Share

Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat
Embun/Desire - Mencintaimu Tanpa Syarat
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Bertemu Mantan

"Embun, ada mantan kamu sama istrinya," bisik Yani padaku. Sontak aku memandang ke pintu masuk kafe.

Benar saja. Beberapa langkah di hadapanku, seorang pria tegap yang lengan kirinya digelayuti manja seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku masuk kafe dan mencari tempat duduk. Jiwaku bergejolak, ada cemburu yang membuncah dan sakit yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Sepuluh tahun kami hidup bersama, sepuluh tahun juga kami berjuang untuk mendapatkan putra. Tapi hingga kesabaran mertuaku habis, aku tak kunjung mengandung. Hingga aku harus merelakan pria yang sangat kucintai menikahi perempuan pilihan keluarganya.

"Kita menghindar saja," ajak Yani. Dia ingin menyelamatkanku dari situasi yang tentu tidak nyaman bagi siapa saja yang mengalami peristiwa sepertiku. Lagian kami juga sudah selesai makan.

Belum juga kami beranjak, dari pintu muncul mantan mertuaku. Dua orang yang tampak selalu kompak dan harmonis di usia senjanya bergabung duduk dengan putra dan menantu barunya. Dua bulan yang lalu, aku masih menjadi menantunya. Sebelum putusan pengadilan agama mengesahkan perpisahan kami.

Ramainya pengunjung kafe, membuat mereka tidak menyadari kehadiranku bersama Yani. Justru aku bingung, apakah aku harus menyapa mereka duluan atau diam saja?

"Yan, kamu tahu apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus nyapa duluan?" tanyaku bingung.

"Nggak usah, biarin aja. Pura-pura aja nggak ngeliat mereka." Yani menjawab dengan kesal dan tidak peduli. Dia ikut sakit hati juga ketika orang tuanya Mas Fariq ingin agar aku mengizinkan putranya menikah lagi. Demi mendapatkan keturunan untuk melanjutkan generasi mereka selanjutnya. Sebab Mas Fariq adalah anak satu-satunya.

Kuraih gagang gelas dan kuhabiskan teh hangat yang tadi kupesan. Dada makin terasa debarannya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat kalau Mas Fariq tidak seceria istri dan kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih sibuk dengan ponselnya. Bahkan ia terkesan tak peduli pada perempuan di sebelahnya. Dia hanya bicara ketika seorang pramusaji datang menanyakan pesanan.

"Kalau nggak nyapa aku nggak enak, Yan."

"Ah, kamu ini terlalu baik. Mereka aja nggak peduli bagaimana perasaanmu. Bertahun-tahun mendampingi anaknya meniti karir, eh seenaknya saja ngasih madu buat kamu."

"Mereka ingin cucu dan aku nggak bisa memberikannya." Sebenarnya hatiku tak seikhlas ini. Aku merasakan sakit yang masih terasa hingga kini. Tapi aku tidak boleh terlalu mengikutkan emosi. Inilah caraku untuk mengobati diri sendiri.

Akhirnya aku berdiri dan meraih sling bag di atas meja. "Yan, ayo kita pulang. Kamu tunggu di luar biar aku samperin mereka sebentar."

Yani berdecak lirih. Kemudian dengan jengkelnya meninggalkan aku yang berdiri mematung. Pada saat yang bersamaan, Mas Fariq menatap ke arahku. Binar bahagia di netra itu jelas terlihat olehku. Pria itu hendak berdiri, tapi aku segera menghampiri. Daripada istrinya nanti salah paham jika suaminya mendekati mantan istrinya.

"Assalamu'alaikum," sapaku ramah dan menguatkan hati pada mantan mertua yang tengah berbincang.

Pak Salim dan istrinya, juga perempuan muda bernama Karina memandang ke arahku. Bu Salim tampak terkejut dan langsung berdiri memelukku. "Embun, Ya Allah, Nak. Apa kabar?" Beliau memelukku. Dua bulan ini kami tidak pernah bertemu.

