Maaf kalau tidak bisa memuaskan semua pihak. Terima kasih juga sudah baca sampai sini
“N-Nona Lili! Tolong berhenti!” seru salah seorang pelayan yang sedang berlari mengejar dua bocah mungil di hadapan. Napasnya terdengar begitu berat, kentara telah melakukan hal tersebut untuk waktu yang lama. Tepat di belakang pelayan tersebut, seorang pelayan lain ikut merengek, “Nona Muda, Tuan Muda, kami menyerah, oke? Kalian menang!” Keringat mengalir deras menuruni wajahnya, membuatnya seakan sedang menangis. “Aku tidak kuat berlari lagi!” Dia pun berakhir terkapar di tanah. Walau sudah melihat hal tersebut, tapi dua bocah mungil di hadapan sama sekali tidak berhenti. Mereka malah terlihat semakin senang, melukiskan senyuman penuh kemenangan di bibir. Wajah mereka memancarkan semangat membara kala menghindari kejaran para pelayan. Mereka tidak merasa salah, lagi pula sesuai aturan mainnya, para pelayan harus menangkap mereka yang memegang bola. Melihat seorang pelayan mendekati Liam, Lili pun berseru, “Liam! Lempar ke sini! Ke sini!” Tangan mungil gadis itu terangkat tinggi. R
“Eric Rickson, teman sekelasku,” jawab Liam dengan sedikit pasrah. Namun, dengan cepat wajahnya berubah dipenuhi tekad. “Tapi, dia menghina Mama, jadi Liam tidak bisa diam saja!” ‘Menghina Evelyn?’ ulang Adam dalam hati dengan wajah menggelap. “Apa yang bocah itu katakan?” Tahu bahwa sang ayah ikut marah, Liam pun semakin menggebu-gebu dalam bercerita, “Ya, Pa! Awalnya, Eric hina aku dan Lili! Katanya, aku dan Lili anak dari wanita tidak benar yang hamil di luar nikah!” ‘Apa?’ Adam menggeram dalam hati, siap menerkam bocah bernama Eric itu kalau dia sempat melihatnya di lain hari. Kentara pancaran matanya yang biasa sedingin es berubah bak api membara. “Padahal aku sudah cerita kalau Papa dan Mama akan segera menikah, tapi dia terus hina Mama sebagai perebut calon suami orang lain!” tutur Liam dengan emosi, merasa tidak terima dengan hinaan yang diterima ibunya. “Perebut … calon suami orang lain?” Mengesampingkan amarah karena putra-putrinya harus mendengar hinaan seperti itu
Netra hitam Evelyn menatap ke arah Adam, mengulangi ucapan pria tersebut dalam hati. ‘Melanggar aturan untuk orang terkasih ….’ Kemudian, wanita itu pun tersenyum tak berdaya, menyadari bahwa dirinya tidak berhak menegur sang putra lantaran dia sendiri melakukan hal yang tak jauh berbeda. “Kali berikutnya, jangan puji dia. Kamu harus berterus-terang mengatakan itu salah.” “Aku tahu,” balas Adam singkat. Karena tidak ada lagi yang bisa dikatakan, Evelyn pun mulai melangkah untuk menghampiri kamarnya yang berada di ujung lorong. “Sudah hampir waktunya makan malam, cepat pergi mandi,” ujarnya kepada Adam. Mendengar nada bicara Evelyn yang seperti memerintah, sebuah senyuman tersungging di wajah Adam. Pria itu pun mengikuti wanita tersebut dan memeluknya dari belakang, membuat Evelyn tersentak. “Apa yang kamu lakukan?!” desis wanita itu sembari melihat sekeliling dengan panik. Beruntung mereka sudah di lantai dua, dan kedua anaknya sedang bersama pelayan untuk membersihkan diri.