Aku berusaha untuk menahan air mata yang sudah mengaburkan pandangan. Ternyata aku tidak sekuat itu. Aku tak bisa bersikap biasa setelah sepuluh tahun kebersamaan kami. "Alhamdulillah, kabar saya baik, Tante."

Wanita yang telah melepaskan pelukan kaget ketika aku memanggilnya dengan sebutan Tante. Tapi beliau diam saja. Mungkin untuk menjaga perasaan menantu barunya. Lantas kusalami mantan papa mertua, kemudian menyalami Karina, dan aku menangkupkan kedua tangan pada Mas Fariq dan membiarkan tangannya yang hendak menyalami mengambang di udara.

"Duduklah sini. Ayo, bergabung makan malam bersama dengan kami," ajak Bu Salim dengan ramah.

Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan ke dada. "Terima kasih, Tante. Maaf, saya sudah makan. Saya permisi dulu, saya ditunggu Yani di luar. Assalamu'alaikum."

Aku pergi setelah salamku di jawab. Tidak kulihat bagaimana ekspresi wajah Mas Fariq, aku belum sanggup bertatapan muka terlalu lama dalam jarak yang dekat. Namun aku bisa melihat kalau Karina tidak suka melihat kehadiranku di antara mereka. Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya bertemu sang mantan.

Masa iddahku tinggal tiga puluh hari lagi. Sebenarnya mamanya Mas Fariq memintaku menjalani masa Iddah di rumahnya jika tidak mau tinggal seatap dengan istri muda putranya.

Apa yang mau ditunggu juga. Sudah pasti aku tidak akan hamil. Lagipula aku juga ingin menenangkan diri setelah sidang panjang perceraian kami. Mas Fariq keukeuh tidak ingin bercerai, bahkan berulang kali mengajakku rujuk. Tapi aku tidak sanggup jika hidup di madu. Tidak sanggup juga menyuruhnya menceraikan Karina. Itu juga tidak diperbolehkan dalam agama. Makanya aku lebih baik pergi untuk mengobati luka hati.

"Yan, ayo pulang," ajakku pada sahabat sekaligus temanku bekerja sebagai perawat. Kami pergi menaiki taksi online yang sudah di pesan oleh Yani.

Sepanjang perjalanan pulang, Yani tidak mengajakku bicara. Mungkin dia jengkel karena aku masih mau saja bersikap baik pada mereka. Keluarga yang menjadikan aku janda di usia tiga puluh tiga tahun. Ah, akulah yang sebenarnya menjandakan diri, karena tidak sanggup hidup berbagi suami.

Taksi berhenti tepat di depan kosan. Sejak sidang pengadilan di putuskan, aku pergi dari rumah Mas Fariq dan tinggal di kosan. Aku tak dapat pembagian rumah, karena rumah yang selama ini kami tempati adalah rumah yang dibeli oleh Papa mertua. Tapi aku dapat sejumlah uang dari Mas Fariq. Dan uang itu sampai sekarang masih beku di bank. Aku tidak menggunakan sepeserpun.

Setelah aku turun, taksi pergi untuk mengantarkan Yani pulang. Aku membersihkan diri di kamar mandi, kemudian Salat Isya. Setelah itu berbaring di ranjang. Dalam remang cahaya lampu kamar, kenangan itu kembali membayang.

Masih segar dalam ingatan bagaimana Papa dan Mamanya Mas Fariq memanggil kami untuk makan malam di rumahnya, beberapa bulan yang lalu.

Di musim kemarau itu aku seperti di sambar petir di malam hari. Saat dengan penuh rasa bersalah, Papanya Mas Fariq mengutarakan pendapat yang sudah disepakati bersama istrinya. Berulang kali mereka mengucapkan kata maaf dan maaf.

Kala itu Mas Fariq menentang keras dan langsung mengajakku pulang tanpa pamitan. Seminggu kemudian ibu mertuaku datang ke rumah, kebetulan aku baru saja pulang dari shif malam sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di kota kecil kami.