Di dalam sebuah ruangan yang berada di bar Venus, terlihat seorang pria sedang terduduk di depan mejanya dengan sebuah foto di tangan. Di dalam foto, tampak seorang wanita bernetra hitam gelap dengan pakaian profesional tengah berjalan berdampingan dengan seorang wanita lain berpakaian seksi yang memiliki rambut merah menyala. “Donna Caputo, kepala klan mafia ternama Calpa. Siapa yang mengira kalau calon istri Adam Dean pernah bekerja sebagai sekretarisnya?” ujar pria yang tak lain adalah Hansen Blood. Dia mengalihkan pandangan pada laporan di tangan, lalu mengetukkan jarinya di meja. ‘Apakah pewaris Keluarga Dean itu tahu mengenai hal ini?’ Kemudian, sebuah ekspresi licik terpasang di wajahnya. ‘Hmm, mungkinkah aku bisa menjadikan informasi ini suatu hal untuk dijual?’ Baru saja terpikirkan mengenai ide tersebut, pintu ruang pribadi Hansen dibanting terbuka. Terkejut, Hansen langsung membelalak ke arah bawahannya yang baru saja menerobos masuk ruangannya tanpa izin. “Bos! Bos!” ser
“Aku dengar kamu mencariku? Demikian, aku kemari untuk bertemu.” Mendengar suara yang berkumandang dari balik pintu, Hansen pun langsung bisa menebak, ‘Seorang wanita.’ Pria itu pun langsung melirik foto di atas meja. ‘Target Evelyn Grey?’ “Buka pintunya,” titah wanita di balik pintu itu, terdengar sangat dingin. “Jangan bertindak bodoh dengan melepaskan tembakan.” Mendengar ucapan sang wanita, jantung Hansen berdetak semakin cepat. Dia tidak menyangka wanita tersebut tahu posisinya dengan begitu pasti. Hal tersebut menandakan bahwa wanita itu sangat berpengalaman … dan berbahaya. Hansen melihat sang bawahan melirik ke arahnya, secara tidak langsung bertanya mengenai apa yang harus dilakukan. Akhirnya, pria itu pun menganggukkan kepalanya, memberikan isyarat untuk membuka pintu. Saat bawahan Hansen baru saja memutar kenop pintu, daun pintu malah terbanting terbuka disertai dengan dentuman keras. Alhasil, sang bawahan malang itu pun menabrak tembok dengan kencang dan merosot ke lan
“Setelah menyingkirkan sang penyihir, Hansel dan Gretel pun pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa banyak harta. Tamat.” Suara buku ditutup pun terdengar, sepenuhnya mengakhiri dongeng malam tersebut. Evelyn melihat sosok Lili yang sudah tidur dengan lelap. Dia pun mengusap kepala putrinya itu dengan lembut. “Sudah begitu besar, tapi masih suka dibacakan dongeng tidur,” gumamnya sembari tertawa kecil. “Mom,” panggil Liam yang terbaring di ranjangnya. Wajah bocah tersebut masih terlihat segar. “Kenapa Hansel dan Gretel memilih untuk kembali ke rumah orang tua mereka, bahkan dengan membawa banyak harta?” tanya Liam dengan kening berkerut. “Tidakkah mereka ingat bahwa ayah dan ibu mereka berusaha membuang mereka di hutan?” Mendengar pertanyaan putranya, Evelyn pun tersenyum. Dia sudah terbiasa dengan pertanyaan Liam yang begitu kritis. “Kalau kamu di posisi Hansel, apa kamu tidak akan kembali?” tanya Evelyn, sukses membuat Liam menunjukkan ekspresi berpikir keras. “Andai kata Mam
“Lagi pula, aku tidak berniat menyembunyikannya darimu.” Ucapan Evelyn membuat Adam menaikkan alis kanannya. Amarah yang tadi sempat terpancar dari pandangannya seketika berkurang, digantikan dengan kebingungan mendalam. “Dan, kamu berharap aku percaya semudah itu?” balas Adam, masih berusaha untuk terlihat marah. Dia ingin tahu kebenarannya. Apakah Evelyn sengaja mengatakan hal tersebut untuk menghindari masalah … atau memang karena wanita itu tidak berniat menyembunyikan apa pun darinya? Namun, kalau memang benar wanita ini tidak berniat menyembunyikan apa pun, lalu kenapa tidak memberi tahu perihal niatnya? Evelyn membalas lurus tatapan Adam, tidak sedikit pun terlihat gentar. “Kalau aku sungguh berniat menyembunyikannya, aku tidak akan pergi dengan sopirmu dan Rena. Aku akan mencari cara untuk keluar dari rumah sendiri, terlebih lagi ketika mengetahui ada begitu banyak pengawal yang mengikuti dari jauh.” Di saat Evelyn mengatakan hal tersebut, pandangan Adam sepenuhnya diseli
“Aku meminta Hansen Blood untuk menyelidiki keberadaan ibuku … karena hanya dengan demikian aku bisa sepenuhnya menjatuhkan Helen Grace Smith.”Pernyataan Evelyn membuat Adam terdiam, menatap wanita di hadapannya dengan pandangan dalam. Seisi ruangan itu pun diselimuti ketegangan mendalam.Bagaimana Evelyn tahu ibunya masih hidup? Dari mana dia bahkan memiliki keberanian untuk mengunjungi Hansen Blood, sang pemimpin Pentagram Merah? Kenapa bukan bertanya pada Dominic? Selain itu, apa yang membuat wanita tersebut yakin bahwa sang ibu bisa membantu menjatuhkan Helen?!Semua pertanyaan itu berputar di benak Adam. Namun, pria tersebut memilih untuk diam, memberikan panggung untuk Evelyn berbicara.“Perihal bagaimana aku tahu bahwa Ibu masih hidup, aku masih belum bisa menjelaskan sekarang,” ujar Evelyn dengan pandangan terarah pada lantai, khawatir dirinya akan luluh kalau melihat ekspresi di wajah Adam. “Namun, kamu harus tahu bahwa kenyataan tersebut kuketahui saat Dominic mengakui diri