Beliau memohon padaku agar Mas Fariq mau menyetujui saran mereka. Mama mertua sampai menangis dan memohon dengan amat sangat agar aku menyetujui Mas Fariq menikah lagi. Dan beliau juga berharap agar aku tidak meminta cerai, karena sudah teramat sayang padaku. Bagaimana mungkin seorang ibu bicara begitu padaku yang katanya sudah dianggap sebagai anak perempuannya? Seorang ibu tidak akan menyakiti anaknya.

Ah, menantu tetaplah menantu.

Mas Fariq mengamuk ketika aku membicarakan kedatangan dan permintaan mamanya. Namun sekuat tenaga aku menahannya agar dia tidak pergi ke rumah orang tuanya untuk marah pada mereka.

"Aku nggak masalah nggak punya anak. Kenapa mereka mempermasalahkannya?" teriaknya malam itu. Mungkin tetangga yang mendengar, menganggap kami sedang bertengkar. "Aku mencintaimu dan aku nggak akan menduakanmu. Titik. Jangan rayu aku untuk hal konyol begini," tambahnya berapi-api. Membuatku tertunduk berderai air mata.

Pemeriksaan berulang kali, tak ada satu pun di antara aku dan Mas Fariq yang dinyatakan mandul oleh dokter kandungan. Kami berdua tidak memiliki masalah apa-apa. Namun mereka tetap tidak sabar untuk menunggu kami tetap berusaha. "Usia Fariq sudah banyak. Waktunya ia punya anak. Mama harap kamu paham, Embun."

Aku sendiri sudah tidak sanggup lagi menghadapi tekanan dari mertua. Hingga aku merayu suamiku untuk menyetujui permintaan mereka, daripada aku sendiri dapat tekanan mental. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Mungkin memang sudah saatnya aku mengikhlaskan.

"Berjanjilah kalau kamu nggak akan minta cerai setelah aku menikahi Karina. Jika kamu tidak mau berjanji, aku nggak akan menikah lagi."

Aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sungguh, siapa yang rela berbagi suami. Aku benar-benar tidak bisa dan aku tak punya pilihan untuk itu.

Sebulan setelah Mas Fariq dan Karina menikah, aku mengajukan gugatan perceraian. Aku tak sanggup di madu. Terlebih jika memikirkan apa yang dilakukan suamiku di kamar istri mudanya.

Aku ingin mengakhiri semuanya sebelum aku menjadi gila. Lebih baik aku menjauh dan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Mas Fariq membawaku pergi hampir seminggu setelah dia menerima surat panggilan sidang dari pengadilan. Semua orang mencari kami. Orang kantornya, instansi tempatku bekerja juga, terutama kedua orang tua Mas Fariq yang akhirnya jatuh sakit dan membuat Mas Fariq mau pulang.

Sidang perceraian kami berlarut-larut dan sangat melelahkan. Jujur saja, Mas Fariq berharap agar ada keajaiban dengan kehamilanku. Namun nihil juga. Dan sampai sekarang pun setelah keguguran, Karina juga belum mengandung lagi.

Perempuan itu hamil setelah dua bulan menikah, tapi janin itu gugur ketika baru berusia delapan minggu. Setidaknya Pak Salim dan istrinya bahagia, karena menantu barunya bisa mengandung meski keguguran waktu itu.

Aku yang masih terjaga kaget ketika mendengar pintu kamar kos di ketuk pelan dari luar. Pelan aku turun dari pembaringan. Dari gorden jendela kaca, kuintip siapa yang sedang mengetuk pintu. Biasanya kalau teman satu kosan, mereka akan memanggil namaku juga. Tapi kali ini tidak.

Dari cahaya lampu teras kamar, aku melihat ada seorang perempuan dan lelaki setengah baya berdiri menatap pintu kamarku. Dia tidak mungkin orang tuaku. Bapak tidak mungkin bisa membujuk ibu tiriku untuk menjenguk di sini. Bahkan ketika aku memutuskan untuk bercerai saja, mereka malah menentang. Memarahiku kenapa aku tidak ingin bertahan saja. Toh masalahnya di aku yang tidak bisa memberikan anak buat suami. Ah, apa semua ibu tiri memang jahat seperti itu?

Jelas saja ibu tiriku tidak terima, karena setelah aku bercerai dari Mas Fariq, dia tidak akan mendapatkan jatah uang bulanan lagi dari Mas Fariq. Dia juga akan hilang kebanggaan memiliki menantu dari keluarga berada.

Kembali pintu di ketuk. Aku masih bertahan belum membuka pintu. "Mbak," suara wanita itu kembali memanggilku dengan suara lirih.

Kulihat kembali dari balik gorden. Saat wanita itu menoleh aku baru ingat kalau dia adalah seorang ART dari rumah megah di ujung jalan sana. Aku sering melihatnya kalau naik motor mau berangkat kerja. Tapi untuk apa dia mencariku.

Akhirnya aku membuka pintu setelah memakai bergo. Wanita dan lelaki setengah baya itu tampak lega. "Maaf, Mbak. Kami mengganggu istirahat, Mbak. Bos saya mau minta tolong sama, Mbak."

"Minta tolong apa?" tanyaku bingung.

"Mbak, bisa ikut dengan kami. Dan Mbak bisa membawa keperluan darurat untuk pertolongan pertama pada pasien." Wanita itu lagi yang bicara. Sedangkan lelaki di sebelahnya hanya diam saja.

Aku makin di buat tak mengerti. Aku tidak memiliki apa yang di maksud wanita itu. Tentu untuk pertolongan pertama yang kupunya hanya perlengkapan P3K. Sama seperti yang tersedia di rumah-rumah warga.

"Saya nggak punya alat khusus, Bu. Saya hanya perawat rumah sakit, bukan dokter."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ayolah segera ikut kami. Tahu kan kalau saya bekerja di rumah besar ujung sana. Rumahnya Pak Darmawan."

Aku mengangguk. Aku tidak bisa berpikir apapun selain ikut mereka. "Sebentar saya ambil jaket dulu."

Mereka membawaku pergi ke rumah itu dengan mengendarai mobil mewah warna putih. Ketika aku pergi, teman kosanku tidak ada yang keluar. Mungkin sebagian dari mereka kerja malam. Sebab kosan itu di huni anak-anak yang bekerja di pabrik. Aku sempat takut kalau di culik.

Di culik? Apa istimewanya diriku hingga perlu banget untuk di culik. Aku janda yang tak punya apa-apa. Bahkan untuk hamil saja aku tak bisa.

Pintu gerbang besar itu terbuka secara otomatis. Tampak ada seorang satpam yang berjaga di sana. Aku di bawa masuk ke rumah megah dan mewah. Ornamen klasik menjadi desain interiornya. Kedua orang itu terus membawaku naik ke lantai dua, meniti tangga marmer putih yang terasa dingin di telapak kaki.

Baru saja menginjak lantai atas, aku di kejutkan oleh suara erangan yang cukup keras dari salah satu kamar. Tubuhku gemetar. Ada apa sebenarnya? Dan rumah sebesar ini hanya di huni para pekerjanya saja. Mana bos yang dimaksud wanita tadi.

Seorang laki-laki berperawakan besar membukakan pintu.

Aku makin kaget ketika melihat di ranjang besar itu berceceran darah dan ada seorang pria muda mengerang kesakitan sambil memegangi lengan kiri bagian atas.

"Namaku Bu Atun, Mbak. Tolonglah Mas Hendri." Wanita itu menuntunku mendekati ranjang majikannya.

"Dia kenapa, Bu?" tanyaku ketakutan sambil memandang pria dengan tubuh tegap yang sedang kesakitan. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya.

"Tolong keluarkan peluru ini dari lenganku." Pria bernama Hendri itu yang bicara sambil menahan sakit.

"Apa?" pekikku kaget.

***

Komen (10)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
gak ada Lo wanita yg mo di madu
goodnovel comment avatar
Yanyan
wanita mana yg mau di madu walaupun alasannya ingin punya anak.. tapi juga mungkin sebagai ortu pasti sangat ingin mmpunyai cucu.. dilema yg berat.. keputusan berpisah buat embun.. smoga ada jodoh yg lain dan terbaik buat embun
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
baru bab 1 aja udah nyeswk gini bacanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status